“Koteka..” katanya sambil memeluknya erat. Airmatanya turun mengerimis, dadanya begitu kencang berdegup. Tak ada kata-kata keluar dari keduanya. Hanya bahasa tubuh serupa dekapan menggambarkan betapa ada sekumpulan anak-anak rindu tengah meloncat riang gembira.
*
Empat hari berlalu, sejak kedatangannya di Wamena. Hampir setiap hari, Dylan membawakan Siti, Papeda. Bubur sagu khas daerah Papua. Sejujurnya Siti tidak pernah –tepatnya, belum- menyukai jenis makanan ini, namun demi menyenangkan Dylan, Siti berusaha menikmatinya.
“Dylan.” Siti memanggil kekasihnya yang pagi itu tengah bersiap-siap menuju ke tempat praktiknya, namun entah karena tidak mendengar panggilan Siti, Dylan tidak menyahut panggilan tersebut.
“Kotekaaaaa” Kali ini Siti setengah berteriak. “Aku ikut ya ke tempat praktikmu” pintanya manja.
Dylan menoleh, “Apa, Bakpao” katanya. Membalas panggilan Koteka dari dengan Bakpao. “Boleh, asal jangan kaget aja kalau seharian bakal liat yang ‘gandul-gandul’...yang seperti di foto itu” Dylan menanggapi permintaan Siti dengan jawaban bernada usil
Siti hanya melenggos. Kemudian berlalu masuk ke kamar berganti pakaian.
Panggilan keduanya bermula, saat awal-awal Dylan berada di Papua, entah ide darimana Dylan mengirimi Siti sebuah potret dirinya yang tengah menggenakan Koteka. Siti menjerit kaget, saat melihat potret tersebut, bagaimana tidak menjerit jika Siti harus melihat sesuatu yang selama ini ditutup rapat oleh Dylan.
Namun, sebelum potret tersebut sampai di surelnya, Dylan kerap menceritakan tentang budaya rakyat Papua. Khususnya tentang koteka, pakaian khasnya.
Awalnya menjadi perbicangan yang menggelikan bagi Siti, ketika Dylan membicarakan koteka, namun semakin banyak cerita bergulir tentang budaya Papua, ada semacam ketertarikan dalam diri Siti untuk menggali lebih banyak lagi. Harapannya, semakin dirinya banyak tahu maka dirinya akan semakin memahami alasan Dylan “Hijrah” ke pedalaman.
Sementara nama “Bakpao” merupakan panggilan Dylan untuk Siti, yang berpipi tembem.
*