Mohon tunggu...
Novi D. Hapsari
Novi D. Hapsari Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Amateur Film Maker and Writer. Educational Technology'14 of State University of Malang. "Karena usaha serta kerja keraslah yang akan menang saat keajaiban itu tidak ada."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Hujan P.1

23 Juni 2016   15:34 Diperbarui: 23 Juni 2016   15:46 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara hujan yang cukup deras membangunkanku pagi ini. Aku melihat ke layar ponsel dengan mengernyitkan mata yang masih enggan untuk terbuka.

“Jam 6. Ah.. hujannya deras sekali.” Kataku lirih sambil mendengarkan suara hujan.

Setelah 10 menit mencoba untuk mendapatkan kesadaran penuh, aku bergegas untuk mandi dan berangkat menuju tempatku belajar.

Jalan menuju kampus tak ada yang luput dari siraman air hujan. Sepatuku yang licin membuatku berhati-hati dalam berjalan. Kalau biasanya aku membutuhkan waktu 10 menit untuk sampai ke kampus, sekarang aku membutuhkan waktu dua kali lebih lama dari biasanya.

Pukul 6.45. Aku memasuki gerbang kampus. Hujannya masih cukup deras disini. Aku masih berjalan pelan, takut terjatuh karena sepasang sepatu. Banyak genangan air yang membuatku harus berhati-hati. Walaupun sudah berhati-hati, beberapa saat kemudian, bajuku sudah basah terkena cipratan air dari sebuah mobil yang melaju kencang. Seketika, beberapa orang memandangku kasian, ada juga yang menahan tawa sambil membicarakan aku.

“Sial..”

“Betapa indahnya pagi ini.” Kataku sambil tersenyum kecut.

Aku tidak ingin kembali hanya untuk berganti pakaian. Kulanjutkan perjalananku hingga akhirnya sampai di sebuah gedung perkuliahan. Di dalam gedung, semakin banyak mata tertuju padaku. Untuk hari ini, aku merelakan diriku menjadi pusat perhatian.

Kulangkahkan kakiku menuju ruang kelas yang sudah terdengar ramai dan berisik dari kejauhan.

“Kamu kenapa, Nan?” tanya Arini, salah satu teman dekatku di kelas. Dia memandangku kasian sambil mencoba mengambil kotak tissu yang tersembunyi di dalam tasnya.

“Biasa, Rin, ada mobil ngebut lewat genangan air. Ya begini lah hasilnya.” Kataku pasrah sambil tersenyum getir.

“Ya Tuhan, masih ada aja yang ngebut di lingkungan kampus ya. Untung kamu nggak ketabrak, Nan.” Ucap Arini dengan wajah yang masih prihatin melihatku.

“Kamu nggak dingin, Nan? Ini hujannya bawa hawa dingin, jadi bikin ngantuk. Padahal kuliahnya pagi.” Tambah Arini disertai uapan yang lebih lebar dari biasanya.

“Dingin sih, Rin, tapi untungnya di kelas ini ada penghangatnya, berkurang lah. Kamu sih setiap hari walaupun nggak hujan ya tetap ngantuk, Rin.” Kataku sambil tertawa menyidir temanku yang hobinya tidur ini.

Arini hanya tertawa sambil memandangku dengan tatapan seolah-olah terdengar seperti “Ah, Nanda tau aja nih.”

Detik berganti menit, menit berganti jam. Sudah 4 jam aku duduk di dalam kelas sambil mendengarkan ceramah dari dua dosen yang berbeda. Rasa kantuk itu ternyata bisa menular dengan cepat. Setelah perkuliahan selesai, aku memutuskan untuk melipat tanganku di atas meja sambil menaruh kepalaku dengan nyaman. Ini sangat nyaman.

“Nan, aku mau beli makan, kamu mau ikut atau nitip?” Tanya Arini pelan.

“Aku mau tidur dulu, urusan makan bisa nanti aja.” Kataku yang tidak ingin terpisah dari meja di depanku. Entah kenapa meja dan kursi yang aku tempati rasanya nyaman untuk ditiduri.

“Ya sudah.” Arini pergi dan suara langkah kakinya kemudian tidak terdengar lagi.

Aku terlelap dalam rasa kantuk.

Beberapa saat kemudian, aku terbangun. Mataku mengerjap pelan sambil melihat samar-samar bayangan yang baru saja keluar dari kelasku. Seketika aku terbangun sepenuhnya sambil melihat sekelilingku. Tidak ada orang lain aku.

Perhatianku teralihkan dengan segelas teh yang masih menyembulkan asap. Di sampingnya terdapat catatan kecil berisi kata “Maaf”.

“Hm? Maaf? Buat apa? Ini teh buatku? Masih panas, berarti yang naruh masih di sekitar sini.” Aku bergegas meninggalkan kelas sambil membawa teh dan catatan kecil itu. Kulihat sekeliling, masih ada beberapa orang di dalam gedung ini. Ada sekelompok orang yang duduk lesehan di depan kelas sambil membicarakan sesuatu. Ada juga yang sedang berpacaran di pinggir jendela.

“Pasti yang naruh masih disini, tapi kok nggak ada yang kukenal ya.” Aku melihat sekeliling dengan putus asa.

“Ya sudah, diminum aja daripada mubazir.” Kataku penuh syukur sambil mencoba untuk mencari tempat duduk.

Pandanganku secara tidak sengaja tertuju pada sosok yang baru saja keluar dari gedung tempatku berada. Yang terlihat hanya punggung dan tangannya yang dimasukkan di kedua saku celananya. Sosok itu kemudian berbelok ke kanan hingga aku bisa melihat wajahnya dari samping.

“Dhani Kusuma?”

“Tumben jam segini masih di kampus.” Kataku santai kemudian berhasil menemukan tempat duduk. Kuminum teh pemberian entah-siapa-orangnya ini dengan nikmat.

“Entah siapa yang memberi teh ini, aku sangat bersyukur. Terima kasih.” Kemudian aku bergegas pulang karena hari sudah semakin sore.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun