Mohon tunggu...
Nova Tazkya
Nova Tazkya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama : Nova Tazkya NIM : 43120010258 Dosen :Apollo, Prof.Dr,M.Si.Ak Prodi : S1 Manajemen, Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etika Jawa Kuno Hubungan Dialektis Jagad Gumelar, Jagad Gumulung, dengan Sadulur Papat Lima Pancer

6 April 2023   20:11 Diperbarui: 6 April 2023   20:15 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Diadaptasikan dari Sony Kartika, 2007:106

Konsep Ketuhan biasanya disajikan sebagai diagram segitiga di mana Tuhan di puncak tertinggi adalah pemilik dan pengontrol keseimbangan kosmik alam semesta, sedangkan dua titik paralel berisi alam semesta. dan sesama manusia. Dalam diagram ini, manusia secara pribadi dihadirkan pada posisi tengah, yaitu pada garis horizontal antara alam semesta dan manusia di sekitarnya, namun konteks manusia yang tertulis juga tegak lurus dengan konteks Tuhan.

Rencana ketuhanan ini membawa pesan tersirat bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam skala kecil, seseorang diharapkan mampu menjaga hubungan baik dengan orang-orang terdekatnya maupun orang-orang di sekitarnya. Hubungan harmonis tersebut membawa manfaat positif bagi kehidupan manusia yang dapat mengiringi fenomena alam. Dalam skala yang lebih besar, manusia diharapkan mampu menjaga hubungan yang dinamis dengan Penciptanya dan alam semesta ini. Keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos yang berhasil mendorong perdamaian dan keharmonisan dalam siklus kehidupan. Dalam khazanah filsafat Timur, khususnya dalam tatanan yang dianut oleh orang Jawa, dikenal pula konsep kosmologi. Keharmonisan roda makrokosmik dan mikrokosmik bergantung pada manusia sebagai pelaku dalam tahapan kehidupan. Orang Jawa menyebut makrokosmos jagad gerde, artinya alam semesta, dan mikrokosmos jagad cilik, artinya manusia. Di alam semesta kecil, manusia memiliki dua aspek, yaitu eksternal dan internal (Suseno, 1984:118). Manusia diharapkan mampu mengendalikan emosi dan keinginannya untuk menjernihkan pikiran dan berhubungan kembali dengan Sang Pencipta. Mencapai kesatuan dengan Sang Pencipta berarti memperjuangkan keteraturan, yaitu keselarasan dengan alam semesta.

Orang Jawa memiliki kemampuan luar biasa untuk mengamati dan beradaptasi dengan berbagai fenomena alam. Kemampuan ini dicapai melalui ketajaman indera dan pengalaman spiritual mereka. Berbagai gagasan untuk menghubungkan koneksi mikrokosmik dan makrokosmik telah melahirkan tindakan dan pandangan hidup yang selalu aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Ciri budaya Jawa yang paling menonjol adalah segala sesuatu yang diungkapkan dengan lambang atau lambang tertentu. Hal ini karena orang Jawa pada masa itu belum terbiasa berpikir secara abstrak, sehingga semua gagasan dinyatakan sebagai simbol-simbol yang konkret. Jadi semuanya bisa menjadi misteri karena simbol bisa diartikan lebih dari satu makna (Simuh, Sony Kartika, 2007:115-116).

Konsep lingkaran mandala mengandung pandangan Jawa tentang tempat manusia dalam mikrokosmos yang melingkar. Mandala adalah lingkaran kesempurnaan, keseimbangan dan keteraturan yang memberi energi untuk menciptakan harmoni. Persatuan dalam lingkaran mandala ini muncul dari perbedaan, dan perbedaan harus diupayakan sebagai keseimbangan dan keharmonisan hidup melalui pengendalian diri. Inti mandala terletak pada bentuk keterampilan dan sikap manusia dalam mengelola konflik antar komponennya (wawancara dengan Dharsono Sony Kartika, Maret 2009).

Kiblat papat lima pancer sebagai filosofi Jawa merupakan perwujudan dari konsep mandala. Pandangan ini juga dikenal sebagai "dunia waktu", yang berarti penggolongan empat dimensi spasial yang dicirikan oleh empat arah pusat dengan satu pusat. Ini mengacu pada kesadaran manusia akan hubungan yang tidak terpisahkan antara dirinya dan alam semesta. Konsep ini menyatakan bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan dengan keinginan yang berasal dari dalam dirinya. Berdasarkan pandangan kiblat Papat Liman Pancer, nafsu yang merupakan dasar fitrah manusia dapat dibedakan menjadi empat arah utama. Lauwamah, Supiyah, Viha dan Mutmainah (Simuh, Sony Kartika, 2007: 33). Dari empat bentuk nafsu manusia, hanya satu yang berakhlak mulia, yaitu mutmainah, sedangkan tiga lainnya bersifat negatif. Namun, seseorang dapat mengembangkan keseimbangannya dengan cara tertentu. Keempat unsur tersebut merupakan dasar dari mikrokosmos yang hanya dapat diatasi oleh bakat pribadi.

Sumber: Diadaptasikan dari Sony Kartika, 2007:106
Sumber: Diadaptasikan dari Sony Kartika, 2007:106

Kemajuan dalam segala aspek kehidupan dan frekuensi aktivitas sehari-hari secara perlahan menuju manusia yang lebih dinamis dan modern. Globalisasi informasi berdampak besar pada proses perubahan dinamika kehidupan manusia. Konflik kepentingan dapat muncul ketika orang berulang kali ingin menempatkan diri mereka dalam situasi di mana mereka mandiri secara materi dan mengesampingkan sisi batin mereka. Itu mengaburkan mata hati dan intuisi manusia. Orang-orang begitu terhanyut dan tergerak oleh arus duniawi sehingga mereka gagal menyadari bahwa ada sifat-sifat negatif yang melekat. Dominasi kepentingan-kepentingan luar ini memberikan kontribusi besar terhadap ketidakseimbangan perilaku manusia saat ini. Tren negatif dalam pemikiran dan perilaku masyarakat saat ini pada akhirnya mengkhawatirkan. Ketimpangan yang terus berlanjut dikhawatirkan akan menimbulkan disharmonisasi antara mikrokosmos dan makrokosmos. Hal ini sangat mempengaruhi keseimbangan kehidupan di Segitiga, sehingga manusia harus siap menghadapi konsekuensi guncangan dari makrokosmos (wawancara dengan Ari Dartono, Maret 2009).

Filosofi Kiblat Papat Lima Pancer yang terkait langsung dengan konsep mikrokosmos diusung sebagai solusi untuk melindungi manusia dari pengaruh negatif waktu dan lingkungan. Melalui konsep kosmologi Jawa ini, kita mendapatkan gambaran tentang hakikat manusia yang pada hakekatnya menjadi sumber segala permasalahan. Ini sering tidak dipahami karena orang mungkin tidak menyadari karakteristik pribadi mereka yang paling penting. Bentuk visualnya merupakan sarana komunikasi antara pengarang dengan orang lain (apresiasi). Karya ini mengandung makna tersirat berupa himbauan agar masyarakat tidak hanya mengutamakan kepentingan eksternal, tetapi menciptakan keselarasan dan keseimbangan antara dimensi eksternal dan internal. Ketika orang mampu mengendalikan keberadaan banyak elemen kehidupan, kesempurnaan lingkaran mandala tercapai di dalam diri mereka.

Pendeta dan cendekiawan Jerman Suseno Franz Magnis juga menemukan berbagai topik yang berkaitan dengan cara hidup orang Jawa dalam bukunya Etika Jawa. Keyakinan mistik Jawa mengartikan makrokosmos (jagad gerde) sebagai dunia kelahiran, sedangkan mikrokosmos (alam semesta kecil) adalah tubuh manusia. Dalam hal ini, alam merujuk pada alam semesta sebagai sumber kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Konsep mikrokosmos Jawa memandang manusia pada dasarnya sebagai makhluk spiritual sehingga keberadaan jasad hanyalah perantara jiwa manusia untuk berdamai dengan makrokosmos (Suseno, 1984:118).

Perubahan budaya yang terus-menerus ini disebabkan oleh cara hidup orang Jawa yang mengutamakan kedamaian batin, keselarasan dan keseimbangan, diikuti dengan sikap tenang terhadap segala peristiwa. Prinsip moral menekankan pengabdian, kesabaran, introspeksi, kerendahan hati, kesopanan dan kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosional pribadi. Bentuk harmonisasi hubungan masyarakat privat dapat diwujudkan dengan menerjemahkan ajaran budaya tertulis dan tidak tertulis ke dalam berbagai peraturan, seperti: Etika (Tata Karma), yaitu pedoman tingkah laku manusia, adat istiadat, hubungan yang harmonis dengan sesama dan tata cara ibadah, dll. Hal ini memberikan gambaran tentang sikap hidup yang ditempatkan dalam hubungan nilai budaya dari kepribadian seseorang dan masyarakat. Pandangan hidup ini mengarah pada keharmonisan manusia dalam hubungan yang tidak terpisahkan antara diri sendiri, orang lain, alam semesta dan hubungan dengan Sang Pencipta. dan berpartisipasi dalam lingkungan alam (Niels Mulder dalam Sony Kartika, 2007:116-117).

Sebuah cerita wayang yang mengandung intisari kearifan Jawa disajikan dalam Dewaruc. Lakon Dewa Ruci menceritakan kisah Mahabarata tentang perjalanan Bima, saudara kedua Pandawa, untuk menemukan air kehidupan. Sebagai persiapan Perang Baratayuda, Korawa berusaha menyingkirkan Bima untuk melemahkan kekuatan Pandawa. Untuk mencapai tujuan itu, Durna, mantan guru Bima yang kini berpihak pada Korawa, menantang Bima untuk mencari Air Kehidupan di gua Condromuko yang terletak di tengah hutan terpencil. Bima pergi bekerja meskipun ada bahaya dan peringatan dari saudara-saudaranya yang mencurigakan. Setelah mencapai tujuannya, Bima menghancurkan seluruh hutan untuk mencari air. Tindakan Bima membuat marah dua raksasa yang tinggal di hutan keramat. Setelah pertempuran hebat, akhirnya Bima berhasil membunuh kedua raksasa tersebut dan membatalkan kutukan Batara Guru. Keduanya kembali ke wujud aslinya yaitu Dewa Indra dan Dewa Bayu. Sebagai ucapan terima kasih, mereka memberitahu bahwa benda yang dicari Bima tidak ada di hutan.

Bima kembali ke Drona, yang kini menjelaskan bahwa ada air di dasar lautan. Meski Bima sendiri mulai ragu dengan pencarian ini, Bima tetap bertekad untuk mencari air kehidupan, meski harus mengorbankan nyawanya. Bimah memulai perjalanan panjangnya hingga mencapai tepi samudra, kemudian Bimah terjerumus ke dalam gelombang liar laut. Di tengah laut, Bima diserang oleh naga raksasa Nemburnawa, namun akhirnya naga tersebut tertahan oleh kesaktian cakar Pancanaka. Usai pertempuran, Bima merasa lelah dan membiarkan dirinya terlempar oleh ombak laut. Sesosok kecil mirip Bimah tiba-tiba muncul dalam kesunyian. Karakter tersebut memperkenalkan dirinya sebagai Lord Ruc. Dewa Ruci mengundang Bima ke dalam hatinya melalui telinga kirinya. Meski awalnya ragu, Bima menuruti perintah tersebut. Mula-mula ia menemukan dirinya dalam kehampaan dan kebingungan, tetapi setelah beberapa saat Bima melihat alam semesta dan segala isinya terbalik (jagad walikan). Bima melihat empat warna, tiga diantaranya kuning, merah dan hitam, yang melambangkan nafsu berbahaya yang harus dihindari, sedangkan warna putih melambangkan ketenangan. Bima juga melihat boneka gading kecil yang melambangkan Pramana, prinsip kehidupan ilahi yang bersemayam di dalam dan memberi kehidupan. Petir delapan warna mengungkapkan kepada Bhima realitas terdalam bahwa segala sesuatu adalah satu dan memiliki landasan ketuhanan. Bima meninggalkan tubuh Dewa Ruci dengan kedamaian batin dan kekuatan yang tak terkalahkan. Akhirnya Bima terus menyembunyikan pengalaman batinnya saat menjalankan tugas yang diberikan kepadanya (Suseno, 1985:114-116).

Benang merah yang dapat ditarik dari kisah Dewaruc adalah pemahaman bahwa manusia harus datang ke sumber air kehidupan jika ingin mencapai kesempurnaan. Sumber air tersebut tidak terdapat di dunia nyata, tetapi ada di dalam diri manusia sendiri yang disimbolkan dengan Dewa Ruci yang kecil dan menyerupai Bima. Kemiripan Dewa Ruci dengan Bima menunjukkan bahwa Dewa Ruci sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing, melainkan ruh Bima sendiri. Ukurannya yang kecil melambangkan fakta bahwa dunia batin tampak tidak penting dibandingkan dengan dunia nyata pada awalnya. Ketuhanan Dewa Ruci melambangkan bahwa Bima memiliki sifat ketuhanan sebagai dasar keberadaannya yang terdalam, artinya manusia harus selalu mengabdi dan berfungsi sebagai makhluk Tuhan (Suseno, 1985:116-117). Kosmologi Jawa kemudian berkembang secara luas dengan memasukkan aspek-aspek mendasar dari cara berpikir orang Jawa untuk menjaga hubungan yang seimbang antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam pencariannya akan kebenaran hakiki, orang Jawa menjumpai pandangan hidup yang berkaitan dengan sistem kehidupan yang dianutnya.

Masyarakat budaya tradisional memiliki hubungan erat dengan kepercayaan adat dan terus mempertahankan cara berpikir berdasarkan kesatuan kosmis. Hubungan antara mikrokosmos (akal manusia), metakosmos (kesatuan alam) dan makrokosmos (alam semesta) ini sejalan dengan sistem pemikiran budaya mistik Indonesia dari masa prasejarah hingga masa Hindu-Buddha di Jawa. Dalam hal ini, konsep Tiga Kerajaan memegang peranan penting dalam kepercayaan kelompok masyarakat tersebut. Konsep ini sering digunakan dalam karya-karya tradisional seperti candi, wayang (pegunungan), dan tekstil tradisional (tekstil, batik). Konsep tiga dimensi adalah konsep membagi kehidupan manusia berdasarkan tiga sistem alam, yaitu:

  • Alam Niskala

Dunia Atas atau Niskala adalah pusat kehidupan yang dimulai dengan awal penciptaan alam semesta dan isinya, atau proses penciptaan bumi, manusia, hewan, dan tumbuhan sebagai isinya. Vai atau Cahaya, yang sering merujuk pada petunjuk dan kesejahteraan Tuhan, hanya ditemukan di dunia abstrak dan tidak semua orang memahaminya, hanya orang-orang tertentu yang berjuang untuk kedamaian batin dan menjadi orang yang sempurna sesuai keinginan orang Jawa. Niskala atau Surga adalah tempat yang sangat indah penuh kedamaian dan ketenangan yang diimpikan setiap orang.

Alam Niskala (dunia atas) diyakini sebagai tempat tinggal para dewa. Relief candi dengan sepasang burung (dalam posisi berbeda:terbang, istirahat) seolah menjaga pohon kehidupan. Dunia di atas pegunungan dapat dilambangkan dengan motif binatang yang hidup di atas (burung, ayam, monyet, kupu-kupu, kelelawar, dll). Hewan-hewan ini memberikan perlindungan dan perlindungan sebagai bagian dari perjalanan menuju inti kehidupan manusia.

  • Alam Niskala -- Sakala

Alam tengah atau Niskala-Sakala adalah bola yang menghubungkan dunia bawah (Niskala-Sakala) dengan dunia atas (Niskala). Dunia bawah adalah dunia tempat orang berdiri atau hidup, saat mereka menjalani hidup mereka, orang menghadapi kenyataan yang membuat seseorang dalam keadaan tidak stabil. Untuk mengatasinya, semua orang berusaha mendekatkan diri kepada Pemilik segala sesuatu (Tuhan). Jika manusia mendekati Tuhan karena Tuhan secara fisik tidak berwujud tetapi keberadaan Tuhan atau keberadaan Tuhan diwujudkan dalam seluruh alam semesta (makrokosmos/semesta), maka manusia membutuhkan atau memerlukan sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Tuhan juga membutuhkan mediator.

Alam Niskala - Sakala (Dunia Tengah) merupakan kerajaan penghubung antara Niskala dan Sakala. Pada relief candi biasanya digambarkan sebagai pohon kehidupan yang tumbuh dari pot, dikelilingi oleh kue yang dihiasi dengan pita permata, beberapa paku bunga, dan di atas daun ada payung, melambangkan perlindungan dan perlindungan. Sedangkan di Gunungan biasanya disajikan pohon kehidupan dengan jumlah batang ganjil, gapura (tempat tinggal raja) dan kolam (sumber kehidupan). Dalam hal ini, pohon kehidupan berperan sebagai penghubung antara dunia atas dan dunia bawah.

  • Alam Sakala

Dunia bawah atau alam fisik adalah alam manusia dengan segala kegalauannya, tidak ada kehidupan manusia yang sempurna dimana manusia dikondisikan sebagai makhluk yang sangat kecil (mikrokosmos) dibandingkan dengan alam semesta ini (makrokosmos) sehingga manusia dalam kehidupannya menjadi inspirasi, motivasi dan perlindungan. Tuhan agar hidup mereka aman, tenang, damai dan sejahtera.

Dunia Sakal (Dunia Bawah) adalah alam fana tempat orang hidup dan terlibat dalam aktivitas mereka. Terkait dengan ini adalah simbol sifat manusia yang selalu terikat pada keinginan duniawi, sama sekali tidak sempurna dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Candi ini dilambangkan dengan sepasang Kinara-Kinari (binatang berkepala pendeta). Kehidupan bawah tanah di Gunungan direpresentasikan dengan motif hewan darat (singa, banteng, ular, harimau, babi hutan, rusa, dll) dan sepasang raksasa penjaga (Sony Kartika, 2007:151-152).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun