Padahal mungkin saja anaknya telah memiliki laki-laki yang dicintai, sehingga tidak jarang dari mereka lebih memilih untuk pergi atau kabur dari orang tuanya agar bisa menghindari perjodohan tersebut.
Selain itu nilai-nilai kebudayaan Sunda yang masih sangat terasa seperti halnya saat Juragan Jarot dan rombongannya yang hendak pergi ke tempat Euis dengan membawa banyak makanan khas. Kira-kira seperti itulah gambaran masyarakat kampung khususnya masyarakat Garut saat mengadakan hajat atau acara spesial.Â
Mereka selalu menyajikan makanan khas atau makanan tradisional setempat sebagai perjamuan dan penghormatan bagi tamu. Garut juga terkenal dengan domba, sehingga salah satu seserahan yang dibawa rombongan Juragan Jarot adalah domba dan tidak jarang masih terdapat masyarakat yang menjadikan binatang sebagai sebuah hadiah.Â
Selain itu kostum juga menggambarkan keadaan masyarakat yang tinggal di pedesaan bahwa masih terdapat masyarakat yang menggunakan baju tradisional seperti kebaya dan samping dengan model span bagi wanita. Pangsi, peci, dan sarung yang diselempangkan bagi laki-laki.Â
Aktifitas masyarakat pedesaan juga tergambar sangat nyata dalam film pendek tersebut dan aktifitas seperti itu mungkin saja masih terjadi saat ini. Gema tawa anak-anak yang berenang di sungai, ricuh riuh ibu-ibu yang mencuci sambil berbincang hingga bergosip di tepian sungai, bapak-bapak yang rajin pergi ke tajug (mesjid kecil di pedesaan), dan rutinitas memberi makan ternak.
Ekranisasi cerpen Alak Paul secara keseluruhan menggambarkan situasi dan kondisi daerah setempat yang masih kaya baik itu alamnya atau pun adat istiadat dan kebudayaannya. Tokoh Euis yang anggun dan digambarkan sebagai anak yang berbakti kepada orang tua terlihat saat Abah dan Ambu  membicarakan tentang perjodohan, Euis tidak membantah dengan meninggikan suaranya.Â
Padahal di dalam hati Euis berontak, dia tidak mau bila dijodohkan dengan Juragan Jarot. Sehingga Euis memilih untuk pergi bersama dengan laki-laki yang dicintainya meninggalkan orang tuanya demi menghindari perjodohan itu. Sehingga Ambu menyesal sudah berencana untuk menjodohkan anaknya.
Dalam proses pembuatan film pendek tersebut semua orang yang terlibat berusaha mengerahkan segala kemampuannya sehingga proses pembuatannya hanya memerlukan waktu satu hari saja. JAMUGA Cinema memiliki ide yang sangat kreatif dan brilian dalam memilih teknologi untuk pengambilan gambar. Â
Mengapa? Karena JAMUGA lebih memilih menggunakan handphone dibandingkan kamera yang lebih canggih. Hal tersebut bukan karena JAMUGA tidak memiliki kamera, tetapi JAMUGA ingin sekaligus mengedukasi masyarakat setempat bahwa untuk berkarya tidak harus menggunakan alat-alat yang lebih canggih bahka hanya dengan menggunakan handphone saja bisa dan pasti mayoritas dari masyarakat setempat sudah memiliki handphone.Â
Niat JAMUGA dalam berkarya sangatlah patut untuk diacungi jempol karena mereka berkarya bukan hanya untuk meraup popularitas, tetapi mereka ingin mengembangkan dan melestraikan kebudayaan Sunda.Â
Ketika JAMUGA Cinema hendak melakukan pengambilan gambar, konsep atau tema yang mereka usung disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat tersebut dengan tujuan agar tidak merepotkan tuan rumah dan juga bisa mengangkat karifan lokal dari tempat tersebut. Kemampuan para warga yang berperan dalam film tersebut terlihat natural karena sutradara membebaskan dialog saat mereka beakting.