Hingga Pras berhasil mengunci lengan Radit dan membantingnya ke meja. Namun Radit yang dipenuhi amarah, bangkit lagi dengan sorot matanya yang tajam. "Ini belum selesai!" serunya seraya mengeluarkan sebuah pisau dari dalam jaketnya.
Melihat pisau di tangan Radit, Pras sungguh terkejut dan mundur beberapa langkah. "Lo jangan main-main, Dit! Lo benar-benar gila, Radit!"
Radit bukan orang sembarangan, Pras tahu hal itu. Dulu mereka sering bertarung bersama melawan geng motor, tapi sekarang justru mereka lah yang saling menyerang.
Radit mengayunkan pisaunya, tapi Pras berhasil menghindar dengan gesit. Perkelahian berubah menjadi arena mematikan. Keduanya berlari keluar dari kafe, menghantam pintu dan menghambur ke jalanan yang gelap.
Pras yang kelelahan, berhenti di sebuah gang sempit yang dikelilingi tembok tinggi. Nafasnya berat, keringat bercucuran di dahinya. Tak ada lagi tempat untuk berlari. Radit mendekat dengan pisau yang berkilat dalam cahaya remang.
"Ngga ada jalan keluar, Pras! Lo harus menebus apa yang udah lo ambil dari gue."
Radit mengayunkan pisaunya lagi, kali ini lebih cepat dan terarah. Pras menangkis serangannya, tapi pisau itu telah menggores kulitnya, meninggalkan luka tipis di lengan kirinya. Dan di tengah kekacauan itu, sebuah suara menggema di udara. "Berhenti!"
Keduanya menoleh. Di ujung sana, Cika berdiri dengan mata berkaca-kaca melihat dua sahabatnya sedang berusaha saling menghancurkan.
"Kalian udah ngancurin semuanya. Untuk apa?"
"Kamu Cik! Kamu yang udah milih dia!"
"Iya Dit, iya gue salah! Tapi ngga kayak gini caranya!"