Berlangsung pada sekitar (10.000-2.500 tahun yang lalu). Ras manusia pembawa budaya ini dianggap berasal dari pendatang baru, yaitu ras Mongoloid dan Australomelanesoid (Poeponegoro dan Notosusanto). Pada pasca-Pleistocen topografi Indonesia tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini, meskipun letusan gunung, lipatan dan patahan serta pengendapan sungai masih terjadi.
Alam menjadi lebih panas karena perubahan iklim . Daratan yang terbentuk akibat menurunnya permukaan air laut menjadi tertutup kembali, termasuk Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Akibatnya, hubungan antara daratan Nusantara dengan Asia Tenggara dan Australia terputus. Hewan-hewan yang berasal dari spesies dan karakteristik fisik yang sama beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan berkembang dengan karakteristik yang unik dan khas.
Â
1. Â Jenis Manusia
Terdapat dua hipotesis tentang eksistensi Australomelanesoid dan Mongoloid berkaitan dengan Homo Wajakensis dan Homo Soloensis. Hipotesis pertama mengatakan bahwa manusia Wajak dan manusia Solo sudah punah atau dalam proses kepunahan ketika ras Australomelanesoid dan Mongoloid baru datang pada periode ini. Hipotesis lain mengatakan bahwa manusia Wajak dan Solo tidak punah, tetapi mengalami kohabitasi dengan ras pendatang baru tersebut, sehingga menghasilkan ras manusia Indonesia seperti pada saat ini.
Ras Australomelanesoid diyakini sebagai keturunan dari Proto-Austroloid yang berpindah dari sekitar Laut Tengah dan menentap di India. Ketika Bangsa Dravida tiba di India, sebagian dari mereka terdesak ke pegunungan. Sebagian lagi menyingkir ke wilayah Timur, seperti Cina, Kamboja, Semenenanjung Malaya dan Indonesia. Ras Australomelanesoid dikenal juga dengan Bangsa Vedda membawa budaya mesolitik. Mereka memiliki hubungan erat dengan nenek moyang bangsa Melanesia di Afrika, Asia Selatan dan Oseania.
Bangsa yang termasuk ke dalam kelompok Australomelanesoid atau Vedda adalah Hien (Kamboja), Miao-Tse, Yao-Jen (Tiongkok) dan Senoi (Semenanjung Malaya). Di Indonesia, yang termasuk dalam ras ini adalah Kubu atau Anak Dalam (Jambi), Lubu atau Orang Ulu (Jambi dan Sumatra Selatan, Talang Mamak (Riau) dan Toala (Sulawesi).
2. Â Corak Kehidupan Sosial Ekonomi
Masih mempraktikkan pola berburu dan mengumpulkan makanan, tetapi dengan menggunakan peralatan yang lebih beragam, seperti tulang dan kulit kerang. Pembagian kerja menempatkan kaum laki-laki untuk berburu dan perempuan bertugas mengumpulkan makanan berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan kecil, memasak dan merawat anak serta menjaga api. Perempuan tidak selalu bisa mengikuti aktivitas berburu dalam lingkup wilayah yang luas. Hal ini semakin membatasi ruang gerak mereka, sehingga memunculkan konsep semisendenter, terutama di gua-gua payung (abris sous roche).
Selain mengerjakan peralatan dari batu dan tulang, selama tinggal di gua, manusia mengenal tradisi melukis di dinding gua atau karang. Lukisan ini  kebanyakan menggunakan pewarna merah, seperti yang terdapat di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua. Hanya lukisan di Sulawesi Tenggara menggunakan pewarna cokelat. Lukisan ini menggambarkan suatu pengalaman, perjuangan, harapan dan kepercayaan. Dibuat dengan cara menggoreskan cap tangan, gambar hewan, dan manusia pada dinding gua atau karang dengan bahan cat berwarna merah, putih, cokelat atau hitam.
Perkembangan otak manusia dalam beradaptasi dan menjawab tantangan alam menghasilkan penemuan api, yang berguna untuk menghangatkan tubuh, menghalau hewan buas dan memasak. Pada tahap akhir masa ini, manusia mengenal kehidupan bercocok tanam sederhana secara berpindah.