Haji Munif menatap hamparan riak di permukaan Danau Singkarak dengan mata berkabut. Kepalanya ditutup peci putih, tak kalah putih dengan rambutnya yang telah dipenuhi uban. Kerut dan keriput wajahnya menunjukkan bahwa usia lelaki berkharisma itu telah memasuki usia sangat lanjut.
Malam telah lama menyelimuti wilayah Singkarak, namun Haji Munif masih belum beranjak dari tegaknya. Tangannya yang dilipat di dada tak mengurangi gelombang hebat yang berontak di balik jiwanya. Bahkan pantulan sinar bulan yang keperakan di permukaan danau sedikitpun tak membuat hatinya menjadi lebih damai.
Tadi siang, beberapa orang penduduk mendatangi rumahnya. Mereka mengadukan perihal pajak yang ditetapkan Pemerintah Belanda.
“Peraturan baru itu sangat mencekik kami, Angku Haji. Jangankan untuk membayar pajak, untuk memberi makan anak istri saja kami sudah sangat kesulitan,” lapor salah seorang dari mereka.
“Dan yang lebih menyakitkan hati, para penghulu suku ikut-ikutan berlaku kejam pada kami. Mereka dengan seenaknya memaksa kami untuk membayar pajak pada pemerintah, padahal mereka tahu sendiri betapa uang adalah barang yang sangat langka sekarang di daerah ini,” imbuh yang lain.
Mendengar pengaduan orang-orang miskin itu, maka sorenya Haji Munif mendatangi rumah Datuk Malelo, salah seorang penghulu suku di kampung itu.
“Kami terpaksa, Angku Haji. Sejak sistim paksa budi daya kopi dihapuskan, satu-satunya penghasilan pemerintah adalah dari pajak tersebut, dan begitu pula dengan kami. Semakin sedikit pajak yang berhasil kami tagih, maka semakin sedikit pula penghasilan kami,” jawab Datuk Malelo.
“Dengan memaksa rakyat?” tanya Haji Munif heran.
“Tapi itu sudah merupakan peraturan Pemerintah Belanda, Angku Haji. Angku Haji kan tahu sendiri bahwa harga kopi di pasar dunia merosot jatuh. Pemerintah tidak punya penghasilan lain lagi selain dari pajak ini,” alasan Datuk Malelo.
“Datuk, yang sangat tidak masuk akal, peraturan ini dibuat pada saat kondisi ekonomi rakyat sedang berada pada titik paling rendah. Dan itu disebabkan oleh sistim paksa budi daya kopi itu sendiri. Lalu kenapa kemudian rakyat juga yang harus menanggung akibatnya ketika harga kopi merosot di pasar dunia?” Nada suara Haji Munif meninggi.
Datuk Malelo terdiam.
“Apakah belum cukup penderitaan yang dialami rakyat selama ini? Sementara kalian, para penghulu suku yang seharusnya melindungi rakyat sendiri, malah mencari keuntungan di atas penderitaan mereka! Jangan sampai rakyat menghakimi para penghulu sukunya sendiri akibat kezaliman yang mereka terima!” kecam Haji Munif sebelum berlalu dari halaman rumah Datuk Malelo.
Dan kini, dalam kesendiriannya, Haji Munif merasa sangat teriris membayangkan betapa terzaliminya rakyat akibat peraturan pajak yang baru itu. Dan lebih miris lagi, membayangkan bahwa yang lebih menunjukkan kesewenang-wenangan itu adalah orang pribumi sendiri, yaitu para penghulu suku, kepala nagari, kepala lareh dan kaki tangan Belanda lainnya yang jelas-jelas berdarah Minang, sama seperti rakyatnya.
Dan Haji Munif, adalah satu-satunya orang yang bebas pajak di daerah itu. Bukan karena tidak mampu membayar tapi karena prinsipnya yang kuat. Baginya, membayar pajak pada Belanda adalah haram karena itu adalah kezaliman terhadap rakyat. Ia lebih suka membantu rakyat yang kelaparan daripada harus menyetor uangnya untuk penjajah. Bahkan ia tak segan-segan mengusir para penagih pajak yang datang ke rumahnya.
“Kalian telah membantu penjajah zalim itu untuk menindas rakyat! Kalian lebih patuh pada perintah orang-orang kafir itu dan mengabaikan hukum Allah!” serunya ketika kepala nagari datang menegur sikap Haji Munif yang keras dan menentang peraturan pajak itu.
Tapi memang demikianlah Haji Munif. Ia tak pernah sudi membayar sepeser pun atas nama pajak. Ia juga dibebaskan dari kerja rodi karena dianggap sudah sangat tua, meski tubuhnya terlihat masih tegap. Padahal bagi mereka yang tidak ikut kerja rodi, ada kewajiban lain yang menunggu yaitu membayar denda 8 gulden. Jadi sebenarnya ada dua beban yang harus ditanggung rakyat ketika itu, yaitu pajak dan kerja rodi. Namun Haji Munif tak pernah sudi membayar satupun dari bentuk pungutan itu.
@@@
Keesokan harinya, seorang penghulu suku datang menghadap Haji Munif di rumahnya. Ia adalah Datuk Pakih, yang menjadi Penghulu Suku Bodi.
“Kedatangan saya ke rumah Angku Haji ini berkaitan dengan masalah rakyat yang sedang genting saat ini,” kata Datuk Pakih sambil duduk bersila di hadapan Haji Munif.
“Maksud Datuk masalah pajak?” tanya Haji Munif memperjelas.
Datuk Pakih mengangguk. “Benar, Angku Haji. Saya ingin melaporkan beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini.”
“Bicaralah, Datuk!”
“Beberapa hari yang lalu, sebanyak puluhan orang penghulu suku ditahan Belanda di Bukittinggi karena dituduh tidak lancar menagih pajak pada rakyat. Lalu seorang kepala lareh di Candung dipecat dengan tidak hormat karena dianggap gagal menggulung kelompok penentang pajak,” jelas Datuk Pakih.
Haji Munif menyimak dengan seksama. Ia sendiri sudah menduga akan terjadi hal-hal semacam itu. Pemerintah Belanda tidak akan tinggal diam ketika setoran pajak berjalan tersendat. Kaum penjajah itu sudah terkenal dengan sikap mereka yang mau menang sendiri dan menjatuhkan hukuman seenak perut mereka.
“Kami para penghulu suku yang masih memiliki rasa persaudaraan dan kemanusiaan, merasa serba salah, Angku Haji. Apa sebaiknya yang kami lakukan? Di satu sisi kami terus ditekan oleh pihak Pemerintah Belanda, dan di sisi lain kami juga tidak tega memaksa rakyat,” kata Datuk Pakih lagi.
Haji Munif menarik napas sejenak. “Datuk, saya menghargai sikap para penghulu suku yang masih mengerti kesulitan rakyat. Jangan sampai para penghulu suku bersikap seperti kepala lareh di Padang Panjang yang menutup jalan umum bagi mereka yang belum membayar pajak. Atau seperti asisten demang yang seenaknya memborgol mereka yang belum melunasi pajak. Dan yang lebih kejam lagi, asisten demang di Kambang tega menendang rakyat hingga mati karena tak sanggup membayar pajak.”
“Benar, Angku Haji! Bahkan saya sempat mendapat kabar belum lama ini, bahwa ada seorang lelaki yang patah tulang rusuknya akibat ditendang,” imbuh Datuk Pakih prihatin.
“Datuk kenal si Magek?” tanya Haji Munif.
“Magek Sijobang?”
“Ya. Kemarin dia ditemukan mati gantung diri. Menurut keluarganya ia bunuh diri karena tak kuat menahan malu akibat ditendang seorang opas di depan orang banyak.”
“Innalillahi…” Datuk Pakih menggeleng jeri.
“Kemarin petang saya datang ke rumah Datuk Malelo menanyakan masalah ini. Tapi sepertinya dia tidak begitu bisa diharapkan. Hidupnya sangat tergantung pada Belanda, bukan pada Allah lagi,” ujar Haji Munif.
“Lalu menurut Angku Haji, apa sebaiknya yang kita lakukan? Apakah kita perlu melakukan gugatan atau permohonan kepada Pemerintah Belanda agar menghapuskan peraturan baru itu, terutama di daerah Singkarak yang sangat miskin ini?” tanya Datuk Pakih mengusul.
Haji Munif terdiam seperti bepikir keras. Dan beberapa saat kemudian ia menggeleng lemah. “Itu tidak mungkin, Datuk. Belanda saat ini sangat menggantungkan hidup mereka pada pajak.”
Datuk Pakih kini ikut terdiam untuk beberapa jenak. Ada keresahan membaur dalam kerutan keningnya yang juga sudah mulai menua. “Angku Haji…”
“Datuk ada usul lain?” tanya Haji Munif melihat keraguan membias di mata Datuk Pakih.
“Bukan usul, Angku Haji, tapi…” Datuk Pakih kembali menatap wajah Haji Munif dengan sirat keraguan yang masih terlihat jelas.
“Tidak usah ragu, Datuk. Apa yang ingin Datuk sampaikan?” tanya Haji Munif dengan raut tenang.
“Saya… saya mendengar dari seorang penduduk bahwa Demang Singkarak mendapat perintah dari atas untuk menyelidiki kenapa penduduk di daerah ini sangat enggan membayar pajak. Pihak pemerintah yakin ada yang menghasut penduduk. Dan…” Kalimat Datuk Pakih kembali menggantung ragu.
“Lanjutkan, Datuk!”
“Dan sepertinya Demang mencurigai Angku Haji.” Kepala Datuk Pakih tertunduk.
Haji Munif menatap sosok di hadapannya dengan nanar, sebelum akhirnya menghela napas panjang. “Lalu apa yang akan dilakukan Demang terhadap saya?”
“Dia akan mengutus seorang dubalang ke kampung ini dalam beberapa hari, Angku Haji.” Datuk Pakih seperti sulit mengangkat wajahnya untuk menatap Haji Munif. Ia tidak tega membayangkan orang serenta Haji Munif ditangkap dan digelandang ke penjara yang penuh derita.
“Datuk, perjalanan hidup seseorang telah tergaris sejak dari azalinya. Jika memang hidup saya harus berakhir dengan cara seperti ini, maka itulah yang terbaik buat saya. Karena pada hakikatnya kematian saya bukanlah di tangan orang-orang kafir itu, melainkan di atas perjuangan dan pembelaan saya terhadap prinsip-prinsip agama,” tegas Haji Munif mantap.
Datuk Pakih bukannya jadi tenang mendengar kalimat penuh keyakinan itu, ia malah semakin takut membayangkan nasib buruk yang akan menimpa Haji Munif. Walau bagaimanapun, Haji Munif adalah tokoh masyarakat yang disegani. Kehinaannya adalah kehinaan bagi rakyat Singkarak, dan kehormatannya adalah kehormatan mereka juga. Sebagai seorang kepala suku, Datuk Pakih sangat sadar akan kewajibannya untuk menjaga kehormatan rakyat Singkarak dan melindungi Haji Pakih dari kehinaan yang mengancamnya. Tapi mampukah ia melakukan itu sendiri tanpa bantuan kepala suku, kepala lareh dan kepala nagari yang lain?
@@@
Hari masih pagi buta di bulan Desember, satu sosok melesat cepat ke arah timur, tepatnya ke arah rumah Haji Munif. Selembar kain sarung kotak-kotak menutup tubuhnya bagian atas. Suara langkahnya yang berdebam menunjukkan bahwa kakinya tidak memakai alas sama sekali. Semak dan ranting yang terinjak tak mengurangi kecepatan larinya.
“Angku Haji! Angku Haji!” seru sosok itu begitu sampai di samping rumah Haji Munif.
“Ya? Siapa itu?” Haji Munif yang sedang mengambil air wudhu di pancuran menyipitkan mata. Keremangan subuh membuatnya sulit mengenali sosok berselimut sarung itu.
“Cepat bersembunyi, Angku Haji! Beberapa veldpolitie sedang menuju kemari!” seru sosok itu sambil mendekat.
“Datuk Pakih?” Akhirnya Haji Munif mengenal sosok itu.
“Mereka ada sekitar 20 orang, Angku Haji. Ini berarti sebuah bahaya besar!”
“Saya tahu, Datuk. Tapi haruskah saya membatalkan shalat Subuh untuk menghindari mereka?” tanya Haji Munif sambil melangkah menuju tangga rumahnya. Datuk Pakih mengikuti dengan langkah tergesa.
“Lebih baik Datuk pergi dari sini. Biar saya yang menghadapi mereka,” kata Haji Munif sambil membentangkan selembar kain putih untuk alas shalatnya.
“Bagaimana mungkin saya meninggalkan Angku Haji sendiri? Yang harus diselamatkan itu justru nyawa Angku Haji!” seru Datuk Pakih mulai panik.
Haji Munif menatap mata Datuk Pakih dalam-dalam. Mata seorang kepala suku yang begitu tulus ingin membela dan menyelamatkan keselamatannya. “Datuk, tenangkan diri Datuk terlebih dahulu. Tarik napas dalam-dalam dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya. Sebentar lagi waktu Subuh akan masuk. Jika Datuk mau, pergilah ambil air wudhu dan mari kita shalat berjamaah.”
Datuk Pakih tertegun di atas kedua tungkainya yang kokoh.
“Bagaimana, Datuk?” tanya Haji Munif sambil melilitkan serban tipis di kepalanya. Begitulah kebiasaan beliau tiap kali hendak shalat.
“Saya akan ambil air wudhu dulu. Tapi setelah itu saya akan berjaga-jaga di depan pintu dan Angku Haji bisa shalat duluan. Saya akan shalat setelah Angku Haji. Oya, boleh saya meminjam peci Angku Haji untuk shalat nanti?” tanya Datuk Pakih.
Haji Munif tersenyum sambil menyerahkan peci putihnya ke tangan Datuk Pakih.
“Terimakasih, Angku Haji.” Datuk Pakih membalik, kembali menuruni tangga. Tidak lama kemudian ia sudah muncul lagi di kepala tangga dengan wajah basah tersiram air wudhu. “Silakan Angku Haji shalat duluan! Saya akan tetap berjaga-jaga di sini.”
Waktu berjalan seperti detak jantung. Begitu mendebarkan. Haji Munif telah tenggelam dalam tariqah panjangnya yang khusyuk. Ia benar-benar melabuhkan segenap kesadarannya pada satu Dzat yang agung, yang membuatnya tak lagi sadar bahwa Datuk Pakih telah turun lagi dari rumah dan berdiri tegap di halaman, menghadapi para veldpolitie dengan wajah garang.
“Tolong jangan ada yang berani maju lagi!” Suara Datuk Pakih terdengar tegas. Jaraknya kini sekitar empat meter dari para veldpolitie itu.
“Siapa kau?!” tanya salah seorang dari veldpolitie yang berkumis tebal. Sepertinya dia adalah pimpinan dalam kelompok bersenjata itu. Matanya menyipit mencoba mengenali sosok yang memakai peci putih tersebut. Suasana pagi yang masih agak gelap membuat para veldpolitie itu sulit mengenalinya.
“Lihat peci putih itu, pasti dia orangnya,” bisik salah seorang veldpolitie pada lelaki berkumis tadi.
“Aku adalah orang yang siap melindungi rakyat dengan cara apapun!”
“Oh, kau rupanya yang bernama Haji Munif itu? Bagus kalau begitu! Kami tidak perlu repot-repot menggeledah rumah ini.” Lelaki berkumis tebal itu tersenyum sinis.
“Kuharap kalian segera enyah dari sini sebelum para penduduk berdatangan kemari untuk mengepung kalian!” ancam Datuk Pakih geram.
“Tentu. Tapi apa yang bisa mereka lakukan setelah melihat tubuhmu tumbang berlumuran darah? Tidak ada! Kecuali jika mereka juga ingin bernasib sama denganmu!” ejek lelaki berkumis tebal itu angkuh. Sedetik kemudian ia mengangkat tangan, dan pada detik berikutnya sepuluh ujung senapan para veldpolitie telah terarah pada Datuk Pakih.
Tak ada yang sanggup mencegah lagi karena hanya dalam hitungan yang begitu singkat, semua moncong senapan itu telah memuntahkan isinya. Merobek setiap penggal tubuh Datuk Pakih yang beberapa saat kemudian roboh bermandikan darah. Peci putih yang tadi dipakaianya terpental sejauh dua meter. Peci yang telah berhasil mengibuli para veldpolitie.
“Cepat tinggalkan tempat ini! Tugas kita selesai!” seru pimpinan veldpolitie sambil meninggalkan halaman rumah Haji Munif.
Dan detik-detik selanjutnya adalah sepi. Kecuali suara langkah tergopoh Haji Munif yang terdengar menuruni tangga. Lelaki tua itu tak mengeluarkan sepatah katapun ketika ia sampai di samping tubuh Datuk Pakih yang bermandikan darah. Bau anyir darah seperti membius setiap tarikan napasnya. Dan sungguh, mata tua Haji Munif mengerjap gamang ketika menyadari bahwa satu jiwa telah melayang demi membentengi nyawa rentanya.
“Datuk,” bisiknya tak lama kemudian, “seharusnya nyawa tuaku ini yang lebih dahulu menghadap-Nya, karena keberadaanmu di dunia masih sangat berharga. Tapi… ini tak kan sia-sia. Aku telah menunaikan shalat subuhku di balik perlindunganmu, maka tunaikanlah shalat subuhmu di balik perlindungan-Nya!”
Tidak jauh dari sana, Danau Singkarak masih terlihat berselimut kabut. Riaknya kecil, tapi menyimpan satu rahasia besar yang entah kapan akan terkuak, karena alam selalu memilih jadi saksi bisu! (NoS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H