Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

{FF} "Nanti Kamu Mati, Loh"

25 September 2015   20:05 Diperbarui: 25 September 2015   21:05 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sayang, kamu yang nurut dong. Buruan makan nasinya terus minum obatnya !? Jangan nge-game aja” Ali mulai gemas melihat Naya yang tak menggubris jadwal minum obatnya, malah makin asik dengan game di gadgetnya.

“Iihh..kamu ini, bawel amat, yak. Sabarrrr....” Naya masih saja tak bergeming dari gadgetnya. Jari-jarinya makin lincah kesana kesini, menyentuh gemas layar gadgetnya.

Tanpa menunggu persetujuan dari Naya, dengan tak sabaran Ali mengambil gadget dari tangan Naya. “Nay, kamu harus makan lalu minum obatnya” air muka Ali mulai keruh. Sepertinya banyak ikan piranha di sana, yang siap memangsa Naya kapan saja.

“Ah kamu, ga usah bentak-bentak. Aku bukan anak kecil” Naya bersungut-sungut sambil memalingkan wajahnya.

“Nay...”

Mbuh...”

“Nay, ojo nesu tho

Mbuh...”

Ali menghela nafasnya. Ikan piranha dalam wajahnya mulai hilang satu persatu. Berganti dengan lembutnya aroma kamboja.

“Nay, kalau kamu acuh pada nasehat dokter, sama saja kamu mempercepat kematianmu” Ali meraih tangan kanan Naya dan mengenggam jemarinya “Dan, aku belum siap dengan kematianmu”

Naya menoleh manja pada Ali “Tapi kalau aku mati, bukannya malah baik. Kan aku bisa jadi arwah gentayangan. Aku bisa ada di sisi kamu kapan saja. Dari pagi ke pagi lagi. Iya, kan, Al?” Senyum manja Naya makin terkembang. Nampak sebentuk lesung pipit yang samar di kedua pipinya yang tembem.

“Ah, Sayang. Jangan berkata begitu, mungkin menjadi arwah gentayangan akan baik untukku, karena dengan begitu kamu pasti bersamaku di mana pun aku berada. Tapi...” suara Ali tercekat. Sepertinya kalimat tadi menggantung di tenggorokannya atau mungkin tersangkut di jakunnya.

“Tapi, apa?!” tanya Naya. Matanya menatap dalam pada wajah Ali. Kedua alisnya berkerut.

“Jika kamu mati terlalu cepat, bagaimana dengan nasib puisi-puisi kita, bagaimana dengan cerita-cerita konyol kita, bagaimana dengan proyek jalan kaki berkeliling kota Jogja dan bagaimana dengan impian kita...yang menginginkan sebelas anak” suara Ali makin tercekat “Jangan mati sekarang, Nay. Kamu boleh mati jika semua proyek kita sudah terrealisasi, mau, kan” Genggaman Ali makin erat.

Naya mengangguk, sebab tak ada yang lebih mengiris hati selain mendengar Ali memelas padanya, supaya tetap hidup. Naya beranjak bangkit menuju meja rias yang berada searah dengan tempat tidurnya. Di sana sudah tersedia nasi dan ayam kecap kesukaannya, dan tentunya setumpuk obat-obatan yang harus di konsumsinya.

Roman tidak berselera pada makanan terpancar dari wajah Naya “Aku bosen, Al”

Ali bangkit dan menghampiri Naya “Sabarlah, Sayang. Sakitmu ini terlalu ‘istimewa’ ...hehe...” Ali mengambil alih sendok dari tangan Naya “A..a..” katanya, sambil menyuapkan sesendok demi sesendok nasi pada Naya “Habiskan, ya?!”

Naya mengangguk. Senyum cerianya kembali hadir bahkan lebih meriah dari biasanya. Sakit ‘istimewa’ dari Tuhan, tak pernah membuatnya gentar menghadapi kematian. “Ah, Cuma kanker payudara doang, kenapa mesti takut” begitu katanya setiap kali orang-orang memandang iba padanya.

Pun Ali, kekasihnya yang tak pernah jauh dari sisinya. Sikapnya tak berubah sedikit pun. Saat sehat maupun sakit, Ali memperlakukan Naya dengan sikap yang sama. “Kita akan melewati ini, berdua. Kanker itu kan hanya gerogotin payudaramu, bukan gerogotin cinta kita” katanya.

Walau terkadang rasa cemas kerap “membully” pikiran Ali ketika melihat Naya begitu lemah selepas menjalani proses kemoterapi, namun cepat-cepat di halaunya.

Ketegaran Naya pada sakitnya membuat Ali tabah, pun sebaliknya ketabahan Ali menerima Naya dan penyakitnya membuat Naya tegar menerima vonis dokter tentang usianya yang tidak lama lagi.

“Stay with me. Forever ya Nduk” bisik Ali pada Naya, setelah Naya menyelesaikan makan siangnya dan memenuhi jadwal minum obatnya.

Naya mengangguk “Iya, Ali. Terima kasih untuk cintamu”

“Tidurlah, Sayang. Cintaku menjaga lelapmu” Ali mengecup lembut kening Naya, dan meninggalkannya.

“Tuhan, kepadamu ku titipkan cahaya hidupku. Jika bisa, ambillah sebagian usiaku untuk Nay” dalam hati Ali berdoa.

 

Oil City, 25-09-15

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun