Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | "Absurd"

17 Maret 2018   22:10 Diperbarui: 17 Maret 2018   22:41 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seharusnya malam ini adalah malam pertama dari perjumpaan kita. Setelah sebelas bulan yang lalu, kita bertemu, lantas saling berpamitan. Namun mengapa, rasanya malah sebaliknya.

Di malam yang seharusnya kita menghitung mulai dari nol lagi rasa rindu kita, kini malah dipaksa menghitung lebih banyak rindu. Seolah-olah dari setiap angka yang kita hitung, takkan pernah dijumpai angka seratus atau seribu atau angka tertinggi sebagai tanda bahwa perhitungan telah selesai.

Agustus belumlah berlalu, dan seperti inginku, inginmu, ingin kita, akhir Agustus akan kita jadikan sebagai moment "pembalasan dendam". Seperti ungkapan seorang bijak, bahwa rindu laksana dendam, harus dibayar lunas agar tuntas.

Namun, entah bagaimana mulanya. Mula yang membingungkan, se-me-bingungkan kisah percintaan antara Zeus dan selir-selirnya. Waktu pertemuan mendadak terhenti. Dihentikan oleh ego-ego yang kecepatannya laksana seekor burung Hummingbird. Melesat secepat waktu. Dalam sekali kepakan sayap, dendam rindu milik kita seolah-olah telah lunas terbayar.

Bukan terbayarkan dengan kisah romantis, kisah yang kerap aku lirihkan dalam doa-doaku setiap hari, tapi sebaliknya. Semua kisah rindu yang kujadikan dendam tersebut, menggenang di mata dan sulit untuk kususut. Selaksa-laksa derainya memenuhi ceruk yang menyerupai cawan raksasa. Yang perlahan retak, karena tak mampu lagi menampung sendunya.

Tiba-tiba aku menjadi benci dengan debar dadaku sendiri. Mereka seperti seorang anak muda yang tengah mencari jatidirinya. Sulit dikendalikan. Sulit dikontrol. Mereka berontak, mengobrak-abrik apapun yang ku jaga dengan tameng "Tidak apa-apa" atau "Ya sudah, aku tahu diri"

Debar yang kujaga baranya, agar tetap hangat, hangat seperti baru pertama kali kita berjumpa. Di taman. Di bangku berlumut. Di payungi percikan-percikan airmancur tahun lampau. Tanganmu yang telapaknya lebih besar dariku, mengenggam erat jari-jariku. Tanpa kata, aku bisa membaca signal yang kau kirimkan melalui genggamanmu. Bahwa semua akan baik-baik saja.

Namun kini, debar itu menjadi satu hal beban terberatku. Beban yang ku yakin akan menjadi penganggu ketika langkah kakiku berjejak di bumi ini. Bumi yang ada kamu dan aku. Beban yang mendendam.

*

Hujan turun. (Sama persis saat terahkir kita bertemu)

Mungkin semua orang, merasa senang karena akhirnya langit menurunkan berkahnya berupa air hujan, yang akan membasahi atap rumah yang berdebu, karena musim kering begitu betah bertengger. Tapi tidak denganku. Sedari tadi tanganku sudah mengepal gemas. Gigi gerahamku bergemeretak menahan kecewa, karena malam ini tanganmu menolak untuk mendekap tubuhku yang gigil merindu.

"Semua karena keabsurd-an mu"

Itu kata-kata yang selalu kau ucapkan. Sikapmu seperti tumbuhan putri malu. Bagaimana pun sentuhan manusia, dia memilih untuk menunduk pasrah.

Bukankah dirimu sudah menjalani hal Absurd denganku ratusan purnama banyaknya ? Mengapa kini kau keluhkan dan disesali ?

Jika keabsurd-an dijadikan sebagai kepasrahan, bagaimana seorang Einstein dan Hawking mampu menemukan begitu banyak rumus fisika.

Tidakkah kau percaya, bahwa segala sesuatu yang dijalani tanpa keluh kesah akan berakhir indah.

Tidakkah kau percaya, bahwa lebih baik berjuang dan gagal. Daripada pasrah namun tetap gagal. Tidakkah yang gagal tanpa berjuang hanya menyisakan rasa sesal ?

Tentang kau yang di sana.

Tentang aku yang di sini.

Kita seumpama seorang pencari kayu di hutan lebat belantara. Dengan kekuatan dan keyakinan masing-masing mencoba menerobos lebatnya hutan, berjalan berlawanan, demi seikat kayu bakar. Sebagai suluh penghangat perapian dalam rumah.

Aku bukanlah penganut aliran yang menjunjung tinggi asas selamat tinggal. Bagiku, bedanya pola pikir kita hanyalah sebuah kompas. Penunjuk mana utara, selatan, timur, barat dan mata angin lainnya. Penunjuk yang dengan segala kerumitannya menuntunku kepadamu.

Namun seiring perjalanan waktu, yang detiknya kini tak pernah kita hitung dan ingat lagi. Rupanya rasa absurd makin membuat dunia bersikap keras pada kita. Absurd yang di bentangi jarak sudah mengikis habis lengkung pelangi yang pada kedua ujungnya terpatri janji-janji kita.

Tentang segalanya yang pernah begitu mudah dan pasti. Kini telah berubah menjadi begitu sulit dan abu-abu. "Terserah" adalah mantra-mantramu. "Ya udah" adalah mantra-mantraku.

"Di dunia ini tidak semua yang kita inginkan, akan kita dapatkan. Sama halnya dengan sebuah doa, tidak semua doa terkabulkan"

Mungkin setelah menjadi seorang pencari kayu bakar, kini aku harus menjadi seorang penyelam juga. Demi mendapatkan sebuah mutiara berkwalitas harus sudi menyelam pada lautan terdalam.

Seperti ibumu yang berjuang hingga akhir, saat melahirkanmu. Begitupun aku. Aku ingin berjuang. Memperjuangkanmu hingga akhir. Walau sebagai taruhannya, danau dalam mataku cepat mengering.

Malam ini, masih seperti malam sebelumnya, dingin dan absurd. Namun aku yakin, bahwa jarak dan waktu akan menunjukan caranya sendiri.

Bagiku. Bagimu. Bagi kita.

Pintaku, jangan menyerah.

BPN, 17 Mar 18

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun