Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Bapak Selalu Payah

12 November 2016   11:10 Diperbarui: 12 November 2016   13:02 2155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Warta Priangan

“Pak, Bahasa Inggrisnya tempat sampah itu apa?” tanya Jalil pada Gunawan, bapaknya. Mata Gunawan hanya mengerjap-ngerjap, kening berkerut dari pangkal hingga ujung dahinya. Dirinya hanya seorang supir becak, yang tidak lulus sekolah dasar tiba-tiba mendapat pertanyaan dari putranya yang di anggapnya 'mewah'.

“Ehmm..anu..apa ya....” jawabnya terbata-bata kebingungan ingin memberitahu bahwa sebenarnya dirinya tidak tahu sama sekali jawabannya.

“Yah, Bapak. Tiap kali Jalil bertanya ini dan itu, jawabannya selalu tidak tahu. Payah,” Jalil langsung berkemas dan meninggalkan Gunawan yang termangu, mendengar keluhan Jalil tentang dirinya. "Payah."

*

Adzan Isya sudah berkumandang, namun Jalil belum juga kembali dari rumah, Toni, teman sekelasnya.

“Bun’e, kok Jalil belum pulang ya dari rumahnya Toni,” Gunawan bertanya pada Erna, istrinya.

“Ya ga papa kan, Pakn’e. Dia kan ke sana mengerjakan peer nya. Tadi ibu lihat dia pergi dengan membawa buku setumpuk katanya peernya banyak. Kita tunggu saja sampai jam sembilan. Jika belum pulang juga nanti Pakn’e kan bisa jemput ke rumahnya Toni?”

“Iyo-lah,” jawab Gunawan singkat.

Gunawan beranjak ke teras rumahnya yang sangat sederhana, dan duduk pada satu-satunya kursi di teras itu. Menunggu Jalil.

*

“Assalamualaikum,” rupanya sebelum jam sembilan Jalil sudah pulang. Wajahnya tampak bahagia.

“Sudah pulang kamu, Le?” sapa Gunawan.

“Ya, Pak. Dan peer ku sudah selesai semua. Tadi aku dan Toni mengerjakan peer dibantu papanya Toni. Bahasa Inggris, IPA dan Geografi. Papanya Toni pintar, dia tahu semua hal. Apalagi Bahasa Inggris nya, wuah..wuahh…lancar, Pak,” Jalil bercerita panjang lebar sambil memasukan beberapa buku ke dalam tas, sesekali wajahnya berpaling ke dinding yang tertempel jadwal mata pelajarannya.

“O..o..o..o,” hanya itu yang bisa Gunawan ucapkan. Wajahnya termangu-mangu.

*

Udara Kota Surabaya siang ini begitu terik, di pangkalan becak tampak Gunawan tengah asik menghitung uang hasil pendapatannya narik becak hari ini. Rupanya udara yang terik membuat orang malas untuk berjalan kaki, walaupun itu hanyalah sebuah jarak yang dekat. Tentunya hal ini membawa keuntungan bagi Gunawan karena semakin banyak yang malas jalan kaki, maka dirinya akan mendapat uang lebih banyak.

“Ahhh….40 ribu…lumayan..” katanya Gunawan pada diri sendiri, senyumnya mengembang puas. Lalu memasukkan sejumlah uang tersebut ke dalam dompet hitamnya yang sudah sangat lusuh. Sejurus kemudian Gunawan membetulkan letak becaknya, niat hati hendak beristirahat sebentar, karena sedari tadi, kakinya tiada jeda mengkayuh pedalnya.

“Pakl’e, ke Gramedia Basuki Rahmat, ya!!!” seorang anak perempuan, langsung duduk di becaknya dan menyebutkan alamat yang di tuju. Gunawan terdiam sejenak, nampak bimbang. “Tapi itu lumayan jauh dari sini, apakah uangnya cukup untuk membayar?” batinnya.

“Dari sini ke sana sekitar 25 ribu,” katanya lagi.

“Iya, Pakl’e. Ini uangnya,” anak tersebut tanpa membantah menyepakati harga yang di berikan, bahkan langsung memberikan uangnya pada Gunawan.

Hari ini Gunawan senang luar biasa, senyum anak istrinya terbayang di wajahnya. “Alhamdulillah,” ucapnya dalam hati.

*

“Pak, bisa ajari aku Ha Na Ca Ra Ka?” tanya Jalil pada Gunawan.

“Oooo..bisa, Le..sini..sini..ambil bukumu,” dengan riang Gunawan bersiap membantu Jalil mengerjakan peer bahasa daerahnya.

“Ilmu pengetahuan lainnya mungkin aku ga bisa, tapi kalau tulisan jawa, aksara Ha Na Ca Ra Ka, itu aku jagonya,” gumam Gunawan dalam hati membanggakan dirinya sendiri.

“Pak, aku minta di belikan Ensiklopedi ya! Jadi kalau ada tugas sekolah, aku bisa mengerjakannya tanpa perlu ke rumah Toni,” rengek Jalil sambil terus sibuk menulis aksara Jawa dengan hati-hati.

Gunawan terhenyak. Dalam bayangannya buku tersebut pasti sangat mahal. Namun tak ditunjukannya hal tersebut, soal uang itu bisa diusahakan batinnya.

“Memang kenapa ga mau ke tempat Toni lagi!? Bukankah kamu paling senang mengerjakan peer di sana, Le” tanya Gunawan menyelidik.

“Toni tadi masuk sekolah, pipi sebelah kanannya memar. Terus aku tanya ke dia, katanya di pukul papanya”

“Hah…di-p-u-k-u-l..kenapa bisa begitu?!”

“Ga ngerti, Toni ga cerita apa sebabnya,” Jalil kini mengalihkan perhatiannya ke wajah Gunawan dan membetulkan posisi duduknya.

“Ehm..anu, Pak,” katanya ragu-ragu seperti ada yang hendak ingin disampaikannya “Maafkan aku ya, selama ini sudah menganggap Bapak payah, karena tidak pernah bisa membantuku mengerjakan peer,” katanya sambil menunduk dalam-dalam.

Gunawan terkejut dengan yang di katakan Jalil anaknya. Jujur, baginya sangat menyakitkan tidak bisa membantu Jalil mengerjakan pekerjaan rumahnya karena keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Terlebih Jalil kerap membanding-bandingkan dirinya dengan papanya Toni.

“Pak, senakal apapun aku, Bapak ga pernah pukul aku, bahkan kalau aku marah-marah ke Bapak, Bapak hanya diam. Harusnya aku beruntung punya Bapak seperti Pakn’e. Aku ndak mau bernasib seperti Toni, punya papa pintar tapi suka mukulin anaknya ampe babak belur,” Jalil langsung memeluk Gunawan.

Gunawan tersenyum, tak mengucapkan apapun. Dia peluk Jalil sekuat mungkin, dirinya menyadari yang menjadi kekurangannya. Namun sebagai orang tua, dirinya akan berusaha sekuat tenaga membuat putra semata wayangnya menjadi seseorang yang melebihi dirinya terutama dalam hal ilmu pengetahuan.

*

Gunawan tampak sibuk membolak balik kamus saku Bahasa Inggris yang di belinya beberapa hari yang lalu saat menemani jalil membeli buku ensiklopedi di sebuah toko buku. “Makan…E-a-t,” Gunawan mengeja terbata, walau dengan logat yang aneh. Waktu senggangnya menunggu pelanggan becak kini dihabiskannya untuk membaca buku. Rupanya kisah seorang anak yang memintanya mengantar ke Gramedia sudah membuka pola pikir Gunawan.

Saat itu, anak tersebut banyak sekali bercerita keuntungan membaca buku, menurutnya tidak perlu sekolah tinggi jika ingin tahu banyak hal, cukup tekun membaca saja maka jendela pengetahuan akan terkuak dengan lebar.

Berhari-hari kalimat demi kalimat yang diucapkan anak perempuan tersebut terngiang-ngiang di telinganya. Dan akhirnya Gunawan memantapkan hati untuk mulai mau membaca apapun, walaupun dengan mengejanya. Hal tersebut di dukung sepenuhnya oleh Erna, sang istri. Bahkan Erna kerap menyisihkan sedikit uang untuk bisa membeli buku pengetahuan bekas agar bisa dibaca Gunawan. Efek dari rajinnya Gunawan membaca adalah selain dia menjadi fasih membaca, dirinya kini mulai bisa membantu Jalil mengerjakan peernya. Dan jika ada yang Gunawan tidak bisa menjawab maka dengan tekun dirinya akan mencari buku-buku yang berhubungan dengan pertanyaan itu. Lagipula hal itu di lakukan semata-mata agar ucapan "Yah, Bapak payah" tidak terucap lagi dari mulut putranya.

Jalil kini makin semangat untuk belajar, karena dirinya merasa bahwa Bapaknya berjuang keras demi bisa membantunya menyelesaikan pekerjaan sekolahnya.

*

Perjuangan seorang Bapak kerap terabaikan karena waktunya hanya dipergunakan untuk bekerja dan bekerja. Padahal tanpa disadari, dalam kesibukannya bekerja, terselip rasa rindu pada anak-anaknya, rindu menemani mereka mengerjakan pekerjaan rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun