Ibarat bunga yang sedang tumbuh. Kata Papi, aku tumbuh dengan sempurna. Badanku langsing, kulitku hitam manis. Rambutku ikal. Buah dadaku pun mulai muncul dengan baik. Dari bulan ke bulan, bulatannya makin menonjol. Dan Papi menyukainya.
Aku bahagia melihat Papi bahagia. Papi sekarang sangat menikmati dua bulatan di dada kiri dan dada kananku.
Aku pasti masuk surga. Karena bulatan di dadaku membuat Papi bahagia.
***
Mami Lena menyuapiku dengan telaten. Sudah 3 hari ini suhu badanku tinggi. Tapi baru dua suap, perutku sangat mual. Aku berlari ke kamar mandi dan terduduk di depan closet. Ku usap ceceran liur dari daguku, dengan terhuyung-huyung aku kembali ke tempat tidurku.
Ku biarkan saja gaun tidurku tersingkap dan membuat pahaku terbuka. Badanku sakit semua. Nyeri. Terutama di bagian bawah. Terasa panas dan perih. Seperti ribuan silet menyayatnya.
“Adeth, kamu datang bulan lagi, kok ada bercak darah di spreimu?” Mami Lena memandangku penuh selidik. “Ga kok, Mam. Baru seminggu yang lalu selesai.” Jawabku sambil membenamkan wajahku ke bantal.
Terdengar suara Laksmi dari lantai bawah. Memanggil Mami Lena, mengatakan ada tamu menunggu di teras samping. “Dasar pembantu kurang ajar, manggil nyonya-nya sambil teriak-teriak” gerutu mami.
Selepas Mami Lena pergi, aku memegang bagian bawahku. Rasanya perih sekali. “Auwh” lirihku saat mengerakan kedua pahaku.
Semalam Papi menemaniku tidur lagi. Tapi ada yang istimewa tadi malam. Semalam Papi membawakanku gaun tidur yang sangat cantik. Gaun yang sangat tipis dengan renda-renda di sekitar dadanya. Atas perintah Papi, aku tidur bersama Papi sambil menggenakan gaun tidur itu. Dan entah bagaimana awalnya, tiba-tiba Papi sudah menghunjamkan sesuatu yang sangat menyakitkan di bagian bawahku. Aku berteriak, tapi Papi membekam mulutku. Katanya jangan melawan.
Aku diam dan menahan nyeri teramat perih. “Lebih baik aku tak melawan Papi, daripada berdosa “Ucapku dalam hati
Setelah malam itu, dua bulan berikutnya aku tidak menemukan ceceran darah di spreiku seperti biasanya. Bulananku terhenti. Dan celanaku terasa sempit.
Aku mengeluhkan hal ini pada Mami Lena “Mami, sudah dua bulan bagian bawahku tidak berdarah seperti bulan-bulan lalu”
Mami Lena terhenyak. Nafasnya terdengar berat. Memandangku dengan iba.
***
Mami Lena dan Papi bertengkar hebat di ruang makan. Dari pinggir kolam renang aku bisa mendengar Mami Lena menangis tersedu-sedu. Sementara suara Papi terdengar garang. Dengan logat khas Ambonnya, suara Papi seperti seorang sipir yang sedang memarahi tahanannya.