Laras duduk di sudut ruang gelap, matanya memandangi foto Damar, kekasihnya yang sudah meninggal. Senyum Damar di foto itu begitu hidup, seolah masih bersamanya. Tapi itu sudah berlalu.
Damar dibunuh oleh komplotan yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. Hanya satu nama yang Laras tahu, Doni, yaitu orang yang memimpin komplotan kejam itu.
Laras mengusap air matanya yang jatuh. Sudah bertahun-tahun sejak malam itu, tapi dendamnya masih berkobar. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Selama ini ia diam, berlatih dan menyusun rencana.
Derap langkah sepatu Laras menggema di lorong sempit sebuah gudang tua. Ia tahu Doni ada di sana, bersembunyi bersama para anak buahnya. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, dalam balutan sarung tangan kulit hitam.
Laras menendang pintu dengan satu pukulan kuat. Pintu itu terhempas ke dinding, membuat beberapa anak buah Doni yang berada di dekatnya menoleh kaget.
Seorang pria bertato mendekatinya dengan tongkat di tangan. "Heh, apa-apaan ini? Siapa...?"
Laras tidak membiarkan pria itu menyelesaikan kalimatnya. Ia menerjang ke depan, melayangkan tendangan ke perut pria itu. Terdengar batuk dan jerit kesakitan saat pria itu terhuyung mundur. Laras tidak memberinya kesempatan untuk pulih, dengan cepat ia menyikut dagu pria itu hingga terjatuh.
Dua orang lainnya yang berada di sudut gudang saling bertukar pandang, dan salah satu dari mereka menarik pisau dari pinggangnya untuk menyerang Laras. Namun, Laras telah siap.
Dengan gerakan cepat, ia menangkis serangan itu, mencengkeram pergelangan pria itu, lalu memutar lengannya hingga terdengar suara patah yang terasa ngilu.
Laras melepaskan tangannya, membiarkan pria itu jatuh berlutut, memegangi lengannya yang patah. Ia menoleh ke arah pria yang satu lagi, menatapnya dengan dingin. "Di mana Doni?"