Mohon tunggu...
Nova Tazkya
Nova Tazkya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama : Nova Tazkya NIM : 43120010258 Dosen :Apollo, Prof.Dr,M.Si.Ak Prodi : S1 Manajemen, Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etika Jawa Kuno Hubungan Dialektis Jagad Gumelar, Jagad Gumulung, dengan Sadulur Papat Lima Pancer

6 April 2023   20:11 Diperbarui: 6 April 2023   20:15 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Diadaptasikan dari Sony Kartika, 2007:106

Sebuah cerita wayang yang mengandung intisari kearifan Jawa disajikan dalam Dewaruc. Lakon Dewa Ruci menceritakan kisah Mahabarata tentang perjalanan Bima, saudara kedua Pandawa, untuk menemukan air kehidupan. Sebagai persiapan Perang Baratayuda, Korawa berusaha menyingkirkan Bima untuk melemahkan kekuatan Pandawa. Untuk mencapai tujuan itu, Durna, mantan guru Bima yang kini berpihak pada Korawa, menantang Bima untuk mencari Air Kehidupan di gua Condromuko yang terletak di tengah hutan terpencil. Bima pergi bekerja meskipun ada bahaya dan peringatan dari saudara-saudaranya yang mencurigakan. Setelah mencapai tujuannya, Bima menghancurkan seluruh hutan untuk mencari air. Tindakan Bima membuat marah dua raksasa yang tinggal di hutan keramat. Setelah pertempuran hebat, akhirnya Bima berhasil membunuh kedua raksasa tersebut dan membatalkan kutukan Batara Guru. Keduanya kembali ke wujud aslinya yaitu Dewa Indra dan Dewa Bayu. Sebagai ucapan terima kasih, mereka memberitahu bahwa benda yang dicari Bima tidak ada di hutan.

Bima kembali ke Drona, yang kini menjelaskan bahwa ada air di dasar lautan. Meski Bima sendiri mulai ragu dengan pencarian ini, Bima tetap bertekad untuk mencari air kehidupan, meski harus mengorbankan nyawanya. Bimah memulai perjalanan panjangnya hingga mencapai tepi samudra, kemudian Bimah terjerumus ke dalam gelombang liar laut. Di tengah laut, Bima diserang oleh naga raksasa Nemburnawa, namun akhirnya naga tersebut tertahan oleh kesaktian cakar Pancanaka. Usai pertempuran, Bima merasa lelah dan membiarkan dirinya terlempar oleh ombak laut. Sesosok kecil mirip Bimah tiba-tiba muncul dalam kesunyian. Karakter tersebut memperkenalkan dirinya sebagai Lord Ruc. Dewa Ruci mengundang Bima ke dalam hatinya melalui telinga kirinya. Meski awalnya ragu, Bima menuruti perintah tersebut. Mula-mula ia menemukan dirinya dalam kehampaan dan kebingungan, tetapi setelah beberapa saat Bima melihat alam semesta dan segala isinya terbalik (jagad walikan). Bima melihat empat warna, tiga diantaranya kuning, merah dan hitam, yang melambangkan nafsu berbahaya yang harus dihindari, sedangkan warna putih melambangkan ketenangan. Bima juga melihat boneka gading kecil yang melambangkan Pramana, prinsip kehidupan ilahi yang bersemayam di dalam dan memberi kehidupan. Petir delapan warna mengungkapkan kepada Bhima realitas terdalam bahwa segala sesuatu adalah satu dan memiliki landasan ketuhanan. Bima meninggalkan tubuh Dewa Ruci dengan kedamaian batin dan kekuatan yang tak terkalahkan. Akhirnya Bima terus menyembunyikan pengalaman batinnya saat menjalankan tugas yang diberikan kepadanya (Suseno, 1985:114-116).

Benang merah yang dapat ditarik dari kisah Dewaruc adalah pemahaman bahwa manusia harus datang ke sumber air kehidupan jika ingin mencapai kesempurnaan. Sumber air tersebut tidak terdapat di dunia nyata, tetapi ada di dalam diri manusia sendiri yang disimbolkan dengan Dewa Ruci yang kecil dan menyerupai Bima. Kemiripan Dewa Ruci dengan Bima menunjukkan bahwa Dewa Ruci sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing, melainkan ruh Bima sendiri. Ukurannya yang kecil melambangkan fakta bahwa dunia batin tampak tidak penting dibandingkan dengan dunia nyata pada awalnya. Ketuhanan Dewa Ruci melambangkan bahwa Bima memiliki sifat ketuhanan sebagai dasar keberadaannya yang terdalam, artinya manusia harus selalu mengabdi dan berfungsi sebagai makhluk Tuhan (Suseno, 1985:116-117). Kosmologi Jawa kemudian berkembang secara luas dengan memasukkan aspek-aspek mendasar dari cara berpikir orang Jawa untuk menjaga hubungan yang seimbang antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam pencariannya akan kebenaran hakiki, orang Jawa menjumpai pandangan hidup yang berkaitan dengan sistem kehidupan yang dianutnya.

Masyarakat budaya tradisional memiliki hubungan erat dengan kepercayaan adat dan terus mempertahankan cara berpikir berdasarkan kesatuan kosmis. Hubungan antara mikrokosmos (akal manusia), metakosmos (kesatuan alam) dan makrokosmos (alam semesta) ini sejalan dengan sistem pemikiran budaya mistik Indonesia dari masa prasejarah hingga masa Hindu-Buddha di Jawa. Dalam hal ini, konsep Tiga Kerajaan memegang peranan penting dalam kepercayaan kelompok masyarakat tersebut. Konsep ini sering digunakan dalam karya-karya tradisional seperti candi, wayang (pegunungan), dan tekstil tradisional (tekstil, batik). Konsep tiga dimensi adalah konsep membagi kehidupan manusia berdasarkan tiga sistem alam, yaitu:

  • Alam Niskala

Dunia Atas atau Niskala adalah pusat kehidupan yang dimulai dengan awal penciptaan alam semesta dan isinya, atau proses penciptaan bumi, manusia, hewan, dan tumbuhan sebagai isinya. Vai atau Cahaya, yang sering merujuk pada petunjuk dan kesejahteraan Tuhan, hanya ditemukan di dunia abstrak dan tidak semua orang memahaminya, hanya orang-orang tertentu yang berjuang untuk kedamaian batin dan menjadi orang yang sempurna sesuai keinginan orang Jawa. Niskala atau Surga adalah tempat yang sangat indah penuh kedamaian dan ketenangan yang diimpikan setiap orang.

Alam Niskala (dunia atas) diyakini sebagai tempat tinggal para dewa. Relief candi dengan sepasang burung (dalam posisi berbeda:terbang, istirahat) seolah menjaga pohon kehidupan. Dunia di atas pegunungan dapat dilambangkan dengan motif binatang yang hidup di atas (burung, ayam, monyet, kupu-kupu, kelelawar, dll). Hewan-hewan ini memberikan perlindungan dan perlindungan sebagai bagian dari perjalanan menuju inti kehidupan manusia.

  • Alam Niskala -- Sakala

Alam tengah atau Niskala-Sakala adalah bola yang menghubungkan dunia bawah (Niskala-Sakala) dengan dunia atas (Niskala). Dunia bawah adalah dunia tempat orang berdiri atau hidup, saat mereka menjalani hidup mereka, orang menghadapi kenyataan yang membuat seseorang dalam keadaan tidak stabil. Untuk mengatasinya, semua orang berusaha mendekatkan diri kepada Pemilik segala sesuatu (Tuhan). Jika manusia mendekati Tuhan karena Tuhan secara fisik tidak berwujud tetapi keberadaan Tuhan atau keberadaan Tuhan diwujudkan dalam seluruh alam semesta (makrokosmos/semesta), maka manusia membutuhkan atau memerlukan sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Tuhan juga membutuhkan mediator.

Alam Niskala - Sakala (Dunia Tengah) merupakan kerajaan penghubung antara Niskala dan Sakala. Pada relief candi biasanya digambarkan sebagai pohon kehidupan yang tumbuh dari pot, dikelilingi oleh kue yang dihiasi dengan pita permata, beberapa paku bunga, dan di atas daun ada payung, melambangkan perlindungan dan perlindungan. Sedangkan di Gunungan biasanya disajikan pohon kehidupan dengan jumlah batang ganjil, gapura (tempat tinggal raja) dan kolam (sumber kehidupan). Dalam hal ini, pohon kehidupan berperan sebagai penghubung antara dunia atas dan dunia bawah.

  • Alam Sakala

Dunia bawah atau alam fisik adalah alam manusia dengan segala kegalauannya, tidak ada kehidupan manusia yang sempurna dimana manusia dikondisikan sebagai makhluk yang sangat kecil (mikrokosmos) dibandingkan dengan alam semesta ini (makrokosmos) sehingga manusia dalam kehidupannya menjadi inspirasi, motivasi dan perlindungan. Tuhan agar hidup mereka aman, tenang, damai dan sejahtera.

Dunia Sakal (Dunia Bawah) adalah alam fana tempat orang hidup dan terlibat dalam aktivitas mereka. Terkait dengan ini adalah simbol sifat manusia yang selalu terikat pada keinginan duniawi, sama sekali tidak sempurna dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Candi ini dilambangkan dengan sepasang Kinara-Kinari (binatang berkepala pendeta). Kehidupan bawah tanah di Gunungan direpresentasikan dengan motif hewan darat (singa, banteng, ular, harimau, babi hutan, rusa, dll) dan sepasang raksasa penjaga (Sony Kartika, 2007:151-152).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun