Bung Karno pernah berkata lantang, Jas Merah. Jangan sekali kali melupakan sejarah. Perkataan Bung Karno memang sesuatu yang benar. Sejarah merupakan catatan penting untuk melangkah kedepan. Bangsa yang dengan gampangnya melupakan sejarah akan menemui kegagalan mengelola masa depan.Â
Sejarah memang bukan untuk membangkitkan luka lama, tapi meremajakan ingatan kita untuk memahami apa yang harus dilakukan selanjutnya. Beberapa bangsa didunia memiliki sejarah kelam penuh darah.Â
Di Asia Tenggara kita mengenal Kamboja yang memiliki masa kelam saat Khmer merah berkuasa, jutaan orang tewas terbunuh karena perbedaan politik. Di Eropa, holocaust terjadi, antisemit, pembantaian dengan menggunakan kamp penyiksaan menggunakan gas mematikan. Adolf Hitler dengan NAZInya menjadi tersangka utama.Â
Jerman berupaya merawat ingatan sejarah dengan menetapkan tanggal 27 Januari sebagai hari holocaust internasional, hari dimana Kamp konsentrasi Auschwitz dibebaskan pada 27 Januari 1945.
Tidak sampai disitu Jerman menerbitkan Undang undang (UU) tentang pelarangan simbol simbol NAZI, SS dan swastika. termasuk pelarangan gaya penghormatan ala NAZI. Hal itu dilakukan sebagai upaya mengingatkan bahaya dari NAZI baik berupa ideologi, gagasan, konsep hingga simbol simbol.
Bila Jerman begitu serius merawat ingatan sejarahnya Maka memang seharusnya pula Indonesia juga harus merawat sejarah tragedi kelam G 30 S . Tugas mengingatkan kembali sejarah merupakan tugas semua elemen bangsa, terutama pemerintah, media, komunitas sejarah, institusi pendidikan, akademisi dan semua pihak termasuk seluruh warga negara.
Walaupun beberapa pihak menganggap ada pemanfaatan sejarah saat orde baru berkuasa. Beberapa misteri yang tidak terungkap, distorsi sejarah, pelabelan subversif dan kemungkinan pemalsuan data sejarah.
Namun secara kerangka besar dengan garis benang merah dan konstruksi sejarah, G 30 S adalah peristiwa sejarah kelam dan berdarah yang menimbulkan atau merembet hingga menjadi sebuah pembantaian, balas dendam yang menyeret orang yang tidak sepenuhnya salah bahkan orang yang dicap atau dilabeli ikut kena getahnya.
Pembantaian ini bisa terjadi karena spontan atau terjadi karena direkayasa tapi kenyataannya, banyak korban telah jatuh. Ribuan keluarga yang terlanjur dilabeli kehilangan masa depannya. Anak keturunan hingga cucu mendapatkan stigma negatif.
Ini yang tidak boleh terulang kembali. Pembantaian penuh darah ini tak bisa dilupakan begitu saja. Monumen ingatan massal tentang G 30 S harus terus dirawat. Jangan sampai generasi muda abai dan 'amnesia' sejarah.
Saya melihat peristiwa G 30 S dari sisi kemanusian, sisi gelap tentang kebiadaban manusia yang menumpahkan darah karena ambisi berkuasa.Â