Sejujurnya Siti tidak suka dengan apa yang barusan didengarnya. Namun Siti telah 6 tahun mengenal Dylan. Lelaki yang menurut Siti terlalu over idealis. Dylan kerap melakukan hal-hal yang sebenarnya mengorbankan kepentingan dan dirinya sendiri. Namun, siapa yang bisa membuat Dylan beranjak dari ideliasmenya.
Kadang Siti berpikir, mungkin kekasihnya tersebut terlalu banyak melahap buku-buku Karl Max atau Socrates atau Plato atau entahlah.
Siti terdiam. Begitu pun Dylan, keduanya memilih diam daripada harus melanjutkan perdebatan yang sama, namun tidak pernah terselesaikan dengan memuaskan. Bahkan sebuah solusi pun tidak pernah ditemukan.
“Koteka, lusa aku akan kembali ke Balikpapan.” Ucap Siti lirih. Ada nada putus asa di sana. “Dan kau tahu, jika aku tak kembali bersamamu, maka perjodohan yang direncanakan Papi Mami harus aku terima.” Katanya getir.
Siti menyandarkan kepalanya pada bahu Dylan. Airmatanya menderas. Dirinya tahu, penjelasan Dylan tadi merupakan sebuah ucapan “Pulanglah. Terimalah perjodohan dari Papi Mamimu”
“Maafkan aku, “ Dylan bergumam tidak kalah getir. “Ijinkan aku mengabdi pada negeriku dengan caraku. Ku pastikan, hati dan seluruh rinduku bergeming. Hanya padamu. Hanya untukmu. Kepadamu saja.”
*
Malam terahkir di Wamena, membuat Siti tak bisa sedikit pun memejamkan matanya. Perasaannya tercampur dengan berbagai emosi.
Begitupun dengan Dylan, gundahnya setinggi Gunung Jayawijaya. Menghadapi kenyataan, saat Siti kembali ke Balikpapan, maka itu artinya Siti akan dimiliki seseorang laki-laki yang bukan dirinya.
“Sulitnya mensejajarkan perasaan cinta dengan sebuah idealis” gumamnya sambil menghembuskan nafasnya sekeras mungkin.
*
“Ini buatmu. Simpan baik-baik ya. Jangan membayangkan apapun. Cukup bayangkan perjuanganku di sini.” Ucap Dylan sambil menyerahkan sebuah koteka berukuran agak besar dan tinggi.
Siti hanya mengangguk. Tak ada ucapan selamat jalan apalagi selamat tinggal. Tubuhnya langsung berputar, berjalan menuju ruang tunggu. Tak ingin dirinya menoleh ke belakang.