Mohon tunggu...
Novia Syahidah Rais
Novia Syahidah Rais Mohon Tunggu... Manajer Marketing & Komunikasi -

Bukan soal siapa kita, tapi ini soal apa yang kita tulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menguak Riak Singkarak

6 Januari 2015   16:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Datuk Pakih bukannya jadi tenang mendengar kalimat penuh keyakinan itu, ia malah semakin takut membayangkan nasib buruk yang akan menimpa Haji Munif. Walau bagaimanapun, Haji Munif adalah tokoh masyarakat yang disegani. Kehinaannya adalah kehinaan bagi rakyat Singkarak, dan kehormatannya adalah kehormatan mereka juga. Sebagai seorang kepala suku, Datuk Pakih sangat sadar akan kewajibannya untuk menjaga kehormatan rakyat Singkarak dan melindungi Haji Pakih dari kehinaan yang mengancamnya. Tapi mampukah ia melakukan itu sendiri tanpa bantuan kepala suku, kepala lareh dan kepala nagari yang lain?

@@@

Hari masih pagi buta di bulan Desember, satu sosok melesat cepat ke arah timur, tepatnya ke arah rumah Haji Munif. Selembar kain sarung kotak-kotak menutup tubuhnya bagian atas. Suara langkahnya yang berdebam menunjukkan bahwa kakinya tidak memakai alas sama sekali. Semak dan ranting yang terinjak tak mengurangi kecepatan larinya.

“Angku Haji! Angku Haji!” seru sosok itu begitu sampai di samping rumah Haji Munif.

“Ya? Siapa itu?” Haji Munif yang sedang mengambil air wudhu di pancuran menyipitkan mata. Keremangan subuh membuatnya sulit mengenali sosok berselimut sarung itu.

“Cepat bersembunyi, Angku Haji! Beberapa veldpolitie sedang menuju kemari!” seru sosok itu sambil mendekat.

“Datuk Pakih?” Akhirnya Haji Munif mengenal sosok itu.

“Mereka ada sekitar 20 orang, Angku Haji. Ini berarti sebuah bahaya besar!”

“Saya tahu, Datuk. Tapi haruskah saya membatalkan shalat Subuh untuk menghindari mereka?” tanya Haji Munif sambil melangkah menuju tangga rumahnya. Datuk Pakih mengikuti dengan langkah tergesa.

“Lebih baik Datuk pergi dari sini. Biar saya yang menghadapi mereka,” kata Haji Munif sambil membentangkan selembar kain putih untuk alas shalatnya.

“Bagaimana mungkin saya meninggalkan Angku Haji sendiri? Yang harus diselamatkan itu justru nyawa Angku Haji!” seru Datuk Pakih mulai panik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun