"Okelah kalau gitu. Jangan bokis lo Lan! Hahaha. Gue tunggu ya."
Pukul 17.09 Ferry bergegas turun meninggalkan kantornya, hendak langsung pulang ke rumah. Dengan suasana hati yang cerah penuh harap, lelaki berkaca mata itu santai melajukan motor maticnya.
Kembali ke Wulan.Â
"Jadi gini Ndah, kakak kelas gue waktu SMA namanya Ferry. Dulu gue kenal karena dia kakak senior gue di ekskul seni rupa. Dia jago gambar, sekarang kerjanya desain grafis. Nah, gue pingin kenalin dia sama lo. Siapa tahu kalian cocok."
"Hahaha. Hmm... Boleh juga sih Lan." ucapnya seraya tersenyum malu-malu.
"Jadi boleh ya, kalau gue kasih nomor lo ke Ferry?"
"Hmm, boleh. Kasih saja." angguknya.
"Oke deh..." sahut Wulan dengan sumringahnya. Tanpa berlama-lama lagi, Wulan sigap mengirim pesan kepada Ferry.
Dalam pesan itu ia mengatakan bahwa Indah bersedia berkenalan dengannya serta tak lupa Wulan memberikan nomor ponsel Indah.
Ferry yang masih berada dalam perjalanan pulang, tak mendengar adanya pemberitahuan pesan masuk. Namun, ketika dirinya tiba di depan pagar rumahnya tiga puluh menit kemudian, Ferry mengecek isi ponselnya. Sekejap bibir tipisnya membentuk sudut lengkung kala membaca pesan dari Wulan.
Tiga tahun berlalu. Tanpa ada seorang pun yang dapat menebak apa yang terjadi. Ferry dan Indah juga telah melalui banyak hari mereka bersama sebagai sepasang kekasih, sejak pertama kali keduanya bertemu janji. Di bawah rintik gerimis, Sabtu siang hari itu di depan kampus Indah di jalan Salemba.
Sebentar lagi Indah akan melangsungkan wisudanya. Dan berharap di hari wisuda nanti, ayahnya akan menerima kehadiran Ferry dengan tangan terbuka. Karena nyatanya selama ini sang ayah tidak merestui hubungan mereka, sebab di balik sikap angkuhnya diam-diam beliau berencana menjodohkan anak gadis semata wayangnya itu dengan lelaki yang tak lain ialah anak dari teman lamanya.