“Tempat celaka itu sudah dekat!” bisiknya di antara gemuruh dadanya. Dan sesaat kemudian ia telah berdiri tepat di depan tempat yang ditujunya. Sebuah kios batu nisan!
“Silakan, Pak! Mau pesan yang model apa? Maaf, yang meninggal siapa? Keluarga Bapak?” Pemilik kios tersebut melangkah keluar dengan senyum ramah. Wajah Larto menegang. Ditatapnya pemilik kios itu dengan perasaan berkecamuk. Marah, kecewa, benci, dan entah apa lagi.
“Kemarin kalau tidak salah Bapak sudah ke sini juga, kan? Apakah ada yang membuat Bapak berminat dari semua model yang terpajang ini? Atau kalau Bapak mau melihat model lain, silakan masuk. Di dalam ada beberapa contoh lain,” tawar pemilik kios itu dengan nada yang tetap ramah.
Larto justru merasa semakin tegang. Terlebih ketika matanya menatap sebuah batu nisan dari keramik berbentuk kubah pipih yang terletak di pojok kiri. Bibirnya gemetar menahan desakan dalam dadanya. Belum pernah ia merasa seperti ini sebelumnya. Seperti diteror!
“Bapak menyukai model yang itu?” Lelaki pemilik kios itu menunjuk dan mendekati batu nisan yang ditatap Larto. Tangannya dengan sigap terulur, hendak mengangkat benda itu.
“Jangan! Aku tidak akan membeli daganganmu! Tidak satu pun!” Larto berseru cepat. Si Pemilik kios terdongak mendengar kalimat yang bernada tinggi itu. Ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Lalu bagaimana bisa lelaki tua itu marah padanya? Dan ia hanya bisa menggelengkan kepala, menatap Larto yang langsung membelakanginya dan bergegas pergi.
Sementara Larto tampak tak peduli dengan keheranan pemilik kios tersebut. Ia sibuk dengan arus pikirannya yang tiba-tiba terasa kalut. Langkahnya terburu-buru menyeberangi jalan. Saking buru-burunya, hampir saja sebuah angkot menabraknya.
“Brengsek nih aki-aki! Mau mampus, ya?!” bentak supir angkot itu kasar. Larto tersentak, spontan mengurut dada. Jantungnya seperti mau copot. Ketakutan dan kegelisahannya kian menggumpal. Aura kematian pun seperti menguap di sekujur tubuh rentanya. Jangan-jangan ini memang firasat, bisik hatinya kian kalut.
***
“Bapak benar-benar tidak habis pikir, Jo. Kenapa pemilik kios batu nisan itu melakukannya?” Akhirnya Larto tidak tahan juga merahasiakan kegundahannya. Ia pun menceritakan semua uneg-uneg hatinya pada Bejo malam itu.
“Oo… jadi hanya gara-gara di batu nisan itu tercantum nama Bapak, lalu Bapak jadi gundah? Ada-ada saja. Itu kan cuma contoh, Pak! Saya yakin pemilik kios itu tidak tahu sama sekali nama Bapak. Dengan kata lain, itu cuma kebetulan!” Bejo berusaha menahan tawanya, takut bapaknya tersinggung.