Media dan Kemanusiaan
Koreksi ilmiah di atas kembali mengingatkan kita bahwa media massa, secanggih apapun, ia berporos dan berhenti kepada manusia. Ia bagian dari kehidupan manusia. Pengembangannya harus bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan.
Sebagai fenomena kemanusiaan, media menemukan proses komunikasi dari manusia sejak masa primitif. Proses ini mengingatkan kita pada fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Oleh Aristoteles, proses komunikasi manusia yang niscaya ini dianggap selalu memiliki tujuan. Yakni mempengaruhi atau meyakinkan orang lain. Ia mendefinisikan komunikasi sebagai usaha menemukan semua sarana (media) yang tersedia untuk meyakinkan atau mempengaruhi. Karena konteks Athena kala itu sangat terbatas, maka sarana meyakinkan itu berupa ucapan tatap muka langsung.[3] Belum ada media elektronik saat itu, tentu saja.
Perkembangan selanjutnya ketika media begitu canggih dan kompleks, seperti diceritakan singkat di atas; ketika media menjadi semakin artifisial, semakin berjarak dari tatap muka langsung dan merambah seluruh sudut kehidupan di setiap detiknya, akankah media massa kehilangan kemanusiaannya? Akankah ia abai nilai fitrahnya berupa komunikasi langsung? Dengan propaganda yang ia ciptakan, akankah ia kembali sadar, dan netral, untuk kemudian berpihak kepada kemanusiaan? Akankah ia masih bisa diharapkan mampu mengabarkan kebenaran?
Tentu kita berharap yang terbaik dan yang paling maslahat!
Strategi Ilmiah Anti-Propaganda Media
Tiba saatnya kita memasuki inti uraian dalam esai ini. Topik yang akan diketengahkan seputar ide-ide konkret bagaimana meminimalisir dan mengantisipasi propaganda media. Usaha ini tentu saja akan meminjam teori-teori matang lintas bidang lintas peradaban, dengan sudut pandang utama yang mengarah pada media massa sebagai suatu fenomena. Dan paradigma ilmiah terpadu yang penulis coba hadirkan.
Usaha ini berangkat dari kepercayaan penulis bahwa media massa bukan segalanya. Ia berasal dari dialektika ilmiah dan inovasi empiris, karenanya ia sebenarnya tunduk pada otoritas ilmiah yang melahirkannya. Sebagai media, ia hanya merupakan fasilitator tersampainya informasi kepada khalayak ramai. Ia sebenarnya tunduk pada analisis-analisis kemanusiaan, baik yang berkaitan dengan subjek pembuat berita,  maupun yang berkaitan dengan objek penerima berita—tanpa fenomena subjek-objek tersebut, sebagai asal-usul proses komunikasi, media bukan apa-apa. Manusia tetap memainkan peran penting dalam semua inovasi yang diciptakannya. Media juga tunduk pada fenomena-fenomena sekitar, sebagai konteks pertimbangan. Yakni konteks sosial, ekonomi, politik, penemuan ilmiah, budaya, peradaban, bahkan tradisi keagamaan. Karenanya menjadi tidak mengherankan ia bisa dianalisis dengan beragam sudut pandang di bidangnya masing-masing, seperti pernah disinggung di atas.
Walaupun demikian, penulis batasi analisis ini pada model-model wacana yang menurut penulis  bersentuhan langsung secara epistemologis dengan fenomena propaganda media—secara ringkas, tentu saja. Penulis juga tambahkan model wacana yang tak terduga, sebagai semacam kritik membangun atas nama nilai ilmiah fenomena media massa yang lebih baik.
      1. Wacana Ilmu Alat dan Jiwa Kritis Bertanggungjawab
Ilmu alat adalah sebutan untuk sejumlah ilmu yang berfungsi sebagai perangkat analisis untuk teks-teks keagamaan dan kemanusiaan. Dan ilmu alat yang terkuat, termapan, terlengkap, terpadu, menurut hemat penulis, adalah ilmu-ilmu alat yang berkembang dalam lingkup tradisi keislaman. Oleh karena itu, penulis memilihnya dalam proyek esai ini.[3]