Mohon tunggu...
Novan Noorwicaksono Bhakti
Novan Noorwicaksono Bhakti Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah

Berusaha menebarkan kebaikan dalam media dan kondisi apapun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Corak Kehidupan Manusia Praaksara di Indonesia: Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan

16 April 2024   15:24 Diperbarui: 16 April 2024   15:30 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

CORAK KEHIDUPAN MANUSIA PRAAKSARA DI INDONESIA, 

MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN 

Artikel ini adalah bagian pertama dari pembahasan corak kehidupan serta hasil-hasil budaya manusia di Indonesia pada masa praaksara. Pembahasan materi ini terdiri dari tiga bagian, yang membahas corak kehidupan dan mata pencaharian manusia selama kurun praaksara, yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana (budaya paleolotik), masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (budaya mesolitik), masa bercocok tanam (budaya neolitik), dan masa perundagian (budaya logam).

Budaya paleolitik diyakini terjadi pada kala pleistosen (sekitar 12.000 tahun yang lalu). Diyakini, manusia purba yang hidup pada masa ini sudah tersebar di berbagai tempat di dunia. Akan tetapi, asal usul manusia purba sampai sekarang masih menjadi kontraversi dan tidak pernah bisa dipecahkan. Demikian pula dengan praktik-praktik hidup manusia purba paling awal sampai saat ini juga masih menjadi perdebatan. Temuan hasil-hasil kebudayaan pada masa ini menunjukkan perkembangan otak manusia purba belum sempurna. Dalam rangka menunjang kehidupan sehari-hari, mereka membuat alat-alat dari batu yang sangat kasar dan sederhana. Oleh karena itu, budaya yang mereka kembangkan dikenal dengan sebutan budaya batu tua (budaya paleolitik).

 

A. Berburu dan Mengumpulkan makanan Tingkat Awal

1.  Corak Kehidupan Sosial Ekonomi

Sumber makanan manusia purba pada masa ini sangat tergantung pada alam sekitar mereka. saat itu, hewan dan tumbuhan relatif sudah hidup merata di sebagian besar permukaan bumi. Berburu hewan merupakan aktivitas pokok untuk bertahan hidup. Untuk tujuan itu, manusia hidup secara nomaden, yaitu berpindah-pindah mengikuti pergerakan dan pertumbuhan binatang buruan, sumber air dan tanaman pangan. Berikut ini faktor-faktor yang mempengaruhi pola hidup nomaden manusia purba pada masa ini.

a.  Perubahan iklim yang ekstrim, misalnya kemarau panjang yang menyebabkan padang rumput mengering dan hewan buruan berpindah tempat.

b.  Bencana alam

c.  Ancaman dari hewan liar

d.  Ganguan manusia lain

e.  Tumbuh-tumbuhan biasanya lebih mudah tumbuh di daerah-daerah beriklim panas, menyebabkan hewan-hewan herbivora (pemakan tumbuhan) bermigrasi, yang diikuti juga dengan migrasi hewan-hewan karnivora (pemakan daging) yang menjadi pemangsanya.

Manusia purba kebanyakan hidup dalam kelompok-kelompok kecil dan tinggal di kawasan padang rumput dengan semak belukar dan hutan kecil di sekitarnya. Daerah tersebut biasanya dekat dengan sumber air, danau atau rawa. Sumber makanan mereka adalah daging dan tumbuhan yang dimakan mentah

Fosil hewan di Indonesia sebagian besar ditemukan di Jawa dan digolongkan sebagai fauna Jetis (sekitar Pegunungan Kendeng, seperti di Sangiran dan Mojokerto), Trinil (di Trinil, Ngawi dan Sangiran) dan Ngandong.

 

2.  Hasil-hasil Budaya

a.  Kapak Perimbas

Merupakan sejenis kapak yang digenggam dan berbentuk masif. Teknik pembuatan alat ini umumnya masih kasar dan tidak mengalami perubahan dalam waktu perkembangan yang panjang. Kapak ini dianggap masih satu jenis dengan kapak genggam, karena berasal dari periode waktu yang relatif sama. Kapak perimbas digunakan untuk memotong sesuatu.

b.  Alat Serpih (flakes)

Alat serpih dihasilkan dari batuan utuh yang dipukulkan dengan tekanan tertentu dibagian dekat tepiannya, sehingga menghasilkan serpihan. Alat serpih berfungsi untuk menajamkan, menghaluskan, menguliti hewan, dan mengiris potongan kecil. Alat ini berukuran kecil dan tipis; terbuat dari batu seperti kalsedon, gamping, kuarsa atau obsidian; memiliki proksimal (bagian ujung yang menerima pukulan, sebagai ujung serpih). Budaya alat serpih tersebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti :

1)    Punung  dan Ngandong, Jawa Timur;

2)    Sangiran dan Gombong, Jawa Tengah;

3)    Toalian, Sulawesi;

4)    Mengeruda, Flores; dan

5)    Lahat, Sumatra Selatan

c.  Alat Tulang (Bones Tool)

Hingga saat ini budaya alat tulang ditemukan di Ngandong, Blora, Jawa Tengah. Budaya ini diketahui dibawa oleh manusia purba jenis Pithecanthropus Soloensis. Alat-alat tulang yang ditemukan berupa sudip dan mata tombak bergerigi yang berasal dari duri ikan pari. Ditemukan juga berbagai batu pelempar yang diikat dengan tali untuk menjerat hewan buruan. Tradisi ini tetap dikembangkan pada pasca-Pleistosen dalam kehidupan gua-gua, seperti yang terdapat di Gua Sampung di Ponorogo, Jawa Timur. Alat tulang juga ditemukan di beberapa wilayah di Jawa Tengah seperti Sangiran, Sambung Macan, Bringin, Patiayam. Pembuatan alat tulang dilakukan dengan teknik, pecah, pangkas, belah, penggosokan dan gabungan dari teknik-teknik tersebut. Bahan yang digunakan biasanya tulang kering (tibia), tulang lengan atas (humerus), tulang paha (femur), tanduk (antler), telapak kaki depan (metacarpal), tulang hasta (radius), tulang rusuk (costae), telapak kaki belakang (metatarsal), gading (incisivus), duri ikan, tulang panjang, dan tulang kaki.

d.  Alat-alat dari Batu dan Tulang di Luar Indonesia

Alat-alat batu yang pembuatannya masih kasar terdapat di sekitar Danau Turkana (Kenya), Hadar (Ethiopia) dan Lembah Olduvai (Tanzania). Penelitian menunjukkan, bahwa sudah sejak sekitar 2,5 juta tahun lalu manusia yang menyerupai kera sudah membuat alat-alat dari batu dengan bentuk yang kasar. Olduvai dahulu kala adalah danau yang disekelilingnya banyak terdapat hewan liar dan hominidae seperti Australopithecus Robustus, merupakan genus homo tertua.

Disebabkan karena alat-alat dari masa paleolitik ini banyak ditemukan di Lembah Olduvai, maka alat sejenis di tempat lain disebut dengan tradisi peralatan Oldowan (Oldowan tool tradition). Paralatan Oldowan memiliki karakteristik berupa alat penetak yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti memotong daging, membelah tulang dan mengambil sumsum binatang. Hal ini menunjukkan kemajuan signifikan setelah sebelumnya manusia purba hanya bergantung pada penggunakan peralatan yang kasar yang ada di sekelilingnya, seperti batu dan tulang.

Alat penetak ini berkembang menjadi kapak genggam. Artefak kapak genggam pertama kali ditemukan di Afrika Timur dan terbuat dari batu api. Diperkirakan digunakan sejak 1,4 juta tahun lalu oleh Hominidae. Para ahli menamakan peralatan ini dengan istilah Acheulean (Acheulean tool tradition). Istilah ini diambil dari daerah bernama Saint-Acheul di Perancis di mana banyak kapak genggam Paleolitikum yang ditemukan. Bentuknya simestris dengan ujung yang tajam. Kapak ini dianggap telah digunakan untuk berbagai keperluan seperti berburu, mengumpulkan dan menyiapkan makanan.

B. Berburu dan Mengumpulkan makanan Tingkat Lanjut

Berlangsung pada sekitar (10.000-2.500 tahun yang lalu). Ras manusia pembawa budaya ini dianggap berasal dari pendatang baru, yaitu ras Mongoloid dan Australomelanesoid (Poeponegoro dan Notosusanto). Pada pasca-Pleistocen topografi Indonesia tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini, meskipun letusan gunung, lipatan dan patahan serta pengendapan sungai masih terjadi.

Alam menjadi lebih panas karena perubahan iklim . Daratan yang terbentuk akibat menurunnya permukaan air laut menjadi tertutup kembali, termasuk Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Akibatnya, hubungan antara daratan Nusantara dengan Asia Tenggara dan Australia terputus. Hewan-hewan yang berasal dari spesies dan karakteristik fisik yang sama beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan berkembang dengan karakteristik yang unik dan khas.

 

1.  Jenis Manusia

Terdapat dua hipotesis tentang eksistensi Australomelanesoid dan Mongoloid berkaitan dengan Homo Wajakensis dan Homo Soloensis. Hipotesis pertama mengatakan bahwa manusia Wajak dan manusia Solo sudah punah atau dalam proses kepunahan ketika ras Australomelanesoid dan Mongoloid baru datang pada periode ini. Hipotesis lain mengatakan bahwa manusia Wajak dan Solo tidak punah, tetapi mengalami kohabitasi dengan ras pendatang baru tersebut, sehingga menghasilkan ras manusia Indonesia seperti pada saat ini.

Ras Australomelanesoid diyakini sebagai keturunan dari Proto-Austroloid yang berpindah dari sekitar Laut Tengah dan menentap di India. Ketika Bangsa Dravida tiba di India, sebagian dari mereka terdesak ke pegunungan. Sebagian lagi menyingkir ke wilayah Timur, seperti Cina, Kamboja, Semenenanjung Malaya dan Indonesia. Ras Australomelanesoid dikenal juga dengan Bangsa Vedda membawa budaya mesolitik. Mereka memiliki hubungan erat dengan nenek moyang bangsa Melanesia di Afrika, Asia Selatan dan Oseania.

Bangsa yang termasuk ke dalam kelompok Australomelanesoid atau Vedda adalah Hien (Kamboja), Miao-Tse, Yao-Jen (Tiongkok) dan Senoi (Semenanjung Malaya). Di Indonesia, yang termasuk dalam ras ini adalah Kubu atau Anak Dalam (Jambi), Lubu atau Orang Ulu (Jambi dan Sumatra Selatan, Talang Mamak (Riau) dan Toala (Sulawesi).

2.  Corak Kehidupan Sosial Ekonomi

Masih mempraktikkan pola berburu dan mengumpulkan makanan, tetapi dengan menggunakan peralatan yang lebih beragam, seperti tulang dan kulit kerang. Pembagian kerja menempatkan kaum laki-laki untuk berburu dan perempuan bertugas mengumpulkan makanan berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan kecil, memasak dan merawat anak serta menjaga api. Perempuan tidak selalu bisa mengikuti aktivitas berburu dalam lingkup wilayah yang luas. Hal ini semakin membatasi ruang gerak mereka, sehingga memunculkan konsep semisendenter, terutama di gua-gua payung (abris sous roche).

Selain mengerjakan peralatan dari batu dan tulang, selama tinggal di gua, manusia mengenal tradisi melukis di dinding gua atau karang. Lukisan ini  kebanyakan menggunakan pewarna merah, seperti yang terdapat di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua. Hanya lukisan di Sulawesi Tenggara menggunakan pewarna cokelat. Lukisan ini menggambarkan suatu pengalaman, perjuangan, harapan dan kepercayaan. Dibuat dengan cara menggoreskan cap tangan, gambar hewan, dan manusia pada dinding gua atau karang dengan bahan cat berwarna merah, putih, cokelat atau hitam.

Perkembangan otak manusia dalam beradaptasi dan menjawab tantangan alam menghasilkan penemuan api, yang berguna untuk menghangatkan tubuh, menghalau hewan buas dan memasak. Pada tahap akhir masa ini, manusia mengenal kehidupan bercocok tanam sederhana secara berpindah.

3.  Hasil Budaya Peralatan Hidup

a.  Serpih-Bilah (Flakes)

Berkembang di Indonesia dan sebagian besar Asia Tenggara. Teknik pembuatannya melanjutkan teknik pada masa sebelumnya dengan bentuk dan corak yang lebih maju dan beragam. Tradisi ini berkembang di Leang Kerasa di Sulawesi Selatan dan di pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur,

 

b.  Alat Tulang (Pebble)

Terdapat dua macam bentuk, yaitu sudip tulang dan belati dari tanduk. Alat-alat ini banyak ditemukan di Gua Lawa, dekat Sampung, Jawa Timur dan Selatan Bali.

c.  Kapak Genggam Sumatra (Sumatralith)

Tradisi ini tersebar di Asia Tenggara, Tiongkok, Australia dan Tasmania. Di Indonesia, kapak ini ditemukan di pantai timur Sumatra bagian Utara, yaitu Langsa, Lhok Seumawe dan Binjai, serta di Besuki, Jawa Timur.

Tradisi pembuatan alat pada masa ini dianggap terpengaruh Budaya Bac Son dan Hoa Binh (12.000-8.000 SM) dari Vietnam Utara, yang diduga merupakan daerah asal pendatang Ras Australomelanesoid. Tradisi ini mengacu pada peralatan batu dengan ciri diserpih (dipangkas) pada kedua sisinya.

Dalam ekskavasinya di sebuah bukit kerang di Sumatra Utara pada tahun 1925 dan 1926, van Stein Callenfels menemukan kerang, kapak genggam Sumatra dan kapak pendek, yang menunjukkan bahwa manusia sudah mengumpulkan dan mencari makanan di laut sebagai nelayan.

4.  Bentuk Kepercayaan Awal

Lukisan pada dinding Gua Leang-Leang di Sulawesi Selatan dipercaya sebagai simbol kekuasaan  yang memberikan perlindungan terhadap gangguan roh-roh jahat. Cap-cap tangan dengan jari yang tidak lengkap merupakan ungkapan berduka atau berkabung. Cap-cap tangan itu merupakan simbol perjalanan dari arwah orang yang sudah meninggal. Mereka sedang meraba-raba untuk menuju alam selanjutnya (van Heekeren).

Lukisan dinding gua terkait dengan penghormatan terhadap arwah nenek moyang, inisiasi, peringatan terhadap peristiwa penting, meminta hujan dan kesuburan serta perdukunan (Robert de Galis). Lukisan pada dinding gua dan karang menunjukkan bagaimana kepercayaan manusia purba dapat dipancarkan melalui nilai-nilai estetis dan magis yang bersinergi dengan totem dan upacara. Lukisan ini juga menunjukkan bahwa manusia pada masa itu sudah mampu berpikir simbolik, salah satunya ditunjukkan melalui beberapa lukisan berbentuk abstrak, yang sampai saat ini belum bisa dipecahkan maknanya.

Kehidupan spiritual pada periode ini juga bisa dilihat dari upacara penguburan, seperti yang terdapat pada Situs Gua Lawa (Jawa Timur), Gua Sodong (Jawa Tengah) dan Bukit Kerang (Sumatra Utara). Mayat-mayat yang dikuburkan ditabur cat merah dan disertai perhiasan-perhiasan dari kulit kerang sebagai bekal kubur. Cat merah dimaksudkan untuk memberikan kehidupan baru sesudah kematian. Kebiasaan ini diyakini merupakan bentuk kepercayaan manusia purba terhadap kehidupan setelah kematian berupa arwah orang-orang yang sudah meninggal, sehingga harus mendapat penghormatan.

Referensi

Kartodirdjo, Sartono, Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Koentjaraningrat. 2002. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Soekmono. 2005. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius.

Sriyana. 2020. Antropologi Sosial Budaya. Klaten : Lakeisha.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun