Bella mengangguk. Dengan gemetar, dia pun menjawab panggilan itu. "Halo, sayang?"
"Lan, kamu di mana? Aku di apartemen, tapi kamu ngga ada. Aku mau kasih sesuatu buat kamu."
"Oh, maaf sayang. Aku.. aku lagi di luar. Ada urusan kantor yang harus aku selesaikan."
Namun menjelang pagi, Alan baru kembali ke apartemen. Wajah Bella sudah menghilang, digantikan oleh sosok Alan yang dikenal Sasya. Saat dia membuka pintu, Sasya duduk di sofa sambil menonton TV.
Alan ingin sekali mengungkapkan semuanya, tapi rasa ketakutan membuatnya tak mampu bicara. Sasya adalah wanita yang sempurna untuknya, namun Bella.. Bella adalah bagian dari dirinya yang tak bisa dia tolak.
"Aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu kamu, Lan. Aku ngga mau memaksa kamu cerita sekarang."
Kata-kata itu menghujam dada Alan. Rasa sayang dari Sasya justru semakin menambah rasa bersalahnya. "Makasih Sya."
Beberapa hari kemudian, Alan tetap menjalani rutinitasnya. Suatu malam, ketika Alan sedang bersiap menjadi Bella, ponselnya kembali berdering. Kali ini bukan Sasya, tapi Tania yang meneleponnya.
"Halo, Tan.. Ada apa?" tanya Alan sambil memoleskan lipstik merah di bibirnya.
"Salah satu pengunjung bilang kalau dia lihat kamu di luar klub beberapa kali. Dia bilang.. dia lihat kamu sama cewek."
Sekejap jantung Alan berdegup kencang. Dia tahu bahwa dunia Bella dan Alan selama ini terpisah dengan aman. Namun, semakin sering dia keluar, semakin tipis jarak yang memisahkan dua identitas itu.