Konsep Ketuhan biasanya disajikan sebagai diagram segitiga di mana Tuhan di puncak tertinggi adalah pemilik dan pengontrol keseimbangan kosmik alam semesta, sedangkan dua titik paralel berisi alam semesta. dan sesama manusia. Dalam diagram ini, manusia secara pribadi dihadirkan pada posisi tengah, yaitu pada garis horizontal antara alam semesta dan manusia di sekitarnya, namun konteks manusia yang tertulis juga tegak lurus dengan konteks Tuhan.
Rencana ketuhanan ini membawa pesan tersirat bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam skala kecil, seseorang diharapkan mampu menjaga hubungan baik dengan orang-orang terdekatnya maupun orang-orang di sekitarnya. Hubungan harmonis tersebut membawa manfaat positif bagi kehidupan manusia yang dapat mengiringi fenomena alam. Dalam skala yang lebih besar, manusia diharapkan mampu menjaga hubungan yang dinamis dengan Penciptanya dan alam semesta ini. Keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos yang berhasil mendorong perdamaian dan keharmonisan dalam siklus kehidupan. Dalam khazanah filsafat Timur, khususnya dalam tatanan yang dianut oleh orang Jawa, dikenal pula konsep kosmologi. Keharmonisan roda makrokosmik dan mikrokosmik bergantung pada manusia sebagai pelaku dalam tahapan kehidupan. Orang Jawa menyebut makrokosmos jagad gerde, artinya alam semesta, dan mikrokosmos jagad cilik, artinya manusia. Di alam semesta kecil, manusia memiliki dua aspek, yaitu eksternal dan internal (Suseno, 1984:118). Manusia diharapkan mampu mengendalikan emosi dan keinginannya untuk menjernihkan pikiran dan berhubungan kembali dengan Sang Pencipta. Mencapai kesatuan dengan Sang Pencipta berarti memperjuangkan keteraturan, yaitu keselarasan dengan alam semesta.
Orang Jawa memiliki kemampuan luar biasa untuk mengamati dan beradaptasi dengan berbagai fenomena alam. Kemampuan ini dicapai melalui ketajaman indera dan pengalaman spiritual mereka. Berbagai gagasan untuk menghubungkan koneksi mikrokosmik dan makrokosmik telah melahirkan tindakan dan pandangan hidup yang selalu aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Ciri budaya Jawa yang paling menonjol adalah segala sesuatu yang diungkapkan dengan lambang atau lambang tertentu. Hal ini karena orang Jawa pada masa itu belum terbiasa berpikir secara abstrak, sehingga semua gagasan dinyatakan sebagai simbol-simbol yang konkret. Jadi semuanya bisa menjadi misteri karena simbol bisa diartikan lebih dari satu makna (Simuh, Sony Kartika, 2007:115-116).
Konsep lingkaran mandala mengandung pandangan Jawa tentang tempat manusia dalam mikrokosmos yang melingkar. Mandala adalah lingkaran kesempurnaan, keseimbangan dan keteraturan yang memberi energi untuk menciptakan harmoni. Persatuan dalam lingkaran mandala ini muncul dari perbedaan, dan perbedaan harus diupayakan sebagai keseimbangan dan keharmonisan hidup melalui pengendalian diri. Inti mandala terletak pada bentuk keterampilan dan sikap manusia dalam mengelola konflik antar komponennya (wawancara dengan Dharsono Sony Kartika, Maret 2009).
Kiblat papat lima pancer sebagai filosofi Jawa merupakan perwujudan dari konsep mandala. Pandangan ini juga dikenal sebagai "dunia waktu", yang berarti penggolongan empat dimensi spasial yang dicirikan oleh empat arah pusat dengan satu pusat. Ini mengacu pada kesadaran manusia akan hubungan yang tidak terpisahkan antara dirinya dan alam semesta. Konsep ini menyatakan bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan dengan keinginan yang berasal dari dalam dirinya. Berdasarkan pandangan kiblat Papat Liman Pancer, nafsu yang merupakan dasar fitrah manusia dapat dibedakan menjadi empat arah utama. Lauwamah, Supiyah, Viha dan Mutmainah (Simuh, Sony Kartika, 2007: 33). Dari empat bentuk nafsu manusia, hanya satu yang berakhlak mulia, yaitu mutmainah, sedangkan tiga lainnya bersifat negatif. Namun, seseorang dapat mengembangkan keseimbangannya dengan cara tertentu. Keempat unsur tersebut merupakan dasar dari mikrokosmos yang hanya dapat diatasi oleh bakat pribadi.
Kemajuan dalam segala aspek kehidupan dan frekuensi aktivitas sehari-hari secara perlahan menuju manusia yang lebih dinamis dan modern. Globalisasi informasi berdampak besar pada proses perubahan dinamika kehidupan manusia. Konflik kepentingan dapat muncul ketika orang berulang kali ingin menempatkan diri mereka dalam situasi di mana mereka mandiri secara materi dan mengesampingkan sisi batin mereka. Itu mengaburkan mata hati dan intuisi manusia. Orang-orang begitu terhanyut dan tergerak oleh arus duniawi sehingga mereka gagal menyadari bahwa ada sifat-sifat negatif yang melekat. Dominasi kepentingan-kepentingan luar ini memberikan kontribusi besar terhadap ketidakseimbangan perilaku manusia saat ini. Tren negatif dalam pemikiran dan perilaku masyarakat saat ini pada akhirnya mengkhawatirkan. Ketimpangan yang terus berlanjut dikhawatirkan akan menimbulkan disharmonisasi antara mikrokosmos dan makrokosmos. Hal ini sangat mempengaruhi keseimbangan kehidupan di Segitiga, sehingga manusia harus siap menghadapi konsekuensi guncangan dari makrokosmos (wawancara dengan Ari Dartono, Maret 2009).
Filosofi Kiblat Papat Lima Pancer yang terkait langsung dengan konsep mikrokosmos diusung sebagai solusi untuk melindungi manusia dari pengaruh negatif waktu dan lingkungan. Melalui konsep kosmologi Jawa ini, kita mendapatkan gambaran tentang hakikat manusia yang pada hakekatnya menjadi sumber segala permasalahan. Ini sering tidak dipahami karena orang mungkin tidak menyadari karakteristik pribadi mereka yang paling penting. Bentuk visualnya merupakan sarana komunikasi antara pengarang dengan orang lain (apresiasi). Karya ini mengandung makna tersirat berupa himbauan agar masyarakat tidak hanya mengutamakan kepentingan eksternal, tetapi menciptakan keselarasan dan keseimbangan antara dimensi eksternal dan internal. Ketika orang mampu mengendalikan keberadaan banyak elemen kehidupan, kesempurnaan lingkaran mandala tercapai di dalam diri mereka.
Pendeta dan cendekiawan Jerman Suseno Franz Magnis juga menemukan berbagai topik yang berkaitan dengan cara hidup orang Jawa dalam bukunya Etika Jawa. Keyakinan mistik Jawa mengartikan makrokosmos (jagad gerde) sebagai dunia kelahiran, sedangkan mikrokosmos (alam semesta kecil) adalah tubuh manusia. Dalam hal ini, alam merujuk pada alam semesta sebagai sumber kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Konsep mikrokosmos Jawa memandang manusia pada dasarnya sebagai makhluk spiritual sehingga keberadaan jasad hanyalah perantara jiwa manusia untuk berdamai dengan makrokosmos (Suseno, 1984:118).
Perubahan budaya yang terus-menerus ini disebabkan oleh cara hidup orang Jawa yang mengutamakan kedamaian batin, keselarasan dan keseimbangan, diikuti dengan sikap tenang terhadap segala peristiwa. Prinsip moral menekankan pengabdian, kesabaran, introspeksi, kerendahan hati, kesopanan dan kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosional pribadi. Bentuk harmonisasi hubungan masyarakat privat dapat diwujudkan dengan menerjemahkan ajaran budaya tertulis dan tidak tertulis ke dalam berbagai peraturan, seperti: Etika (Tata Karma), yaitu pedoman tingkah laku manusia, adat istiadat, hubungan yang harmonis dengan sesama dan tata cara ibadah, dll. Hal ini memberikan gambaran tentang sikap hidup yang ditempatkan dalam hubungan nilai budaya dari kepribadian seseorang dan masyarakat. Pandangan hidup ini mengarah pada keharmonisan manusia dalam hubungan yang tidak terpisahkan antara diri sendiri, orang lain, alam semesta dan hubungan dengan Sang Pencipta. dan berpartisipasi dalam lingkungan alam (Niels Mulder dalam Sony Kartika, 2007:116-117).