Saat membuat tulisan ini, aku sedang duduk selonjoran pada salah satu selasar masjid Istiqlal. Sekadar meluruskan kaki-kakiku yang terkadang sudah mulai terasa rapuh.
Aku sempat mengaktifkan mode wifi pada smartphone-ku. Tapi, yang terdeteksi hanya nama-nama hotspot milik sesama pengunjung. Oh ya, aku baru ingat kalau ini masjid. Siapa pula yang punya ide pasang wifi di masjid?!
Maklum saja, nuansa megahnya istana di sekelilingku telah membuatku hampir lupa akan fungsi keberadaan tempat ini yang sesungguhnya.
Sudah tiga puluh menit aku duduk seorang diri di sini. Air wudhu tak sepenuhnya berhasil menghapus rasa kantuk yang menderaku.
Entah sudah berapa kali aku menguap, membuat kedua mata ini lantas berkaca-kaca. Samar ku lihat riuh pengunjung datang dari segala arah.
Sayup suara mereka ku dengar berbahasa daerah ketika saling bicara. Musim libur lebaran, tengah membuat banyak pendatang dari berbagai daerah mengunjungi masjid ini.
Sesaat ku usap wajah, mengamati ibu-ibu dan bapak-bapak di tengah sana. Mereka berlomba-lomba mengambil gambar dirinya dengan latar belakang pilar masjid. Semua beradu gaya, miring kanan - kiri seolah tak mau kalah dengan gaya anak perawan.
Di tengah sana pula, aku menyaksikan riangnya anak-anak balita tertawa riang saling berkejaran. Tawa lepas yang bebas, tiada beban pun menggelayut pada tubuh mungil mereka.
Dari sini juga, aku dapat melihat puncak monas dengan jelas. Sebab jarak kami yang tidak begitu jauh.
Ketika tadi melangkahkan kaki menuju tempatku sekarang, aku pun dapat melihat Katedral berdiri anggun. Memancarkan kedamaian yang sejati, seolah ikut menyapa kedatanganku meski dari seberang sana.