“Ya Tuhan, masih ada aja yang ngebut di lingkungan kampus ya. Untung kamu nggak ketabrak, Nan.” Ucap Arini dengan wajah yang masih prihatin melihatku.
“Kamu nggak dingin, Nan? Ini hujannya bawa hawa dingin, jadi bikin ngantuk. Padahal kuliahnya pagi.” Tambah Arini disertai uapan yang lebih lebar dari biasanya.
“Dingin sih, Rin, tapi untungnya di kelas ini ada penghangatnya, berkurang lah. Kamu sih setiap hari walaupun nggak hujan ya tetap ngantuk, Rin.” Kataku sambil tertawa menyidir temanku yang hobinya tidur ini.
Arini hanya tertawa sambil memandangku dengan tatapan seolah-olah terdengar seperti “Ah, Nanda tau aja nih.”
Detik berganti menit, menit berganti jam. Sudah 4 jam aku duduk di dalam kelas sambil mendengarkan ceramah dari dua dosen yang berbeda. Rasa kantuk itu ternyata bisa menular dengan cepat. Setelah perkuliahan selesai, aku memutuskan untuk melipat tanganku di atas meja sambil menaruh kepalaku dengan nyaman. Ini sangat nyaman.
“Nan, aku mau beli makan, kamu mau ikut atau nitip?” Tanya Arini pelan.
“Aku mau tidur dulu, urusan makan bisa nanti aja.” Kataku yang tidak ingin terpisah dari meja di depanku. Entah kenapa meja dan kursi yang aku tempati rasanya nyaman untuk ditiduri.
“Ya sudah.” Arini pergi dan suara langkah kakinya kemudian tidak terdengar lagi.
Aku terlelap dalam rasa kantuk.
Beberapa saat kemudian, aku terbangun. Mataku mengerjap pelan sambil melihat samar-samar bayangan yang baru saja keluar dari kelasku. Seketika aku terbangun sepenuhnya sambil melihat sekelilingku. Tidak ada orang lain aku.
Perhatianku teralihkan dengan segelas teh yang masih menyembulkan asap. Di sampingnya terdapat catatan kecil berisi kata “Maaf”.