Ucok: "Etek, etek Farida do kan? Aso inda unjung ro etek mangaligi hami?."
Etek Farida: menghela napas panjang "Olo amang, Etek Farida do on. Inda unjung etek lupa tu hamu mang, mancit ate-ate ni etek mangida hamu songonon mang." matanya berkaca-kaca
Ucok mengernyitkan alis, merasa haru tapi juga bingung mengapa selama ini keluarga mereka seakan lepas tangan.
Ucok: "Etek, aso kehe umak mangaranto? Ayah pe maninggalkon hami? Aso inda dong sada keluarga pe na paduli tu hami?." suara nya bergetar dan mata nya berkaca-kaca.
Etek Faridah: tersentak, merasa tersentuh oleh kesedihan Ucok "Baya amang, na dangol ma hangoluan namu sannari, inda bisa etek amang mangida hamu songonon baya mang, inda tarurus hamu baya jadina."
Etek Faridah menyeka air matanya. Ia tahu ibu Ucok tidak pernah benar-benar menerimanya karena latar belakang keluarga mereka yang rumit, tapi ia tetap merasakan kasih sayang yang besar untuk ketiga anak ini. Dengan mata berkaca-kaca, ia memutuskan untuk menawarkan sesuatu.
Etek Faridah: "Ucok, dohot etek ma hamu tinggal da mang, so adong mangurus hamu, inda bisa etek mangida hamu malarat mang, anso bisa etek manjago hamu na tolu."
Ucok: terdiam sejenak, menahan haru "Etek, inda langa manyusahkon hami dietek molo tinggal hami rap etek?."
Etek Faridah: "Inda amang, inda manyusahkon hamu di etek, malahan sonang do roa ni etek bisa mangurus hamu na tolu mang."
Ucok berpikir sejenak, hatinya terasa berat untuk menurunkan harga dirinya. Namun, mengingat adik-adiknya, ia tahu ini adalah kesempatan untuk memberikan mereka kehidupan yang lebih baik.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Ucok, Siti, dan Tagor pindah ke rumah Etek Faridah. Rumah sederhana tapi nyaman itu jauh lebih baik dari yang mereka tinggali sebelumnya. Di rumah ini, mereka mendapat tempat yang layak, makan teratur, dan merasakan kasih sayang yang tulus dari seorang Etek yang selama ini dianggap jauh.