Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Yang Tersisa Dari Kita Hanyalah Koteka

29 Desember 2015   11:48 Diperbarui: 1 April 2017   08:49 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dokumen Pribadi Inem"][/caption]Melintasi Samudra Hindia, di dalam lambung pesawat seri Boeing 900 ER, seorang perempuan duduk sambil menikmati sebuah novel berjudul Si Merah, novel yang ditulis oleh salah seorang penulis dari daratan Turki, Orhan Pamuk.

Berada dalam lambung pesawat selama tiga jam tentu akan menjadi waktu yang membosankan jika hanya dipergunakan sekedar melihat bentangan cakrawala yang dipenuhi gugusan kapas-kapas putih hasil reaksi alam.

Namun apalah arti dari penerbangan tiga jam, jika sesudahnya ia akan bisa mendekap erat lagi pemilik hatinya, setelah tigabelas bulan tak bersua. Seorang Dokter umum yang lebih memilih bertugas di pedalaman Pulau Irian Jaya, tepatnya di Wamena, daripada menerima tawaran beasiswa S2 ke Belanda.

*

Intrusksi dari awak pesawat membangunkan lelapnya yang hanya sekedar basabasi, demi meringankan netra yang hampir tiga jam dipaksanya melahap novel sebanyak 742 halaman. Ia melipat seadanya syal yang sebelumnya melilit di lehernya, memasukan novel tebalnya, membetulkan ujung-ujung jilbabnya. Sedikit mengucek-ngucek matanya, memastikan bahwa tak ada kotoran tertinggal di sana.

Dan, waktu pendaratan telah tiba.

Setelah beberapa kali guncangan, akhirnya kaki sang burung besi menapakan kakinya di pulau yang mendapat julukan, Mutiara Hitam.
“Sayang...”Gumamnya dengan dada berdegup kencang.

Rasa rindu pada kekasihnya meledak-ledak. Bak rahim seorang ibu menjelang kelahiran anaknya. Otot-otot dalam perutnya berkontraksi tiada henti.
Pesawat telah berhenti dengan sempurna di Bandara Sentani, Jayapura, namun bukan berarti pertemuan manis yang diimpikan akan segera terwujud. Ia masih harus menunggu transit selama kurang lebih empat jam lagi, kemudian melanjutkan penerbangan menggunakan pesawat perintis berkapasitas 41 orang, selama tiga puluh lima menit menuju Wamena. Barulah, pertemuan manis itu akan tercipta.

*

Pesawat landing dengan sedikit oleng. Melakukan perjalanan tanpa bagasi memudahkannya untuk segera turun dari pesawat.
“Terima kasih” sapa sang pramugari sebagai ucapan selamat jalan.

Sepasang kaki yang menggenakan boot warna coklat tua, melangkah tergesa. Agak berlari, ia menuju lorong kedatangan. Berhenti sejenak, dan “Kotekaaaaa...Koteka...” setengah menjerit, bibirnya yang tanpa polesan lipstik berteriak, tangannya kananya melambai-lambai pada seseorang.
Lambainnya berbalas. Seorang lelaki, dengan fisik tinggi besar, berjalan tergesa menujunya.

“Koteka..” katanya sambil memeluknya erat. Airmatanya turun mengerimis, dadanya begitu kencang berdegup. Tak ada kata-kata keluar dari keduanya. Hanya bahasa tubuh serupa dekapan menggambarkan betapa ada sekumpulan anak-anak rindu tengah meloncat riang gembira.

*

Empat hari berlalu, sejak kedatangannya di Wamena. Hampir setiap hari, Dylan membawakan Siti, Papeda. Bubur sagu khas daerah Papua. Sejujurnya Siti tidak pernah –tepatnya, belum- menyukai jenis makanan ini, namun demi menyenangkan Dylan, Siti berusaha menikmatinya.

“Dylan.” Siti memanggil kekasihnya yang pagi itu tengah bersiap-siap menuju ke tempat praktiknya, namun entah karena tidak mendengar panggilan Siti, Dylan tidak menyahut panggilan tersebut.

“Kotekaaaaa” Kali ini Siti setengah berteriak. “Aku ikut ya ke tempat praktikmu” pintanya manja.

Dylan menoleh, “Apa, Bakpao” katanya. Membalas panggilan Koteka dari dengan Bakpao. “Boleh, asal jangan kaget aja kalau seharian bakal liat yang ‘gandul-gandul’...yang seperti di foto itu” Dylan menanggapi permintaan Siti dengan jawaban bernada usil

Siti hanya melenggos. Kemudian berlalu masuk ke kamar berganti pakaian.

Panggilan keduanya bermula, saat awal-awal Dylan berada di Papua, entah ide darimana Dylan mengirimi Siti sebuah potret dirinya yang tengah menggenakan Koteka. Siti menjerit kaget, saat melihat potret tersebut, bagaimana tidak menjerit jika Siti harus melihat sesuatu yang selama ini ditutup rapat oleh Dylan.

Namun, sebelum potret tersebut sampai di surelnya, Dylan kerap menceritakan tentang budaya rakyat Papua. Khususnya tentang koteka, pakaian khasnya.
Awalnya menjadi perbicangan yang menggelikan bagi Siti, ketika Dylan membicarakan koteka, namun semakin banyak cerita bergulir tentang budaya Papua, ada semacam ketertarikan dalam diri Siti untuk menggali lebih banyak lagi. Harapannya, semakin dirinya banyak tahu maka dirinya akan semakin memahami alasan Dylan “Hijrah” ke pedalaman.

Sementara nama “Bakpao” merupakan panggilan Dylan untuk Siti, yang berpipi tembem.

*

Menurut Dylan, masyarakat asli Papua adalah masyarakat pengguna celana dalam yang dikenal dengan nama Koteka. Pada situs wikipedia, koteka dalam budaya penduduk asli Papua dimaknai sebagai pakaian penutup kemaluan laki-laki.

Berdasarkan hal tersebut, definisi penuh kontroversi muncul, manakah yang lebih sesuai dengan pemahaman umum bahwa sebenarnya koteka adalah celana dalam. Sebab bagi masyarakat asli Papua, koteka dimaknai sebagai pakaian bukan sebagai celana dalam. Meskipun koteka memiliki fungsi yang sama dengan celana dalam, yaitu menutup kemaluan laki-laki.

Menurut Dylan lagi, manusia jaman sekarang cenderung tidak mau melihat dan belajar lebih jauh, bahkan urusan celana dalam pun hanya dianggap sebagai sesuatu yang sangat biasa. Padahal jika benar-benar mau merefleksikan peradaban manusia, perkara celana dalam bisa dikategorikan sebagai salahsatu peradaban manusia.

Adapun koteka sendiri, sebenarnya berasal dari jenis tumbuhan yang mirip mentimun. Hanya saja buah koteka lebih panjang. Selain itu, koteka bisa dibuat dari kulit labu yang kecil dan besar. Kulit buah tersebut digunakan setelah cukup tua dan kulitnya mengeras. Orang-orang asli Papua yang disebut golongan Mee, menamai bahan pembuat koteka dengan istilah bobbe. Biasanya bobbe ditanam di kebun atau halaman rumah mereka.

Dan dari penuturan Dylan, Siti akhirnya menjadi tahu jika ukuran dan bentuk koteka tak berkaitan dengan status pemakaiannya. Perihal ukuran koteka yang akan dipakai, disesuaikan dengan aktivitas yang hendak dijalankan si pengguna.

Pada umumnya koteka yang pendek digunakan ketika tengah bekerja. Sedangkan koteka yang panjang dan dilengkapi dengan hiasan dikenakan dalam upacara adat.

*

“Dylan, pulang, yuk.“ Ajak Siti di suatu pagi, pada hari ke sembilan kunjungannya di Wamena. “Kamu, akan sampai kapan di sini. Lalu bagaimana dengan hubungan kita? Bukankah akhir tahun ini memasuki tahun ke 6. Ehm, tidak pernah berpikir untuk ‘mengikat’ kisah kita dalam simpul yang semestinya” ucap Siti dengan sangat lembut dan dengan nada hati-hati, seolah nada suara yang tinggi akan memecahkan genderang telinga milik Dylan.

Dylan, menghentikan suapan bubur sagunya, nafasnya kini terdengar agak berat. Siti menatapnya dengan sedikit rasa bersalah, merasa telah merusak suasana sarapan pagi ini.

“Siti, memilikimu adalah obsesiku. Namun, dengan kondisiku yang seperti ini, aku khawatir tidak bisa menjanjikan apapun yang layak untukmu. Berapa sih gaji dokter umum yang dinas di pedalaman terpencil seperti aku ?” katanya sambil meraih tangan Siti, mengenggamnya erat. Namun matanya tidak melihat ke arah Siti. Matanya tajam lurus ke depan. Memandang dataran tinggi Wamena yang selalu berudara dingin, sesekali halimun turun menyapa para penduduknya.

“Kau pun tahu, kadang penduduk sini hanya membayarku dengan sagu dan sayur ikan.”

Sejujurnya Siti tidak suka dengan apa yang barusan didengarnya. Namun Siti telah 6 tahun mengenal Dylan. Lelaki yang menurut Siti terlalu over idealis. Dylan kerap melakukan hal-hal yang sebenarnya mengorbankan kepentingan dan dirinya sendiri. Namun, siapa yang bisa membuat Dylan beranjak dari ideliasmenya.

Kadang Siti berpikir, mungkin kekasihnya tersebut terlalu banyak melahap buku-buku Karl Max atau Socrates atau Plato atau entahlah.
Siti terdiam. Begitu pun Dylan, keduanya memilih diam daripada harus melanjutkan perdebatan yang sama, namun tidak pernah terselesaikan dengan memuaskan. Bahkan sebuah solusi pun tidak pernah ditemukan.

“Koteka, lusa aku akan kembali ke Balikpapan.” Ucap Siti lirih. Ada nada putus asa di sana. “Dan kau tahu, jika aku tak kembali bersamamu, maka perjodohan yang direncanakan Papi Mami harus aku terima.” Katanya getir.

Siti menyandarkan kepalanya pada bahu Dylan. Airmatanya menderas. Dirinya tahu, penjelasan Dylan tadi merupakan sebuah ucapan “Pulanglah. Terimalah perjodohan dari Papi Mamimu”

“Maafkan aku, “ Dylan bergumam tidak kalah getir. “Ijinkan aku mengabdi pada negeriku dengan caraku. Ku pastikan, hati dan seluruh rinduku bergeming. Hanya padamu. Hanya untukmu. Kepadamu saja.”

*

Malam terahkir di Wamena, membuat Siti tak bisa sedikit pun memejamkan matanya. Perasaannya tercampur dengan berbagai emosi.
Begitupun dengan Dylan, gundahnya setinggi Gunung Jayawijaya. Menghadapi kenyataan, saat Siti kembali ke Balikpapan, maka itu artinya Siti akan dimiliki seseorang laki-laki yang bukan dirinya.

“Sulitnya mensejajarkan perasaan cinta dengan sebuah idealis” gumamnya sambil menghembuskan nafasnya sekeras mungkin.

*

“Ini buatmu. Simpan baik-baik ya. Jangan membayangkan apapun. Cukup bayangkan perjuanganku di sini.” Ucap Dylan sambil menyerahkan sebuah koteka berukuran agak besar dan tinggi.

Siti hanya mengangguk. Tak ada ucapan selamat jalan apalagi selamat tinggal. Tubuhnya langsung berputar, berjalan menuju ruang tunggu. Tak ingin dirinya menoleh ke belakang.

Langkahnya begitu lemas, sementara tangan kirinya menenteng sebuah koteka. Tangan kanannya melambai pada Dylan. Melambai tanpa melihat apalagi menatap Dylan.

“Kini, yang tersisa darimu hanyalah koteka ini.” Lirihnya. 

***

Oil City, 29-12-15
Referensi ;
Wikipedia
Satmoko Budi Santosa dalam bukunya berjudul “menu celana dalam”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun