“Oh, kau rupanya yang bernama Haji Munif itu? Bagus kalau begitu! Kami tidak perlu repot-repot menggeledah rumah ini.” Lelaki berkumis tebal itu tersenyum sinis.
“Kuharap kalian segera enyah dari sini sebelum para penduduk berdatangan kemari untuk mengepung kalian!” ancam Datuk Pakih geram.
“Tentu. Tapi apa yang bisa mereka lakukan setelah melihat tubuhmu tumbang berlumuran darah? Tidak ada! Kecuali jika mereka juga ingin bernasib sama denganmu!” ejek lelaki berkumis tebal itu angkuh. Sedetik kemudian ia mengangkat tangan, dan pada detik berikutnya sepuluh ujung senapan para veldpolitie telah terarah pada Datuk Pakih.
Tak ada yang sanggup mencegah lagi karena hanya dalam hitungan yang begitu singkat, semua moncong senapan itu telah memuntahkan isinya. Merobek setiap penggal tubuh Datuk Pakih yang beberapa saat kemudian roboh bermandikan darah. Peci putih yang tadi dipakaianya terpental sejauh dua meter. Peci yang telah berhasil mengibuli para veldpolitie.
“Cepat tinggalkan tempat ini! Tugas kita selesai!” seru pimpinan veldpolitie sambil meninggalkan halaman rumah Haji Munif.
Dan detik-detik selanjutnya adalah sepi. Kecuali suara langkah tergopoh Haji Munif yang terdengar menuruni tangga. Lelaki tua itu tak mengeluarkan sepatah katapun ketika ia sampai di samping tubuh Datuk Pakih yang bermandikan darah. Bau anyir darah seperti membius setiap tarikan napasnya. Dan sungguh, mata tua Haji Munif mengerjap gamang ketika menyadari bahwa satu jiwa telah melayang demi membentengi nyawa rentanya.
“Datuk,” bisiknya tak lama kemudian, “seharusnya nyawa tuaku ini yang lebih dahulu menghadap-Nya, karena keberadaanmu di dunia masih sangat berharga. Tapi… ini tak kan sia-sia. Aku telah menunaikan shalat subuhku di balik perlindunganmu, maka tunaikanlah shalat subuhmu di balik perlindungan-Nya!”
Tidak jauh dari sana, Danau Singkarak masih terlihat berselimut kabut. Riaknya kecil, tapi menyimpan satu rahasia besar yang entah kapan akan terkuak, karena alam selalu memilih jadi saksi bisu! (NoS)