Phubbing secara makna merupakan perilaku seseorang yang lebih lebih fokus mengutamakan berinteraksi dengan ponselnya (online) daripada lawan bicaranya dalam sebuah interaksi sosial secara langsung (offline). Phubbing berasal dari singkatan phone dan snubbing yang secara sederhana diartikan sebagai perilaku yang menyakiti lawan bicara dengan menggunakan smartphone secara berlebihan.
Apakah ini merupakan penyimpangan yang telah terjadi dalam tatanan masyarakat kita ketika melakukan interaksi sosial?
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perilaku phubbing ini sebenarnya jika sering terjadi pada saat kita bertemu muka dengan para karib kerabat, teman-teman atau kolega atau siapapun sebenarnya menjadi gangguan dalam berkomunikasi dan anomali dalam kehidupan masyarakat khususnya ketika berinteraksi secara langsung. Namun kita tidak dapat menutup mata, perilaku phubbing sudah sangat umum terjadi ditengah-tengah masyarakat kita. Maka muncullah ungkapan satire, dengan adanya kemajuan teknologi bukannya mempererat hubungan manusia satu sama lainnya, malah seakan mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.
Diketahui perilaku phubbing ini sekarang sudah menjadi sebuah salah satu budaya yang lumrah kita lihat apalagi di perkotaan, masyarakat urban khususnya. Dan perilaku ini tampaknya selaras dengan karakteritik masyarakat perkotaan yang semakin individualis. Dimana tiap individu satu sama lainnya bersikap tidak memedulikan tingkah laku sesamanya, sebab mempunyai kesibukan masing-masing. Walaupun masyarakat di perkotaan secara fisik tinggal berdekatan, seperti tinggal dalam satu komplek perumahan yang sama, satu kantor atau satu komunitas tapi secara interaksi sosial terasa berjauhan. Apalagi ditambah dengan perilaku phubbing.
Lantas bagaimana sebenarnya hubungan antara perilaku phubbing dengan budaya individualis masyarakat perkotaan serta pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dalam hal ini smartphone?
Dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin pesat yang diikuti dengan perkembangan penggunaan internet memunculkan media baru (new media) yakni smartphone atau telepon pintar. Smartphone merupakan salah satu media baru yang mengalami perkembangan sangat pesat dalam hampir dua dekade belakangan ini.
Melalui karakteristiknya sebagai media baru, smartphone dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap penggunanya dalam berkomunikasi dan dapat melakukan berbagai kegiatan, hanya dengan penggunaannya bersama internet.
Pengaruh positif bagi pengguna smartphone, yakni : mempermudah penggunanya dalam melakukan banyak hal. Bentuk smartphone yang praktis dengan fungsi yang beragam menjadikannya perangkat yang dapat mempermudah hidup seseorang. Sehingga kita sebagai pengguna dapat dengan leluasa melakukan berbagai kegiatan secara online, mulai dari berinteraksi melalui media sosial, menelepon, mendengarkan musik, membaca buku digital, belanja, reservasi hotel atau pesawat secara online dalam satu waktu.
Sementara pengaruh negatif dalam kemudahan menggunakan smartphone dalam interaksi sosial ialah perilaku phubbing yang sudah menjadi sebuah fenomena baru dan bahkan menjadi salah satu budaya baru juga ditengah masyarakat perkotaan khususnya.
Pada akhirnya fenomena perilaku phubbing ini telah mampu mengubah cara interaksi sosial yang lazimnya dilakukan selama ini, yakni dilakukan dua arah dengan melibatkan semua indera kepada cara berkomunikasi satu arah. Dimana seseorang lebih mengutamakan berkomunikasi secara lisan dan bertatap muka dengan lawan bicara. Jika dikaji lebih jauh lagi, apabila dikaitkan dengan budaya masyarakat kita yang masih memegang kuat nilai-nilai, norma, pranata sosial dan tatakrama di dalam sebuah hubungan yang didasarkan pada sikap yang saling menghargai ketika terlibat dalam pembicaraan.
Namun sangat disayangkan perilaku phubbing tidak serta merta dapat dihindari dengan mudah, sebab angka kebutuhan akan smartphone sangat tinggi ditengah masyarakat perkotaan. Salah satu faktornya ialah harganya semakin mudah dijangkau oleh berbagai kalangan.Â
Menurut sejumlah literatur, pengguna smartphone paling banyak di Indonesia pada kalangan remaja usia, 16 hingga 21 tahun dan juga sebagai pengguna internet terbesar dibanding kalangan usia lainnya. Pada umumnya, mereka menggunakan smartphone untuk berkomunikasi secara online, bermain game online dan mengakses internet untuk membuka media sosial, mencari informasi hingga belanja online.
Tahukah bahwa kegiatan berkomunikasi menggunakan media sosial melalui smartphone dapat menjerat penggunanya menjadi ketergantungan. Dan orang yang mengalami ketergantungan dengan internet dan smartphone masuk dalam kategori kecanduan. Tidak sedikit hasil riset mengatakan bahwa para pengguna smartphone yang kecanduan mengalami berbagai gangguan pada berbagai lini kehidupan. Misalnya bidang akademis, hubungan hangat dengan keluarga, hubungan sosial teman serta hubungan dalam pekerjaan.
Disinilah dimulai celah adanya fenomena perilaku phubbing, dimana kecanduan tersebut menjadikan penggunanya tidak bisa lepas dari perangkat smartphone miliknya dan pada akhirnya mempengaruhi kehidupan sosial mereka  serta cara berkomunikasi yang seharusnya.
Perilaku phubbing mampu membuat orang menjadi tidak lagi merasa segan atau risih jika harus disibukkan dengan smartphone dalam berbagai kondisi dan situasi. Misalnya ketika berada dalam suatu interaksi sosial yang umum, seperti suasana makan bersama keluarga, berada di sebuah tempat ibadah dan sebagainya. Sebab mereka sudah sangat terikat akan kecanduan smartphone-nya yang berisikan segala fitur-firur yang dianggap jauh lebih menarik daripada berinteraksi dengan lawan bicara dan membangun hubungan dengan lingkungan sekitarnya.
Jika perilaku phubbing secara terus menerus terjadi dalam suatu interaksi sosial, bagaimana komunikasi akan terjalin efektif?
Mari kita simak apa saja gangguan akibat dari perilaku phubbing ini:
1. Gangguan kesehatan fisik dan psikis.
Pertama, gangguan kesehatan secara fisik. Menurut teori komunikasi, salah satu indikator komunikasi yang efektif adalah adanya kesamaan pemaknaan antara pengirim dan penerima pesan, tanpa gangguan. Dampak negatifnya lagi ketika seseorang  yang mengunakan smartphone secara berlebihan saat berada dalam sebuah interaksi sosial akan mengalami short attention span atau gangguan pemusatan perhatian.
Kedua, gangguan kesehatan secara psikis. Dan hal ini tidak menutup kemungkinan dalam jangka panjangnya akan mengakibatkan gangguan kesehatan psikis seperti tidak bisa lepas dari smartphone atau lebih dikenal dengan istilah nomophobia (no mobile phone phobia).
2. Gangguan dalam kehidupan sosial.
Perilaku phubbing ini jika terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu menjadi terisolasi dan terasing dari lingkungannya. Maka biasanya hal ini menjadikan individu yang merasa terisolasi tersebut akan melampiaskannya ke media sosial. Sehingga, tidak heran jika saat ini banyak dijumpai kasus kriminalitas diakibatkan penggunaan media sosial sebagai media katarsis masalah privasi.
Menyikapi banyaknya dampak negatif akibat fenomena perilaku phubbing, berbagai kampanye sosial telah menghimbau kepada masyarakat untuk mengurangi bahkan menghentikan kebiasaan phubbing dilakukan di berbagai negara. Di Indonesia sendiri, gerakan stop phubbing ini dapat dimulai dari lingkungan masyarakat terkecil, yakni keluarga, khususnya keluarga.
Pada keluarga yang berada di perkotaan, penggunaan smartphone sudah menjadi kebutuhan yang masuk dalam rutinitas keseharian. Mulai dari ayah, ibu dan anak-anak, semua mengunakan smartphone dengan beragam alasan yang melatarbelakanginya. Sehingga, perilaku phubbing menjadi tidak terelakkan dengan kebiasan penggunaan smartphone dalam kehidupan keseharian keluarga di masyarakat urban.
Apa saja motif yang menjadi alasan seorang yang terdampak perilaku phubbing ini?
1. Untuk menjauhkan lawan bicaranya secara sengaja karena individu merasa tidak nyaman dengan topik pembicaraan.
2. Merasa bosan dan lebih memilih mencari keseruan melalui penggunaan smartphone.
3. Kesibukan yang teramat banyak yang melibatkan interaksi dengan pihak yang terpisah jarak secara fisik.
4. Merupakan perilaku hasil imitasi dari perilaku lingkungan sekitar.
5. Phubbing dilakukan sebagai hasil identifikasi dari figur yang diidolakan.
Lalu, bagaimana caranya agar perilaku phubbing di kalangan keluarga masyarakat perkotaan ini dapat diminimalisir dampak negatifnya?
1. Melalui peran aktif orang tua untuk menjadi parental mediation bagi anak dalam penggunaan smartphone. Konsep ini awalnya digunakan sebagai istilah pendampingan anak-anak oleh orang tua ketika menonton televisi. Seperti misalnya, pengetahuan dan pemahaman terkait frekuensi, durasi penggunaan smartphone, situs-situs yang sering dikunjungi, teman dunia maya dari anak-anak mereka.
2. Orang tua perlu untuk menjadi role model yang baik bagi anak-anak. Perilaku phubbing yang dilakukan anak-anak, salah satunya dilatarbelakangi adanya perilaku imitasi (meniru) yakni perilaku yang dilakukan atau dicontohkan lingkungan sekitarnya. Orang tua sebagai agen sosialisasi pertama bagi anak memegang peranan penting menanamkan bahwa pentingnya menghomati pihak lain ketika sedang berinteraksi sosial. Diharapkan bila perilaku bijak dalam penggunaan smartphone dimulai dari keluarga, lingkungan terkecil seorang anak. Dengan harapan kedepannya perilaku tersebut akan menjadi sebuah kebiasaan baik yang akan ditularkan di lingkungan masyarakat. Â
Seorang psikolog, Emma Seppala dari Universitas Stanford dan Yale dan penulis dari Happiness Track mengatakan bahwa kaum perempuan dan orang dewasa yang lebih tua memiliki reaksi yang lebih kuat terhadap phubbing daripada kaum pria dan kalangan anak remaja. Beberapa orang-orang merasa frustrasi oleh teman atau anggota keluarganya yang melakukan phubbing, sebab terpaku pada ponsel pintar mereka, saat ia mencoba melakukan percakapan yang bermakna. Padahal sejatinya kita hidup di dunia yang jenuh secara digital sehingga mempengaruhi hubungan kita baik secara online maupun offline.
Lantas apa yang sebaiknya kita lakukan sebagai masyarat yang umumnya selalu mengenggam smartphone, agar meminimalisir terjadinya perilaku phubing dan mampu menciptakan hubungan sosial yang normal?
Setidaknya inilah 3 kiat-kiat jitu meminimalisir perilaku phubing tetapi kita masih dapat tetap mengikuti tren teknologi terbaru, aktif di media sosial, menggunakan ponsel untuk mengelola kalender  namun  tetap memberikan perhatian dan rasa hormat kita kepada orang-orang di sekitar kita yang paling penting:
1. Bijaksana menentukan zona bebas gadget.
2. Mari dedikasikan waktu atau acara dimana semua orang dalam keluarga meninggalkan perangkat mereka. Tinggalkan ponsel atau tablet di ruangan lain sehingga kita tidak tergoda untuk senantiasa mengintip media sosial atau sekedar membaca pesan-pesan saat  menghabiskan waktu dengan orang lain.
3. Nonaktifkan notifikasi yang tidak penting. Tidak semua notifikasi dari smartphone harus kita ketahui saat itu juga.
Disiplin dalam hal mengatur waktu, kapan dan dimana menggunakan gadget.
Pada akhirnya kunci utama dari segalanya tentang upaya meminimalkan terjadinya budaya perilaku phubbing kini meresahkan dalam cara berinteraksi sosial ini yakni ketika kita mampu dengan sadar mengatur waktu dengan baik dan mengatur skala prioritas dalam berinteraksi sosial. Ada batas waktu yang ditentukan kapan harus berinteraksi melalui smartphone dan kapan pula harus berinteraksi dengan orang lain tanpa gadget. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H