“Pak, bisa ajari aku Ha Na Ca Ra Ka?” tanya Jalil pada Gunawan.
“Oooo..bisa, Le..sini..sini..ambil bukumu,” dengan riang Gunawan bersiap membantu Jalil mengerjakan peer bahasa daerahnya.
“Ilmu pengetahuan lainnya mungkin aku ga bisa, tapi kalau tulisan jawa, aksara Ha Na Ca Ra Ka, itu aku jagonya,” gumam Gunawan dalam hati membanggakan dirinya sendiri.
“Pak, aku minta di belikan Ensiklopedi ya! Jadi kalau ada tugas sekolah, aku bisa mengerjakannya tanpa perlu ke rumah Toni,” rengek Jalil sambil terus sibuk menulis aksara Jawa dengan hati-hati.
Gunawan terhenyak. Dalam bayangannya buku tersebut pasti sangat mahal. Namun tak ditunjukannya hal tersebut, soal uang itu bisa diusahakan batinnya.
“Memang kenapa ga mau ke tempat Toni lagi!? Bukankah kamu paling senang mengerjakan peer di sana, Le” tanya Gunawan menyelidik.
“Toni tadi masuk sekolah, pipi sebelah kanannya memar. Terus aku tanya ke dia, katanya di pukul papanya”
“Hah…di-p-u-k-u-l..kenapa bisa begitu?!”
“Ga ngerti, Toni ga cerita apa sebabnya,” Jalil kini mengalihkan perhatiannya ke wajah Gunawan dan membetulkan posisi duduknya.
“Ehm..anu, Pak,” katanya ragu-ragu seperti ada yang hendak ingin disampaikannya “Maafkan aku ya, selama ini sudah menganggap Bapak payah, karena tidak pernah bisa membantuku mengerjakan peer,” katanya sambil menunduk dalam-dalam.
Gunawan terkejut dengan yang di katakan Jalil anaknya. Jujur, baginya sangat menyakitkan tidak bisa membantu Jalil mengerjakan pekerjaan rumahnya karena keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Terlebih Jalil kerap membanding-bandingkan dirinya dengan papanya Toni.