publik KRL telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi pekerja urban di Jabodetabek. Selain murah meriah waktu tempuh menggunakan KRL jauh lebih pasti ketimbang moda lainnya.
Sebagai moda transportasiSaya sendiri pengguna KRL setia. Karena lokasi rumah yang sangat dekat dengan stasiun kereta. Hanya selemparan batu. Seluruh aktifitas perjalanan selalu dimulai menggunakan KRL sebelum berganti moda lainnya seperti Trans Jakarta, angkot atau moda berbasis aplikasi lainnya.
Penggunan KRL perhari menurut data VP Corporate Secretary KAI Commuter Jabodetabek Anne Purba pada keterangan resminya pada Minggu (5/3/2023) setiap hari 743.242 orang pengguna. Boleh dibilang KRL adalah favorit transportasi publik. Ditambah saat ini stasiun stasiun kereta sudah terhubung dengan halte transjakarta sehingga perpindahan orang jauh lebih mudah dan cepat.
Selain itu fasilitas stasiun sudah sangat baik, sehingga kebutuhan penumpang bisa terpenuhi di Stasiun. Sampai Wifi gratisan saja sudah tersedia
Hanya saja saat peak hour jam  berangkat dan jam  pulang kerja, rangkaian kereta akan terisi penuh hingga berdesak desakan. Jangankan dapat duduk bisa berdiri dengan normal saja terasa sulit. Kondisi penuh dan berdesak desakan menjadi  'ritual' saat berangkat dan pulang kerja.
Saya sendiri pernah berpikir bagaimana bila kereta bisa dibuat 2 lantai sehingga mungkin bisa mengurangi kepadatan penumpang. Entah memungkinkan bila kereta bisa dibuat 2 lantai sepeti bus zaman sekarang yang sudah banyak menggunakan armada bus double decker.
Sebenarnya selain berdesakan di dalam rangkaian KRL Â juga terjadi di stasiun transit seperti di Tanah Abang, stasiun yang sebenarnya sudah melebihi kapasitas layanan. Peron dan tangga penghubung lantai dua yang teebatas sehingga penumpukan penumpang membuat keadaan tidak nyaman dan berpotensi memicu tindakan pencopetan atau tindakan kriminal lainnya.
Disaat kereta sedang penuh penuhnya  ada saja ulah  penumpang  yang membuat keadaan bertambah tidak nyaman, hal yang mengganggu penumpang lainnya.
Saya akan tuliskan berdasarkan pengalaman saya sendiri , berikut 3 hal yang membuat penumpang KRL terganggu.
Pertama, penumpang ngobrol lebih dari 2 orang. Kadang berkelompok tanpa perduli dengan keadaan sekitarnya. Biasanya kelompok ini merupakan pertemanan. Entah karena satu pekerjaan, satu kampung, satu komunitas  atau satu sekolah.
Saya sering menjumpai kelompok ini , jumlahnya bisa lebih dari 6 orang. Nampaknya kelompok ini sudah memiliki pilihan gerbong  dan jam KRL sehingga mereka akan berkumpul pada gerbong yang sama pada jam yang sama pula.
Selain mengobrol mereka kadang main Ludo di salah satu Hp atau permainan lainnya yang bisa saling sharing. Permainan ini sering juga disertai permainan judi, yang kalau akan menyetor uang kepada si pemenang. Jumlahnya dari Rp 2000 hingga Rp 10.000,
Kegiatan kelompok ini sering tidak terpantau petugas Walka karena kereta sedang sangat padat, sehingga tak ada patroli petugas walka.
Kedua, berpura pura mengemis didalam gerbong KRL. Hal ini beberapa kali saya temui pada jalur Tanah Abang- Rangkasbitung. Maaf, sipengemis ini memakai pakaian sangat 'menyedihkan'. Penampilannya memang membuat penumpang lainnya iba dan kasihan.
Saya sendiri pernah menjadi sasaran pengemis jenis ini, tanpa malu malu meminta uang dengan alasan untuk naik ojek dari stasiun. Setelah saya beri uang, sipengemis juga melakukan hal yang sama kepada penumpang lainnya.
Setelah diberitahu penumpang kainnya bahwa sibapak sudah biasa meminta uang. Barulah saya berpikir adanya 'pura pura pengemis'.
Hal ini sebenarnya sudah diketahui petugas walka KRL, seringkali pengemis ini diminta turun distasiun terdekat.
Ya begitulah kadang Ingin membantu tapi malah dijadikan ladang mencari uang. Sebagai orang yang bekerja di bidang sosial kemanusian saya jadi miris. Bisa jadi tidak ada pekerjaan untuk si pengemis sehingga ia nekat melakukan hal yang akhirnya mengganggu kenyamanan penumpang KRL
Ketiga, Pamer aurat. Entah karena kebetulan atau memang sengaja. Ada 3 wanita muda hitungan saya masih ABG dibawah 25 tahun. Ketiganya mengenakan pakaian yang superhemat. Maaf , bagian bagian yang harusnya tertutup seperti ingin ditampilkan.
Hal ini tentu menjadi pusat perhatian 'diam diam' dari para mata lelaki. Saya sih berpikir positif kemungkinan mereka baru saja megikuti audisi atau kegiatan yang seragamnya sangat terbatas . Dari adat ketimuran sih memang tidak cocok.
Apalagi saat bersaman dari pengeras suara di KRL diingatkan tentang tindakan pelecehan seksual yang bisa terjadi didalam kereta.
Sebagai penumpang KRL saya memberi saran  untuk para wanita berpakaianlah secara wajar, sopan dan tidak perlu demonstrative. Karena KRL  adalah wilayah publik dari berbagai macam latar belakang orang. Tentu beda juga karakternya. Khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan.
Untuk hal pertama, pihak penyelenggara KAI sudah memberikan aturan dan sudah disosialisasikan. Bahkan bila penumpang bandel petugas Walka akan menurunkan distasiun terdekat dan petugas stasiun juga akan mengeluarkan penumpang bermasalah dari area stasiun.
Untuk aturan ketiga nampaknya belum ada dan mungkin agak sulit diterapkan karena persepsi orang akan berbeda  beda  terkait kesopanan berpakaian di wilayah publik. Hal yang akan membuat perdebatan publik. Mungkin kalau sifatnya saran masih diperbolehkan.
Bijak Menggunakan Fasilitas Publik
Rangkaian KRL , stasiun, halte , bus Tran Jakarta adalah bagian dari fasilitas publik yang kepemilikannya harus memenuhi kebutuhan semua kepentingan pengguna.
Menjaga keamanan, kenyamanan dan ketertiban adalah hal yang harus dilakukan semua pengguna fasilitas . Peraturan publik harus ditegakkan untuk melindungi seluruh kepentingan.
Berjalannya faslitas publik tentu akan memudahkan semua layanan bisa dinikmati , bayangkan kalau ada salah satu pengguna yang melakukan pengrusakan (vandalism)Â atau salah satu kelompok melakukan kegaduhan. Tentu akan merugikan semua orang yang harusnya juga bisa menikmati fasilitas tersebut
Temasuk masalah kenyamanan di faslitas publik yang menjadi kewajiban bersama. Saling berbagi saling membantu didalam penggunaan faslititas publik. Termasuk saling merasa, bila aktifitas ternyata bisa mengganggu sebaiknya tidak dilakukan atau minimal mengurangi dampaknya.
Jangan sampai karena tingkah laku kita ada hak orang lain terganggu , bahkan ada hak orang lain yang terampas. Hak pribadi juga harus selaras dengan hak publik. Keduanya harus dihormati.
Salam Bahagia ...
Bogor, 7/08/2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H