Mohon tunggu...
Novia Syahidah Rais
Novia Syahidah Rais Mohon Tunggu... Manajer Marketing & Komunikasi -

Bukan soal siapa kita, tapi ini soal apa yang kita tulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Teror Batu Nisan

31 Januari 2017   15:55 Diperbarui: 1 Februari 2017   04:18 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.savelagu.eu

Larto masih bolak-balik di ruang depan. Lelaki 70 tahunan itu tiba-tiba berubah aneh sejak kemarin. Bejo, sampai heran melihat perubahan bapaknya itu.

“Saya lihat, dari kemarin Bapak tampak gelisah. Bapak memikirkan sesuatu?” tanya Bejo heran.

“Tidak!” jawab Larto cepat.

“Atau Bapak tidak betah di sini?” pancing Bejo lagi. Bapaknya itu memang baru dua minggu berada di Jakarta, sekedar ingin menjenguk Bejo yang telah dua tahun bekerja di kota metropolitan tersebut.

Ora!”

“Lalu kenapa Bapak jadi aneh begitu?”

“Aneh bagaimana?” tanya Larto sambil mentap Bejo yang sedang menyetrika seragam kerjanya.

“Sejak pagi tadi saya lihat Bapak bolak-balik terus. Sebentar ke belakang, sebentar ke kamar, dan sebentar ke teras. Apa ada yang Bapak tunggu?” Bejo tak menghentikan kegiatannya. “Biasanya kan Bapak tidak begitu.”

“Biasanya? Biasanya kan kamu pergi kerja. Mana tahu aku suka mondar-mandir atau tidak!” jawab Larto agak ketus.

“Wah, kalau hari-hari biasa Bapak juga seperti ini, berarti itu sudah menjadi kebiasaan yang serius. Bisa jadi penyakit lho, Pak,” ujar Bejo dengan senyum ditahan.

Ngawur kowe!” Larto setengah membentak. Dengan agak kesal ia pun melangkah cepat ke kamarnya, diiringi tatapan heran Bejo. Pemuda berusia 25 tahun itu menarik napas panjang, tak habis mengerti akan perubahan bapaknya yang mendadak itu.

***

“Bapak mau kemana pagi-pagi begini?” tanya Bejo yang sedang bersiap-siap hendak berangkat kerja. Seragam satpamnya sudah terpasang rapi. Ia memang bekerja sebagai satpam di sebuah mal.

“Memangnya kenapa? Apakah aku harus selalu melaporkan kemana saja aku mau pergi? Apakah kamu harus tahu semua yang kulakukan?!” Jawaban Larto yang agak bernada marah itu membuat Bejo tertegun. Firasatnya mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu yang serius dengan bapaknya. Tapi entah apa.

“Maksud saya, jika Bapak pergi, jangan lupa membawa kunci cadangan. Nanti kalau Bapak pulang sementara saya sudah berangkat kerja, bagaimana? Bapak kan tidak bisa masuk,” jelas Bejo sabar.

“Memangnya kamu sudah mau berangkat?”

Wong saya sudah pakai seragam begini, masa masih mau main-main dulu tho, Pak?” jawab Bejo dengan alis naik.

“Ya, sudah. Coba kamu ambilkan kunci cadangan itu biar kubawa!” perintah Larto kemudian, masih dengan nada agak ketus. Bejo tersenyum tipis sambil mengambilkan kunci cadangan di laci lemari dan menyerahkan pada bapaknya yang menunggu di teras rumah petakan mereka.

“Jangan jauh-jauh ya, Pak, nanti kesasar. Kalau nyeberang jalan, hati-hati. Kendaraan di jalan depan itu sangat ramai dan mereka suka ngebut nggak karuan,” pesan Bejo penuh perhatian.

“Bicaramu seperti aku sudah pikun saja, Jo!” sahut Larto tampak tersinggung, dan tanpa bicara lagi segera ditinggalkannya Bejo yang terpana, semakin tak mengerti keadaan bapaknya. Tidak biasanya beliau seperti ini. Sangat sensitif. Setidaknya ia tak pernah pergi tanpa pamit, dan tak pernah membentaknya hanya karena omongan yang biasa seperti itu. Ah, Bejo jadi tak habis pikir.

***

Larto melangkah pelan di sepanjang Jalan Suropati yang lumayan ramai. Matanya mengawasi deretan kios-kios di sepanjang jalan tersebut. Dan ketika ia semakin yakin bahwa tempat yang ditujunya sudah dekat, langkahnya malah semakin pelan. Dadanya mulai berdebar tak karuan, hingga napasnya jadi terasa sesak sendiri.

“Tempat celaka itu sudah dekat!” bisiknya di antara gemuruh dadanya. Dan sesaat kemudian ia telah berdiri tepat di depan tempat yang ditujunya. Sebuah kios batu nisan!

“Silakan, Pak! Mau pesan yang model apa? Maaf, yang meninggal siapa? Keluarga Bapak?” Pemilik kios tersebut melangkah keluar dengan senyum ramah. Wajah Larto menegang. Ditatapnya pemilik kios itu dengan perasaan berkecamuk. Marah, kecewa, benci, dan entah apa lagi.

“Kemarin kalau tidak salah Bapak sudah ke sini juga, kan? Apakah ada yang membuat Bapak berminat dari semua model yang terpajang ini? Atau kalau Bapak mau melihat model lain, silakan masuk. Di dalam ada beberapa contoh lain,” tawar pemilik kios itu dengan nada yang tetap ramah.

Larto justru merasa semakin tegang. Terlebih ketika matanya menatap sebuah batu nisan dari keramik berbentuk kubah pipih yang terletak di pojok kiri. Bibirnya gemetar menahan desakan dalam dadanya. Belum pernah ia merasa seperti ini sebelumnya. Seperti diteror!

“Bapak menyukai model yang itu?” Lelaki pemilik kios itu menunjuk dan mendekati batu nisan yang ditatap Larto. Tangannya dengan sigap terulur, hendak mengangkat benda itu.

“Jangan! Aku tidak akan membeli daganganmu! Tidak satu pun!” Larto berseru cepat. Si Pemilik kios terdongak mendengar kalimat yang bernada tinggi itu. Ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Lalu bagaimana bisa lelaki tua itu marah padanya? Dan ia hanya bisa menggelengkan kepala, menatap Larto yang langsung membelakanginya dan bergegas pergi.

Sementara Larto tampak tak peduli dengan keheranan pemilik kios tersebut. Ia sibuk dengan arus pikirannya yang tiba-tiba terasa kalut. Langkahnya terburu-buru menyeberangi jalan. Saking buru-burunya, hampir saja sebuah angkot menabraknya.

“Brengsek nih aki-aki! Mau mampus, ya?!” bentak supir angkot itu kasar. Larto tersentak, spontan mengurut dada. Jantungnya seperti mau copot. Ketakutan dan kegelisahannya kian menggumpal. Aura kematian pun seperti menguap di sekujur tubuh rentanya. Jangan-jangan ini memang firasat, bisik hatinya kian kalut.

***

“Bapak benar-benar tidak habis pikir, Jo. Kenapa pemilik kios batu nisan itu melakukannya?” Akhirnya Larto tidak tahan juga merahasiakan kegundahannya. Ia pun menceritakan semua uneg-uneg hatinya pada Bejo malam itu.

“Oo… jadi hanya gara-gara di batu nisan itu tercantum nama Bapak, lalu Bapak jadi gundah? Ada-ada saja. Itu kan cuma contoh, Pak! Saya yakin pemilik kios itu tidak tahu sama sekali nama Bapak. Dengan kata lain, itu cuma kebetulan!” Bejo berusaha menahan tawanya, takut bapaknya tersinggung.

“Lho? Justru karena dia tidak tahu namaku, Jo, makanya aku menganggap ini sebagai firasat bahwa umurku sudah dekat! Masa nama yang tertulis di sana sangat persis dengan namaku. Larto bin Kusno! Aneh tho? Coba, dari mana dia tahu nama mbah-mu yang sudah lama meninggal itu?” Larto mengerutkan keningnya.

“Seperti yang saya bilang tadi, itu hanya kebetulan, Pak. Tidak usah dipikirkan. Apalagi sampai membuat Bapak gelisah dan merasa disindir oleh batu nisan itu. Bahkan Bapak sampai membenci pemilik kios itu, yang jelas-jelas tidak bersalah. Pak, yang namanya kematian itu, hanya Gusti Allah yang tahu!” tegas Bejo meyakinkan.

Lha iyo, tapi…”

“Sudahlah, Pak. Itu cuma kebetulan. Dan tidak akan terjadi apa-apa sama Bapak. Justru kalau Bapak terus memikirkannya, maka Bapak akan tertekan sendiri dan akhirnya malah sakit. Nah, itu baru namanya mendekati kematian!”

Larto tampak terdiam. Namun perlahan wajahnya mulai terlihat lega. “Jadi… aku ndak usah percaya tho, Jo?”

Bejo mengangguk mantap. “Betul! Sekarang lebih baik Bapak istirahat di kamar, sudah malam.”

Larto mengangguk pelan. Dalam hati ia bersyukur, akhirnya beban batin yang ia rasakan belakangan ini mulai berkurang. Dan ia berharap tidurnya bisa nyenyak malam ini.

***

“Jo! Bejo!” sambut Larto tidak sabar. Sudah sejak tadi ia menunggu Bejo di teras rumah petakan mereka.

“Ada apa, Pak?” Bejo menatap bapaknya heran. Wajah lelaki tua itu tampak cerah, berbeda sekali dengan beberapa hari yang lalu. Dalam hati Bejo bersyukur, bapaknya sudah kembali seperti semula.

“Bapak punya sebuah kabar untukmu, Jo!” Larto mendahului langkah Bejo masuk ke dalam.

“Kabar apa, Pak? Bapak gembira sekali kelihatannya?” Bejo meletakkan ranselnya di meja dan mulai mengurai tali sepatunya.

“Kamu tahu tidak, tadi Bapak pergi lagi ke kios batu nisan itu.”

Bejo tersenyum. “Dan Bapak sudah tidak cemas lagi melihatnya, tho? Apa saya bilang, itu cuma perasaan Bapak saja. Karena terbukti tidak terjadi apa-apa pada diri Bapak.”

“Betul, tapi bukan cuma itu, Jo! Sekarang ada model batu nisan baru dipajang di bagian depan kios itu. Dan di sana tertulis, Bejo bin Larto! Lucu, tho?” Larto tertawa geli. Terlihat kini ia malah menikmati keanehan itu. Justru Bejo yang tersentak, menatap bapaknya dengan mulut membulat. Ia pun urung melepas sepatunya ketika merasakan debar-debar aneh di dadanya. (NoS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun