Penghujung Kamis sore yang melelahkan, lelaki lajang berusia dua puluh limaan itu menghela nafas setelah menutup lembar kerjanya dalam layar komputer. Lelaki dengan setelan pegawai kantoran yang bernama Ferry itu, teringat kepada adik kelasnya semasa SMA dulu. Belum lama ini keduanya berkomunikasi lewat pesan singkat, saling bercerita dan pada akhirnya Wulan berjanji akan mengenalkan Ferry kepada seorang gadis, teman kuliah Wulan.
"Kebetulan dua-duanya jomblo, siapa tahu cocok dan bisa jadian." begitu pikir Wulan.
Lantas sebelum bersiap-siap untuk meninggalkan tempat duduknya, Ferry mengirim pesan kepada Wulan.
"Gimana Lan, jadi kenalin gue sama teman lo ngga?"
Sementara di kejauhan sana, Wulan sedang nongkrong di kantin dekat kampus bersama ketiga teman-teman satu gengnya. Ia pun tersenyum-senyum sendiri ketika membaca pesan yang baru saja masuk di ponselnya.
"Lo kenapa Lan? Cowok baru?" tanya Indah kepo, ia sedang duduk di hadapan Wulan. Sementara kedua teman lainnya sedang makan sambil mengobrol dengan topiknya sendiri.
"Hah? Bukan, justru gue mau kenalin teman gue sama lo."
"Hah? Apaan? Siapa sih?"
"Bentar, gue bales sms dia dulu." lantas Wulan kembali pada fokusnya menatap ke layar ponsel. Dan Indah menunggu dengan dahinya yang berkerut menatap Wulan.Â
"Jadi Fer. Tenang saja, nanti gue kasih nomor hp Indah. Gue bilang dulu ya ke orangnya. Dari kemarin belum sempat."
"Okelah kalau gitu. Jangan bokis lo Lan! Hahaha. Gue tunggu ya."
Pukul 17.09 Ferry bergegas turun meninggalkan kantornya, hendak langsung pulang ke rumah. Dengan suasana hati yang cerah penuh harap, lelaki berkaca mata itu santai melajukan motor maticnya.
Kembali ke Wulan.Â
"Jadi gini Ndah, kakak kelas gue waktu SMA namanya Ferry. Dulu gue kenal karena dia kakak senior gue di ekskul seni rupa. Dia jago gambar, sekarang kerjanya desain grafis. Nah, gue pingin kenalin dia sama lo. Siapa tahu kalian cocok."
"Hahaha. Hmm... Boleh juga sih Lan." ucapnya seraya tersenyum malu-malu.
"Jadi boleh ya, kalau gue kasih nomor lo ke Ferry?"
"Hmm, boleh. Kasih saja." angguknya.
"Oke deh..." sahut Wulan dengan sumringahnya. Tanpa berlama-lama lagi, Wulan sigap mengirim pesan kepada Ferry.
Dalam pesan itu ia mengatakan bahwa Indah bersedia berkenalan dengannya serta tak lupa Wulan memberikan nomor ponsel Indah.
Ferry yang masih berada dalam perjalanan pulang, tak mendengar adanya pemberitahuan pesan masuk. Namun, ketika dirinya tiba di depan pagar rumahnya tiga puluh menit kemudian, Ferry mengecek isi ponselnya. Sekejap bibir tipisnya membentuk sudut lengkung kala membaca pesan dari Wulan.
Tiga tahun berlalu. Tanpa ada seorang pun yang dapat menebak apa yang terjadi. Ferry dan Indah juga telah melalui banyak hari mereka bersama sebagai sepasang kekasih, sejak pertama kali keduanya bertemu janji. Di bawah rintik gerimis, Sabtu siang hari itu di depan kampus Indah di jalan Salemba.
Sebentar lagi Indah akan melangsungkan wisudanya. Dan berharap di hari wisuda nanti, ayahnya akan menerima kehadiran Ferry dengan tangan terbuka. Karena nyatanya selama ini sang ayah tidak merestui hubungan mereka, sebab di balik sikap angkuhnya diam-diam beliau berencana menjodohkan anak gadis semata wayangnya itu dengan lelaki yang tak lain ialah anak dari teman lamanya.
Malam ini Indah menangis sesenggukan dalam dekapan sang ibu. Beberapa menit yang lalu seorang lelaki bernama Radit baru saja pergi meninggalkan rumah itu. Bagaimana tidak shock, Indah dilamar secara tiba-tiba oleh Radit yang datang didampingi kedua orang tuanya. Siapa Radit? Bahkan mereka tak pernah saling mengenal sebelumnya. Hanya saja pagi tadi ayah Indah mengatakan bahwa malam ini teman lamanya akan datang ke rumah untuk bersilaturahmi. Siapa sangka akan begini jadinya.
Radit lelaki yang taat beragama, sikapnya santun dan pintar berbisnis, membuatnya sedikit berbeda dari kebanyakan lelaki muda seusianya. Tak pernah dekat dengan gadis mana pun, tak pernah berpikir tentang kekasih. Hingga ia pun bersedia kala sang ayah akan menjodohkannya dengan Indah.
Bukan berarti Ferry lelaki yang tidak baik. Tapi bagi Indah, sejauh ini hanya Ferry yang terbaik dan mengerti dirinya. Ada banyak kisah di sepanjang jalan Salemba hingga Matraman bagi Indah dan Ferry. Sepanjang jalan yang menjadi saksi tumbuhnya benih-benih cinta dalam hati mereka. Di sepanjang jalan itu, keduanya kerap tertawa dan bercanda bahkan sesekali bertengkar dalam perjalanan Ferry mengantar Indah pulang ke rumahnya.
Kini dalam tekanan ayahnya, Indah menyerah.
"Maafin aku Fer. Aku sama sekali ngga pernah berniat main-main atau mungkin nyakitin kamu. Tapi kali ini aku benar-benar nyerah."
"Hmm, aku bisa ngerti kondisi kamu. Mungkin memang dia jodoh yang terbaik buat kamu."
Indah menangis dan Ferry yang duduk di hadapannya hanya dapat menggenggam kedua tangan gadis itu. Sosok gadis impian yang sempat ia miliki di sampingnya. Kisah mereka telah usai. Semua cerita tentang mereka tinggal menjadi bayang-bayang kenangan yang tersimpan rapi dalam benak mereka masing-masing. Â Keduanya sakit, keduanya hancur. Tapi kenyataan di depan mata memaksa mereka untuk sanggup melanjutkan hari. Meski saling kehilangan, mereka berhenti untuk saling mencari. Dan mungkin untuk selamanya, rindu akan memenuhi seisi ruang dalam dada mereka. Meskipun begitu menyesakkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H