Dengan tingkat kemacetan lalu lintas yang tinggi, Jakarta pernah masuk dalam kota urutan keempat dalam tingkat kemacetan pada tahun 2017 berdasarkan data Traffic Index, tingkat kemacetan Jakarta mencapai angka 61%.
Apalagi penduduk Jakarta diisi oleh pekerja migran ulang alik, yang menurut data statistik komuter Jabodetabek  mencapai angka 12,7% penduduk migrasi komuter.Â
Penduduk Jakarta yang tinggal di Kota penyangga seperti Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang juga terus meluas hingga Cikarang, Karawang, Lebak dan Serang.
Jadi bisa dibayangkan begitu tingginya jumlah pengguna transportasi umum, yang jumlahnya mencapai 1 juta orang. Beban besar inilah yang akhirnya membuat beberapa insiden perselisihan di transportasi umum terjadi.Â
Hampir semua moda mengalami beban berat, baik moda berbasis rel, moda berbasis bus atau moda lainnya. Perselisihan juga terjadi di Trans Jakarta (TJ), baik di halte transit hingga di dalam bus. Perselisihan terjadi paling banyak saat menaiki bus yang penuh dan saat menunggu di halte transit yang overload.
3 Hal yang Perlu Diterapkan Untuk Mengurangi Perselisihan di Transportasi Umum
Apa yang terjadi di dalam transportasi umum merupakan cerminan dari budaya dan karakteristik para pengguna itu sendiri. Disamping menyangkut juga pelayanan dari pihak penyelenggara atau operator transportasi umum.
Perselisihan muncul karena ada yang yang terganggu, ada yang terusik sehingga ada reaksi berupa komplain, teguran hingga hal yang kurang terpuji lainnya. Pengguna transportasi memiliki hak dan kewajiban yang sama. Adil sehingga tak ada keistimewaan, kecuali untuk pengguna khusus seperti disabilitas, ibu hamil, lansia , anak anak dan balita.
Sebagai pelaju, apa yang sudah dilakukan sampai sejauh ini banyak hal yang positif, hanya saja jumlah pengguna yang terus tumbuh melewati kemampuan fasilitas yang ada. Pelajaran penting saat covid-19 beberapa tahun yang lalu, dimana ada penyesuain cara kerja dengan menggunakan metode daring.Â
Hal ini jauh mengurangi jumlah pergerakan migran komuter di Jabodetabek, sehingga transportasi umum tidak mengalami overload. Ada 3 hal yang bisa dilakukan!
Pertama, perlu penegakan aturan dan edukasi kebiasaan dalam budaya bertransportasi. Perselisihan sering terjadi karena ada pihak yang tidak mematuhi aturan, seperti duduk di kursi prioritas, duduk di lantai KRl, tidak berjalan di sisi kanan escalator, berbicara dan bercanda berlebihan, berbuat asusila atau sengaja berbuat kegaduhan.Â
Kedua, perlu menyeimbangkan pelayanan dan daya tampung transportasi umum. Saat jam sibuk maka penambahan personil layanan, baik di dalam stasiun maupun didalam unit layanan. Kesigapan dan antisipasi petugas sangat diperlukan. Titik krusial perlu diantisipasi.Â