Artikel ini adalah bagian ketiga dari pembahasan corak kehidupan serta hasil-hasil budaya manusia di Indonesia pada masa praaksara. Pembahasan materi ini terdiri dari tiga bagian, yang membahas corak kehidupan dan mata pencaharian manusia selama kurun praaksara, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana (budaya paleolotik), masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (budaya mesolitik), masa bercocok tanam (budaya neolitik), dan masa perundagian (budaya logam).
Gelombang kedua Bangsa Melayu Austonesia (Deutero-Melayu atau Melayu Muda) dari Ras Mongoloid datang ke wilayah Nusantara pada sekitar tahun 300 SM. Bangsa Deotero-Melayu berkohabitasi dengan Bangsa Proto-Melayu, penduduk yang sudah ada dari ras yang sama. Aktivtas perdagangan mempermudah proses pembauran dan mempercepat pertukaran kebudayaan. Pada masa inilah berkembang kehidupan perundagian di Nusantara.
Pada masa perundagian manusia telah mengembangkan teknik bivalve (setangkup) dan cire perdue (cetak). Teknik bivalve adalah teknik pembuatan logam dengan menggunakan cetakan yang terbuat dari batu. Batu cetakan direkatkan atau diikat dengan menggunakan tali pada kedua sisinya. Lalu lelehan atau cairan logam dimasukan ke dalam cetakan. Kelebihan teknik ini adalah bisa digunakan secara berulang-ulang. Teknik cire perdue dilakukan dengan membuat cetakan dari bahan lilin yang dibungkus tanah liat. Model barang dibuat dengan memanfaatkan lilin. Lalu lilin dilapisi oleh cetakan yang terbuat dari tanah liat yang bagian atasnya telah dilubangi. Cairan logam dimasukkan melalui lubang tersebut dan didiamkan hingga mongering.
A. Jenis Manusia
Berdasarkan penelitian, manusia pembawa kebudayaan perundagian pernah hidup di daerah Anyer Lor (Jawa Barat), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali), dan Melo (Sumba). Fosil manusia dalam tempayan di Anyer Lor yang ditemukan tahun 1954, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Rahang bawah keduanya tegap, ukuran gigi sedang. Pada oklusi (gigitan) tajuk gigi atas menimpa gigi bawah bagian depan. Karakteristik ini khas manusia Australomenesoid. Ciri yang sama ditunjukkan pada kerangka manusia di Puger, Banyuwangi, Jawa Timur.
B. Corak Kehidupan Sosial-Ekonomi
Zaman perundagian merupakan salah satu titik perkembangan kemampuan berpikir dan inovasi manusia di seluruh dunia. Indonesia menjadi salah satu wilayah penemuan bukti-bukti eksistensi perkembangan zaman ini. Istilah perundagian berasal dari Bahasa Bali undagi, yang artinya seseorang atau sekelompok orang yang memiliki keahlian tertentu. Di Indonesia, zaman perundagian digunakan untuk merujuk kepada zaman berkembangnya kebudayaan logam. Zaman ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Â Â Munculnya kelompok manusia yang memiliki kemampuan atau keahlian tertentu dalam berbagai bidang, seperti ahli bangunan, perkakas, pertanian, upacara, perhiasan dan sebagainya.
2. Â Â Manusia sudah mengenakan aksesoris dari berbagai bahan batu dan logam.
3. Â Â Perkembangan pesat dalam teknik dan peralatan bertani, bercocok tanam, dan berternak.
4. Â Â Tingkat kesejahteraan yang lebih baik daripada masa sebelumnya.
5. Â Â Perkembangan pola kepemimpinan dan pembagian kerja yang lebih terperinci
6. Â Â Manusia sudah tinggal secara menetap
7. Â Â Sudah mempraktikkan kehidupan sosial-ekonomi bertani, berternak, berdagang, dan ragam keahlian pembuatan barang-barang keperluan hidup.
C. Hasil-hasil Kebudayaan
1. Â Zaman Perunggu
Para ahli mengidentikkan zaman perunggu di Indoensia sebagai kebudayaan Dongson-Tonkin Cina. Pada masa ini manusia sudah memiliki kemampuan mencampur tembaga dan timah. Hasil dari percampuran dua unsur tersebut adalah logam yang lebih keras. Berikut ini adalah produk dari kebudayaan zaman perunggu di Indonesia.
a. Â Kapak Corong
Tergolong sebagai perkakas yang digunakan untuk menggali umbi-umbian dari dalam tanah. Memiliki ciri berupa rongga pada bagian tengahnya, di Indonesia kapak jenis ini sudah digunakan sejak sekitar 2000-3000 tahun sebelum Masehi. Secara umum, terdapat tiga jenis kapak corong, yaitu kapak sepatu yang memiliki bentuk menyerupai sepatu, kapak corong, kapak corong upacara, yang biasa digunakan untuk ritual upacara sakral. Wilayah persebaran kapak lonjong adalah Sumatra Selatan, Bali, Jawa, Sulawesi Tengah, dan Pulau Selayar.
b. Â Nekara Perunggu
Merupakan sejenis berumbung yang terbuat dari perunggu. Memiliki pinggang pada bagian tengah serta berpenutup pada bagian atas. Sebagian ahli melihat alat ini seperti dandang terbalik dengan hiasan yang indah pada bagian atas dan dindingnya. Alat ini diciptakan saat manusia mulai mampu mengembangkan teknik peleburan logam dan teknik cetak bivalve atau cire perdue. Nekara berfungsi untuk kegiatan upacara, seperti ritual pemanggilan hujan dan pemanggilan roh nenek moyang untuk berkomunikasi atau keperluat upacara adat. Nekara juga menjadi simbol status sosial dalam kekuatan magis religius. Nekara memiliki beberapa jenis, seperti berikut ini.
1) Â Â tipe Pejeng
Nekara ini berukuran 1,5-2 meter yang ditemukan di Bali. Memiliki fungsi sebagai alat ritual pemanggilan hujan.
2) Â Â tipe Moko
Ditemukan di Alor dengan ukuran lebih kecil dari tipe lain. Fungsinya sebagai mas kawinbenda pusaka, alat musik, dan alat tukar transaksi perdagangan. Ciri khas tipe ini adalah memiliki hiasan yang menggambarkan tahapan kehidupan manusia.
3) Â Â tipe Selayar
Nekara jenis ini ditemukan di Selayar dan Kei di Kepulauan Maluku. Memiliki ragam hiasan yang indah pada bagian badan yang didominasi oleh lukisan hewan seperti harimau, merak, dan gajah.
4) Â Â tipe Sangean
Dinamakan demikian karena memiliki ragam hias berupa orang yang sedang mengendarai kuda yang didampingi oleh para pengiringnya. Nekara ini dianggap memiliki kaitan dengan kebudayaan Tiongkok.
c. Â Bejana Perunggu
Memiliki bentuk bulat panjang menyerupai keranjang, yang digunakan sebagai wadah ikan yang diikatkan di bagian pinggang. Biasanya terbuat dari dua lempeng perunggu berbentuk cembung yang dilekatkan dengan pucuk besi pada masing-masing sisinya. Bejana perunggu berfungsi untuk perlengkapan kegiatan spiritual atau ritual keagamaan. Bejana ini juga digunakan untuk tempat minum. Bejana ini ditemukan di Kerinci, Sumatra dan Sampang, Madura. Bejana perunggu yang ditemukan di Kerinci, Sumatra memiliki panjang 50,8 cm dan lebar 37 cm. bagian lehernya dihiasi dengan pola huruf J, pola tumpal, dan pola huruf S, namun anyamannya sudah hilang. Bejana yang ditemkan di Sampang, Madura memiliki tinggi 90 cm dan lebar 54 cm. bagian badannya dihiasi pola spiral utuh dan terpotong, dengan tepian berhias pola tumpal. Pola bejana perunggu di Sampang ini mirip dengan yang ditemukan di Phnom Penh, Kamboja.
d. Â Arca Perunggu
Memiliki ragam bentuk hewan dan manusia, arca perunggu banyak ditemukan di Bogor, Lumajang, Palembang, Riau, Nusa Tenggara Timur, dan Bangkinang.
e. Â Perhiasan Perunggu
Kebanyakan berupa cincin, gelang, dan kalung. Biasanya digunakan sebagai aksesoris, pusaka, dan alat tukar dalam transaksi perdagangan. Perhiasan umumnya ditemukan di hampir seluruh wilayah penemuan artefak kebudayaan perunggu di Indonesia.
f. Â Senjata Perunggu
Banyak ditemukan di hampir wilayah penemuan artefak kebudayaan perunggu di Indonesia, di antara senjata dari produk kebudayaan perunggu adalah ujung tombak, belati, mata pancing, ikat pinggang berpola geometris, penutup lengan, bel, dan silinder kecil.
Â
Â
Â
Â
2. Â Zaman Besi
Zaman ini menjadi tanda perkembangan yang lebih maju dalam peradaban prasejarah di Indonesia, di mana manusia sudah mengenal teknik melebur dan tuang. Teknik peleburan besi dikenal lebih sulit daripada perunggu, karena untuk meleburkan besi dibutuhkan suhu sekitar 35000C. Dalam kajian arkeologis, zaman besi merupakan tahapan terakhir dalam kehidupan prasejarah di Indonesia. Pada zaman ini kegiatan dalam kehidupan manusia didominasi oleh peralatan berbahan dasar besi. Indonesia tidak mengalami zaman tembaga, melainkan zaman perunggu dan besi. Berikut ini adalah peralatan yang dihasilkan dari zaman besi.
a. Â Mata panah
Biasanya digunakan untuk berburu dan sebagai senjata untuk mempertahankan diri dari ancaman hewan buas atau ancaman manusia.
b. Â Mata pisau
Mata pisau pada zaman besi merupakan bentuk pengembangan dari periode sebelumnya, yang terbuat dari batu atau tulang. Mata pisau biasanya digunakan untuk aktifitas sehari-hari atau untuk senjata pertahanan diri.
c. Â mata sabit
Mirip dengan mata pisau, hanya saja berbeda dari sisi kegunaan dan bentuknya. Mata sabit umumnya digunakan untuk bercocok tanam atau untuk mencari rumput hewan ternak.
d. Â cangkul
Digunakan untuk keperluan bercocok tanam, cangkul memiliki gagang berbahan kayu dan ujungnya terbuat dari besi berbentuk pipih.Cangkul dianggap menjadi alat revolusioner pada masa perundagian, karena mengubah pola bertani menjadi lebih efektif dan efisien.
e. Â pedang dan keris
Digunakan sebagai alat pertahanan diri sekaligus sebagai simbol kelas sosial dalam masyarakat.
f. Â perhiasan
Biasanya berupa cincin, gelang, kalung, dan gelang kaki. Bisa digunakan sebagai alat tukar dalam transaksi perdagangan, simbol kelas sosial, dan bekal kubur.
Referensi
Kartodirdjo, Sartono, Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat. 2002. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Soekmono. 2005. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius.
Sriyana. 2020. Antropologi Sosial Budaya. Klaten : Lakeisha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H