Artikel ini adalah bagian kedua dari pembahasan corak kehidupan serta hasil-hasil budaya manusia di Indonesia pada masa praaksara. Pembahasan materi ini terdiri dari tiga bagian, yang membahas corak kehidupan dan mata pencaharian manusia selama kurun praaksara, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana (budaya paleolotik), masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (budaya mesolitik), masa bercocok tanam (budaya neolitik), dan masa perundagian (budaya logam).
Budaya bercocok tanam diyakini dibawa oleh manusia dari jenis Mongoloid. Gelombang pertama Bangsa Melayu Austonesia (Proto-Melayu atau Melayu Tua) dari Ras Mongoloid datang ke wilayah Nusantara pada sekitar tahun 1500 SM. Selanjutnya manusia dari jenis inilah yang akan lebih banyak berkembang dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia hingga saat ini. Dalam perkembangannya, ternyata mereka tidak sendirian. Bagian awal artikel ini akan membahas jenis manusia apa saja dan bagaimana persebaran mereka bisa berlangsung di wilayah Indonesia.
A. Jenis Manusia
Bangsa Melayu Austonesia (Proto-Melayu atau Melayu Tua) dari Ras Mongoloid kemungkinan besar berasal dari Yunan, Tiongkok. Jumlah mereka pun lebih banyak daripada penduduk asli, yaitu Ras Australomelanesiod dan Mongoloid dari masa berburu dan mengumpulkan makanan. Menurut hipotesis, gelombang ras manusia ini masuk ke Nusantara melalui dua jalur.
1. Â Jalur Barat, dari Yunan menuju Thailand, Semenanjung Malaya, lalu ke Sumatra, Jawa dan Flores.
2. Â Jalur Timur, dari Yunan melalui Vietnam menuju Taiwan, Kepulauan Filipina, lalu ke Kepulauan Maluku, Sulawesi, Halmahera dan Papua.
Â
Kelak, sebagai hasil migrasi tersebut, Bangsa Austronesia mendiami wilayah yang sangat luas, meliputi pulau-pulau yang membentang dari Madagaskas di bagian Barat, sampai Easter Island (Pulau Paskah) di di bagian Timur (Samudra Pasifik) dan Taiwan di bagian Utara, sampai Selandia Baru di Bagian Selatan. Di antara mereka ada yang membaur (kohabitasi) dengan penduduk sebelumnya, yaitu Ras Australomelanesoid.
Pada masa ini, kondisi alam sudah sama seperti pada masa kini, dengan iklim yang sudah cukup stabil. Berakhirnya zaman glasial di penghujung masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, membuat hubungan antara daratan bagian Barat Nusantara dengan Asia Tenggara, dan antara daratan bagian Timur Nusantara dengan Australia terputus. Nusantara berada pada posisi khatulistiwa dengan iklim tropis, yang ditandai musim yang relatif seimbang, yaitu musim kemarau dan musim hujan.
Menurut hipotesis para ahli, orang-orang Ras Mongoloid Austronesia dari Yunan terlebih dahulu singgah di daerah Dong Son (Vietnam) dan Thailand. Mereka membaur dan mulai mengembangkan pola bercocok tanam dan berternak kerbau dan babi. Kemampuan itu mereka bawa saat bermigrasi ke wilayah Nusantara dan kemudian membaur dengan penduduk yang sudah ada sebelumnya di wilayah tersebut.
Sebuah penelitian di daerah Gunung Sewu, Jawa Tengah menemukan bukti-bukti adanya pembauran di antara Ras Australomelanesoid dan Mongoloid, jauh sebelum Bangsa Austronesia Dong Son dari Ras Mongoloid datang ke Nusantara. Dalam penemuan itu, orang Australomenesoid dikuburkan secara terlipat dan orang Mongoloid dikuburkan dalam posisi terbujur.
B. Corak Kehidupan Sosial-Ekonomi
Kedatangan orang Dong Son menyebabkan jumlah penduduk saat itu relatif padat. Hal itu disebabkan karena adanya kohabitasi dan peningkatan kesejahteraan penduduk. Peningkatan tersebut juga disebabkan oleh pola tempat tinggal penduduk yang sudah menetap dan mengembangkan kehidupan bercocok tanam dan berternak. Pada masa ini, pencemaran lingkungan pertama mulai muncul ketika manusia mulai menumpuk sampah dan kotoran. Pada masa ini juga muncul berbagai jenis penyakit infeksi.
1. Â Pola Aktivitas Ekonomi
Saat pola hidup berburu dan mengumpulkan makanan ditinggalkan, manusia mulai mengembangkan pola pastoralisme. Manusia mulai memelihara berbagai jenis hewan tertentu. Sebagian manusia yang tinggal di pesisir pantai mulai memproduksi garam dan mencari ikan.
Kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan cara slash and burn. Pohon-pohon dan belukar dibakar untuk membuka ladang. Manusia tetap melakukan aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan untuk memenuhi kebutuhan protein tambahan. Tanaman yang dikembangkan di antaranya adalah keladi, kelapa, salak, duku, rambutan, dan sukun. Jenis hewan yang diternak adalah ayam, kerbau, anjing dan babi.
Aktivitas bercocok tanam dan berternak memberikan manusia lebih banyak waktu luang. Kesempatan itu menghasilkan berbagai inovasi untuk menciptakan peralatan hidup. Mereka menciptakan beragam barang kerajinan tangan dari batu dan gerabah. Barang-barang ini kemudian bisa digunakan untuk barter.
2. Â Pola Tempat Tinggal
Pada masa ini manusia mulai mengembangkan pola hidup menetap secara berkelompok di perkampungan. Awalnya rumah mereka terbuat dari kayu atau bambu berukuran agak kecil. Bentuknya membulat, atapnya tertutup dedaunan dan terhubung langsung ke permukaan tanah. Bentuk rumah seperti ini sampai sekarang masih bisa dijumpai di Timor, Kalimantan Barat, Nikobar, dan Andaman.
3. Â Pola Kepemimpinan dan Pembagian Kerja
Manusia mulai mengenal gotong royong untuk menebang hutan, membakar belukar, menabur benih, memetik hasil, membuat gerabah, kegiatan barter, berburu, dan menangkap ikan. Mereka juga melakukan pembagian kerja. Kaum laki-laki biasanya melakukan kegiatan berburu, menangkap ikan, menebang pohon dan melakukan berbagai pekerjaan berat atau aktivitas yang jauh dari rumah. Kegiatan kaum perempuan adalah merawat anak, memasak, dan sebagainya.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kegiatan untuk memenuhi kebutuhan bersama di perkampungan mulai diatur dan dibagikan. Pola kepemimpinan primus interpares mulai muncul dan memainkan peran signifikan dalam pemerintahan masyarakat pada fase kehidupan ini.
C. Hasil-hasil Kebudayaan
1. Â Beliung Persegi
Alat ini terbuat dari batu dan sangat menonjol pada kebudayaan neolitik. Bentuknya memanjang, berpenampang melintang persegi. Seluruh bagiannya diupam halus, kecuali pada pangkalnya, yang digunakan sebagai tempat ikatan tangkai. Tajamannya dibuat dengan mengasah bagian ujung permukaan bawah landai ke arah pinggir ujung permukaan atas.
Ada beberapa varian beliung persegi, yang paling umum adalah belincung (beliung berpunggung tinggi) berpenampang lintang segitiga, segilima atau setengah lingkaran. Daerah penemuannya ada di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali. Beliung tergolong benda berbahan dasar batu terindah di dunia. sebagian beliung yang ditemukan utuh diduga memiliki fungsi magis.
2. Â Kapak Lonjong
Tradisi kapak lonjong diduga lebih tua daripada beliung persegi. Umumnya berbentuk lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah dari dua arah, menghasilkan bentuk tajaman simetris (belung persegi tidak memiliki tajaman simetris). Bentuk penampang melintang seperti lensa, lonjong atau kebulat-bulatan. Bahan pembuatan biasanya batu kali (andesit). Wilayah penemuan kapak lonjong di Indonesia adalah Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Maluku, Leti, Tanimbar, dan Papua.
3. Â Peralatan Obsidian
Peralatan ini sudah dikenal sejak masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Kemudian dikembangkan lebih lanjut pada masa bercocok tanam. Peralatan obsidian ditemukan di daerah :Jambi, Leles (sekitar Danau Cangkuang, dekat Garut), Leuwiliang (Bogor), sekitar Danau Tondano (Minahasa), dan Flores Barat.
4. Â Mata Panah
Dikembangkan sejak masa berburu dan mengumpulkan makanan, alat ini selalu berhubungan dengan kegiatan berburu. Mata panah banyak ditemukan di wilayah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Di Jawa Timur, mata panah ditemukan di Sampung (Gua Lawa), Tuban (Gua Gede dan Gua Kandang), Besuki (Gua Petpuruh), Bojonegoro (Gua Kramat dan Gua Lawang, Punung (tersebar di dalam dan sekitar Song Agung, Sembungan, dan Gunung Galuh).
5. Â Gerabah
Pola dan teknik pembuatan gerabah dari masa ini relatif masih sangat sederhana. Semua dikerjakan dengan tangan dengan penggunaan goresan sederhana di lingkar luarnya. Wilayah penemuan gerabah meliputi Kendenglembu (Banyuwangi), Klapadua (Bogor), Serpong (Tangerang), Kalumpang dan Minanga Sipakka (Sulawesi), sekitar Danau Bandung, dan Paso (Minahasa).
6. Â Alat Pemukul Kulit Kayu
Sebagian dari alat ini yang terbuat dari batu ditemukan di Kalimantan (Ampah) dan Sulawesi Tengah (Kalumpang, Minanga, Sipakka, Langkoka, dan Poso). Alat ini digunakan untuk menyiapkan bahan pakaian dengan cara memukul-mukul kulit kayu sampai halus. Hingga hari ini alat ini masih digunakan di Sulawesi dan Papua.
7. Â Perhiasan
Berupa gelang yang terbuat dari batu dan kulit kerang. Banyak ditemukan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat.
D. Sistem Kepercayaan
Pada masa ini berkembang sistem kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah kepercayaan bahwa roh seseorang yang sudah mati tidak lenyap, tetapi tetap hidup dan mempengaruhi kehidupan mereka. Sedangkan dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan manusia dalam mempertahankan hidup. Dalam kehidupan megalitik, orang yang sudah meninggal dibekali berbagai macam barang keperluan sehari-hari, seperti perhiasan dan periuk yang dikubur bersama dengan maksud agar perjalanan ke dunia arwah terjamin. Tradisi bangunan megalitik didasarkan pada kepercayaan akan adanya hubungan antara orang yang masih hidup dengan yang sudah meninggal. Biasanya orang yang sudah meninggal dianggap berpengaruh kuat terhadap kesuburan tanah dan kesejahteraan masyarakat. Jasa mereka yang sudah meninggal diabadikan dalam bangunan batu.
Bangunan tradisi megalitik tersebar di hampir seluruh wilayah Kepulauan Indonesia, seperti Nias, Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Kalimantan, Toraja, Flores, dan Sumbawa. Bangunan paling tua kemungkinan berfungsi sebagai kuburan, berupa dolmen, peti kubur batu, bilik batu, sarkofagus (keranda batu), kalamba (bejana batu), waruga, batu kandang, dan temugelang. Di lokasi penguburan, biasanya ditemukan bangunan batu pelengkap lain, seperti menhir, patung nenek moyang, batu saji, batu lumpang, batu lesung, batu dakon, pelinggih batu, tembok batu, dan jalan berlapis batu.
Di Sumatra Selatan, bangunan megalitik terutama berupa menhir, dolmen, kubur berundak, peti kubur batu, palung, lesung batu, dan patung-patung batu statis dan dinamis. Di Jawa Barat, situs megalitik yang telah diteliti adalah Kosala, Lebaksibedug, Pasir Angin (Bogor), Leles (Garut), Kuningan dan Kampung Muara (Bogor), Â dan Gunung Padang (Cianjur). Di Jawa Timur, situs megalitik banyak terdapat di Purbalingga, kaki Gunung Slamet, dan Rembang. Di Sumba Barat terdapat situs Makam Waingapu yang masih terawat dan digunakan dengan sangat baik. Di Nias, tradisi megalitik yang masih dilestarikan adalah lompat batu sebagai inisiasi kedewasaan serta tradisi penguburan.
Â
Â
Â
Â
Referensi
Kartodirdjo, Sartono, Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat. 2002. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Soekmono. 2005. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius.
Sriyana. 2020. Antropologi Sosial Budaya. Klaten : Lakeisha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H