Oleh: M. Nova Burhanuddin
Abstraksi
The phenomenonof media propaganda is very massif nowadays. Especially, in Arab Spring revolutions and wars contexts. In Indonesia context, it make a like chaos in grassroot social order. It make the mass media the wrong guide, prefer than the right one. But, the mass communication which is the ground of mass media, can not be disparated from its social science theories epistemologically. Therefore, the phenomenon of media propaganda can be avoided with social science approach. And I, as an essayst of this message,will add some islamic sciences to it, to make the analysis more religious humanis.
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial. Ia juga makhluk madani. Al-Insân Kâin Ijtimâ'îy wa madanîy bi-thab'ihi. Karena itulah hanya manusia yang bisa disebut berpendidikan, kemudian berbudaya. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya sendiri.[1] Termasuk di antara yang relevan dalam tema esai kali ini adalah kebutuhan manusia akan komunikasi.
Manusia kini dikepung oleh fenomena komunikasi. Fenomena yang dulunya hanya bagian dari fitrah manusia untuk bersosialisasi dengan dirinya sendiri, dengan sesama teman, antar kelompok, kini berubah menjadi kebutuhan zaman dalam kerangka industri, teknologi, persaingan bisnis, politik (terutama pemilu), bahkan kedaulatan negara. Sesuatu yang dulunya bisa dijalani dengan lepas, riang gembira, kini mau tidak mau dilakukan dan diperlakukan dengan penuh perhitungan dan antisipasi, bahkan atas dasar desakan keadaan. Fenomena komunikasi dan informasi yang semakin kompleks tersebut semakin panas dengan munculnya fenomena propaganda media yang konon 'berprestasi' memicu Perang Dunia Pertama.
Media dan Propaganda
Sejak prestasi hebat tersebut, media tidak ragu lagi selalu bermain di semua perang besar dunia. Perang Dunia Kedua, Perang Dingin AS-Uni Soviet, Perang Irak-Kuwait, Perang Irak-Iran, Perang Israel-Arab, juga yang masih hangat Perang Musim Semi Arab (Arab Spring Wars). Sementara itu, media juga benar berprestasi menarik dukungan dunia atas perjuangan kemerdekaan negara-negara terjajah Asia dan Afrika. Prestasi positif atau negatif tersebut tergantung sudut pandang peneliti. Namun yang sangat disesalkan oleh ilmuwan dunia soal media adalah bahwa ia kerap disetir sebagai alat propaganda, sehingga citra buruk media sebagai alat propaganda sulit dilepaskan.
Dari sudut pandang politik pragmatis, propaganda media memang benar pernah berprestasi dalam perjuangan kemerdekaan suatu bangsa. Namun, dari sudut pandang ilmiah, propaganda media merusak otoritas ilmiah sejarah di masa depan. Peradaban ilmiah yang dibangun di atas 'fakta-fakta' propagandis suatu hari nanti pasti akan roboh diterjang kritik ilmiah dunia. Perjuangan kemerdekaan yang sejati tidak membutuhkan propaganda. Apalagi harapan perdamaian dunia yang hakiki. Cita-cita mulia memang seharusnya senantiasa diusahakan putih, suci, dan bersih.
Keterperosokan media dalam jurang propaganda, menurut hemat penulis, bukan sebab faktor eksternal sepenuhnya. Lemahnya integritas ilmiah media merupakan faktor internal paling kuat untuk kejatuhan itu. Integritas ilmiah di sini seringkali dibegal oleh kepemilikan modal besar, desakan kepentingan politik, juga godaan pragmatisme negatif. Juga banyak rintangan lain .. hal-hal yang bisa membuat kita ragu seraya bertanya-tanya, “Bisakah media selamat?”
Beruntung, sejarah menceritakan bahwa media mengalami arus balik ilmiah berkat peran para ilmuwan dunia di semua bidangnya (komunikasi dan informasi, sosiologi, politik, psikologi, ekonomi, sejarah, hukum, sastra, juga matematika, logika, dan lain-lain hingga mencapai 25 bidang) sejak sepertiga awal abad keduapuluh. Mereka turun gunung mencoba merumuskan fenomena komunikasi dan media seilmiah mungkin. Ada banyak usaha dengan analisis kualitatif dan kuantitatif. Ada juga sejumlah kegagalan teoretis. Dan koreksi ilmiah atas media terus berlangsung semakin membaik hingga kini, menuju kemanusiaan sejati yang diharap-harapkan.[2]
Media dan Kemanusiaan
Koreksi ilmiah di atas kembali mengingatkan kita bahwa media massa, secanggih apapun, ia berporos dan berhenti kepada manusia. Ia bagian dari kehidupan manusia. Pengembangannya harus bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan.
Sebagai fenomena kemanusiaan, media menemukan proses komunikasi dari manusia sejak masa primitif. Proses ini mengingatkan kita pada fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Oleh Aristoteles, proses komunikasi manusia yang niscaya ini dianggap selalu memiliki tujuan. Yakni mempengaruhi atau meyakinkan orang lain. Ia mendefinisikan komunikasi sebagai usaha menemukan semua sarana (media) yang tersedia untuk meyakinkan atau mempengaruhi. Karena konteks Athena kala itu sangat terbatas, maka sarana meyakinkan itu berupa ucapan tatap muka langsung.[3] Belum ada media elektronik saat itu, tentu saja.
Perkembangan selanjutnya ketika media begitu canggih dan kompleks, seperti diceritakan singkat di atas; ketika media menjadi semakin artifisial, semakin berjarak dari tatap muka langsung dan merambah seluruh sudut kehidupan di setiap detiknya, akankah media massa kehilangan kemanusiaannya? Akankah ia abai nilai fitrahnya berupa komunikasi langsung? Dengan propaganda yang ia ciptakan, akankah ia kembali sadar, dan netral, untuk kemudian berpihak kepada kemanusiaan? Akankah ia masih bisa diharapkan mampu mengabarkan kebenaran?
Tentu kita berharap yang terbaik dan yang paling maslahat!
Strategi Ilmiah Anti-Propaganda Media
Tiba saatnya kita memasuki inti uraian dalam esai ini. Topik yang akan diketengahkan seputar ide-ide konkret bagaimana meminimalisir dan mengantisipasi propaganda media. Usaha ini tentu saja akan meminjam teori-teori matang lintas bidang lintas peradaban, dengan sudut pandang utama yang mengarah pada media massa sebagai suatu fenomena. Dan paradigma ilmiah terpadu yang penulis coba hadirkan.
Usaha ini berangkat dari kepercayaan penulis bahwa media massa bukan segalanya. Ia berasal dari dialektika ilmiah dan inovasi empiris, karenanya ia sebenarnya tunduk pada otoritas ilmiah yang melahirkannya. Sebagai media, ia hanya merupakan fasilitator tersampainya informasi kepada khalayak ramai. Ia sebenarnya tunduk pada analisis-analisis kemanusiaan, baik yang berkaitan dengan subjek pembuat berita, maupun yang berkaitan dengan objek penerima berita—tanpa fenomena subjek-objek tersebut, sebagai asal-usul proses komunikasi, media bukan apa-apa. Manusia tetap memainkan peran penting dalam semua inovasi yang diciptakannya. Media juga tunduk pada fenomena-fenomena sekitar, sebagai konteks pertimbangan. Yakni konteks sosial, ekonomi, politik, penemuan ilmiah, budaya, peradaban, bahkan tradisi keagamaan. Karenanya menjadi tidak mengherankan ia bisa dianalisis dengan beragam sudut pandang di bidangnya masing-masing, seperti pernah disinggung di atas.
Walaupun demikian, penulis batasi analisis ini pada model-model wacana yang menurut penulis bersentuhan langsung secara epistemologis dengan fenomena propaganda media—secara ringkas, tentu saja. Penulis juga tambahkan model wacana yang tak terduga, sebagai semacam kritik membangun atas nama nilai ilmiah fenomena media massa yang lebih baik.
1. Wacana Ilmu Alat dan Jiwa Kritis Bertanggungjawab
Ilmu alat adalah sebutan untuk sejumlah ilmu yang berfungsi sebagai perangkat analisis untuk teks-teks keagamaan dan kemanusiaan. Dan ilmu alat yang terkuat, termapan, terlengkap, terpadu, menurut hemat penulis, adalah ilmu-ilmu alat yang berkembang dalam lingkup tradisi keislaman. Oleh karena itu, penulis memilihnya dalam proyek esai ini.[3]
Yang penulis maksud dengan ilmu alat ini, yakni seperti ilmu bahasa-sastra, ilmu hadits, manthiq, ushul fiqih, maqashid syariah, juga kalam (dengan pendekatan tertentu). Akan kita uraikan secara ringkas dan global wacana ilmu-ilmu alat tersebut. Tentu saja dengan mengarahkan pada kebutuhan kita akan solusi anti-propaganda media, seperti yang penulis maksudkan.
Wacana ilmu alat dalam Islam ternyata tidak hanya berguna untuk analisis teks Al-Quran dan Sunnah, serta kitab-kitab turâts.Namun juga berguna untuk analisis teks-teks kemanusiaan—teks media salah satunya. Wacana ini memberi ketelitian memahami teks, menyimpulkannya, mengkritisinya, mencarikan solusi untuknya. Ia juga memberi gambaran yang komprehensif untuk itu, yang mana kembali pada paradigma besar kesatuan ilmu-ilmu. Artinya, menempatkan posisi tiap ilmu sebagaimana mestinya, memberinya tujuan akhir, dan mewarnainya dengan kenyataan tak terbantahkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan. Pendeknya, ia memberi dimensi kemanusiaan, sekaligus dimensi ketuhanan, yang sewajarnya dan seharusnya.
Misalnya, ilmu hadits memberikan wacana soal keaslian, keotentikan teks yang disampaikan oleh Rasul saw. dengan pendekatan penyelidikan sanad atau mata rantai para perawinya. Di luar wilayah teks Al-Quran dan Sunnah, teori-teori ilmu hadits--dengan beberapa penyesuaian dan reduksi epistemologis—bisa memberi kesadaran akan nilai penting pembuat berita di media. Pembuat berita dianggap sebagai unsur primer (begitu juga isi berita) dalam penerimaan suatu kabar media. Berita dengan jurnalis bereputasi buruk, tidak sesuai dengan keahliannya, dengan demikian tentu harus dicurigai kebenarannya.
Sementara ushul fiqih, maqashid syariah, kalam, manthiq, juga bahasa-sastra, memberi dimensi kesadaran pada teks itu sendiri dan tujuan akhir teks itu berpulang. Dengan modifikasi selazimnya, ilmu-ilmu tersebut mampu menumbuhkan kesadaran rasional dalam menerima sebuah berita dari media. Hal-hal seputar gagasan umum, gagasan khusus, abstraksi, verifikasi, tujuan akhir teks dari suatu media akan didapatkan, sehingga penerimaan sebuah berita atau opini menjadi lebih rasional dan bertanggungjawab. Seseorang dengan wacana ilmu alat tersebut akan tidak mudah ketipu permainan logika, permainan bahasa, permainan maksud dan tujuan yang dipamerkan secara diam-diam oleh media massa.
2. Wacana Ilmu Sosial Terpadu dan Kesadaran Konteks Komprehensif
Wacana ilmu sosial memberi kesadaran pentingnya konteks sosial dalam memandang suatu fenomena kehidpuan. Ia melihatnya tidak dari sudut pandang abstrak, universal. Ia lebih suka memandangnya dari sudut pandang konkret, nyata, realistis, partikular yang terhubung dengan universalitas. Karena itu analisis yang digunakan berbeda dengan analisis filsafat bekerja—meskipun ilmu sosial berhutang banyak dari pandangan-pandangan filosofis.
Wacana model ini berangkat dari pengamatan terhadap pola manusa berinteraksi dengan sesamanya, antar individu, antar kelompok, berinteraksi juga dengan lingkungan tempat ia hidup, dari sisi geografis, topografis, iklim, musim, konteks sosial, ekonomi, politik, budaya, peradaban, dlsb. Ia memandang konteks-konteks tersebut sebagai suatu kelaziman manusia hidup di dunia ini. Dengan begitu, ilmu-ilmu yang berkembang dalam naungan epistemologi ilmu sosial sangat banyak sekali, dengan klasifikasi yang beragam pula, yang satu sama lain tak jarang terjadi dialektika dan pertempuran epistemologis. Untuk menyebut contoh yang relevan dan terpenting dalam kaitannya dengan media adalah sosiologi, ekonomi, politik, psikologi sosial.
Wacana ilmu-ilmu tersebut mampu memberi paradigma menarik dalam memandang fenomena propaganda media massa. Ia bisa memandang fenomena propaganda di media dengan kacamata rasional yang sesuai dengan konteks sosialnya. Ia mengidentifikasi jaringan-jaringan tempat propaganda itu berasal, tumbuh, berdialektika, dan meledak sebagai suatu propaganda perang. Ia menelusuri konteks sosial propaganda media itu muncul, bagaimana jaringan permodalannya, kepentingan politik yang bermain, gambaran psikologi sosial para pelakunya dan media massa itu sendiri. Dengan begitu penerimaan seorang yang ahli ilmu sosial terhadap suatu propaganda menjadi terukur, terkontrol, kontekstual, dan tidak bombastis.
Misalnya kita pakai teori-teori sosiologis Ibn Khaldun dalam kitab abadinya, Al-Muqaddimah.Seperti asy-syakk wa at-tamhîsh, at-tasyakhkhush al-mâddîy, tahkîm al-ushûl al-'âdah wa thabî'ah al-'umrân, al-qiyâs bi-asy-syâhid wa bi-al-ghâib, as-sabr wa at-taqsîm, at-ta'mîm al-hadzr.[4]
Dengan pandangan sosiologis Ibn Khaldun di atas, sesorang akan lebih rasional, dan kritis dalam memandang fenomena sosial. Ia akan lebih dulu menverifikasi kebenaran suatu berita dan fenomena, yang terkait dengan tempat, kemiliteran, geografis, nasab (asy-syakk wa at-tamhîsh). Ia juga akan menyaratkan kebenaran suatu berita dengan syarat-syarat sosial yang mengharuskan bersifat materi (at-tasyakhkhush al-mâddîy). Ia juga akan mempertimbangkan adat-istiadat dan peradaban tempat berlangsungnya suatu berita (tahkîm al-ushûl al-'âdah wa thabî'ah al-'umrân). Ia akan mempertimbangkan perubahan sosial masa kini dan masa lalu (al-qiyâs bi-asy-syâhid wa bi-al-ghâib). Ia juga akan menganalisis berita dengan teliti, satu per satu (as-sabr wa at-taqsîm). Ia juga akan menghindari generalisasi yang fatal yang berujung pada kesalahan persepsi (at-ta'mîm al-hadzr).
Penutup
Itulah usaha penulis dalam rangka meminimalisir dan mengantisipasi propaganda di media. Kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa fenomena propaganda media bisa dilawan. Ia bisa dihentikan dengan otoritas keilmuan sebagai buah perkembangan budaya dan peradaban. Dan kebohongan pada dasarnya rapuh. Ia pasti akan roboh, walaupun dipropagandakan semassif mungkin. Otoritas keilmuan yang akan berbicara banyak di masa depan!
Semoga bermanfaat![]
Husein-Kairo, 29 Maret 2016
Daftar Pustaka
As-Sa’ati, Hasan, ‘Ilm al-Ijtimâ’ al-Khaldûnîy Qawâ’id al-Manhaj, Kairo: Majlis al-A’la li-ats-Tsaqafah, 2006, cet. I.
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, Kairo: Kitab asy-Sya’b, t.c., t.t.
Rasyti, Jihan Ahmad, Al-Usus al-'Ilmiyyah li-Nazhariyyat al-I'lam,Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1978, t.c.
[1] Lihat uraian lebih luasnya di Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, Kairo: Kitab asy-Sya’b, t.c., t.t.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H