Yang penulis maksud dengan ilmu alat ini, yakni seperti ilmu bahasa-sastra, ilmu hadits, manthiq, ushul fiqih, maqashid syariah, juga kalam (dengan pendekatan tertentu). Akan kita uraikan secara ringkas dan global wacana ilmu-ilmu alat tersebut. Tentu saja dengan mengarahkan pada kebutuhan kita akan solusi anti-propaganda media, seperti yang penulis maksudkan.
Wacana ilmu alat dalam Islam ternyata tidak hanya berguna untuk analisis teks Al-Quran dan Sunnah, serta kitab-kitab turâts.Namun juga berguna untuk analisis teks-teks kemanusiaan—teks media salah satunya. Wacana ini memberi ketelitian memahami teks, menyimpulkannya, mengkritisinya, mencarikan solusi untuknya. Ia juga memberi gambaran yang komprehensif untuk itu, yang mana kembali pada paradigma besar kesatuan ilmu-ilmu. Artinya, menempatkan posisi tiap ilmu sebagaimana mestinya, memberinya tujuan akhir, dan mewarnainya dengan kenyataan tak terbantahkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan. Pendeknya, ia memberi dimensi kemanusiaan, sekaligus dimensi ketuhanan, yang sewajarnya dan seharusnya.
Misalnya, ilmu hadits memberikan wacana soal keaslian, keotentikan teks yang disampaikan oleh Rasul saw. dengan pendekatan penyelidikan sanad atau mata rantai para perawinya. Di luar wilayah teks Al-Quran dan Sunnah, teori-teori ilmu hadits--dengan beberapa penyesuaian dan reduksi epistemologis—bisa memberi kesadaran akan nilai penting pembuat berita di media. Pembuat berita dianggap sebagai unsur primer (begitu juga isi berita) dalam penerimaan suatu kabar media. Berita dengan jurnalis bereputasi buruk, tidak sesuai dengan keahliannya, dengan demikian tentu harus dicurigai kebenarannya.
Sementara ushul fiqih, maqashid syariah, kalam, manthiq, juga bahasa-sastra, memberi dimensi kesadaran pada teks itu sendiri dan tujuan akhir teks itu berpulang. Dengan modifikasi selazimnya, ilmu-ilmu tersebut mampu menumbuhkan kesadaran rasional dalam menerima sebuah berita dari media. Hal-hal seputar gagasan umum, gagasan khusus, abstraksi, verifikasi, tujuan akhir teks dari suatu media akan didapatkan, sehingga penerimaan sebuah berita atau opini menjadi lebih rasional dan bertanggungjawab. Seseorang dengan wacana ilmu alat tersebut akan tidak mudah ketipu permainan logika, permainan bahasa, permainan maksud dan tujuan yang dipamerkan secara diam-diam oleh media massa.
      2. Wacana Ilmu Sosial Terpadu dan Kesadaran Konteks Komprehensif
Wacana ilmu sosial memberi kesadaran pentingnya konteks sosial dalam memandang suatu fenomena kehidpuan. Ia melihatnya tidak dari sudut pandang abstrak, universal. Ia lebih suka memandangnya dari sudut pandang konkret, nyata, realistis, partikular yang terhubung dengan universalitas. Karena itu analisis yang digunakan berbeda dengan analisis filsafat bekerja—meskipun ilmu sosial berhutang banyak dari pandangan-pandangan filosofis.
Wacana model ini berangkat dari pengamatan terhadap pola manusa berinteraksi dengan sesamanya, antar individu, antar kelompok, berinteraksi juga dengan lingkungan tempat ia hidup, dari sisi geografis, topografis, iklim, musim, konteks sosial, ekonomi, politik, budaya, peradaban, dlsb. Ia memandang konteks-konteks tersebut sebagai suatu kelaziman manusia hidup di dunia ini. Dengan begitu, ilmu-ilmu yang berkembang dalam naungan epistemologi ilmu sosial sangat banyak sekali, dengan klasifikasi yang beragam pula, yang satu sama lain tak jarang terjadi dialektika dan pertempuran epistemologis. Untuk menyebut contoh yang relevan dan terpenting dalam kaitannya dengan media adalah sosiologi, ekonomi, politik, psikologi sosial.
Wacana ilmu-ilmu tersebut mampu memberi paradigma menarik dalam memandang fenomena propaganda media massa. Ia bisa memandang fenomena propaganda di media dengan kacamata rasional yang sesuai dengan konteks sosialnya. Ia mengidentifikasi jaringan-jaringan tempat propaganda itu berasal, tumbuh, berdialektika, dan meledak sebagai suatu propaganda perang. Ia menelusuri konteks sosial propaganda media itu muncul, bagaimana jaringan permodalannya, kepentingan politik yang bermain, gambaran psikologi sosial para pelakunya dan media massa itu sendiri. Dengan begitu penerimaan seorang yang ahli ilmu sosial terhadap suatu propaganda menjadi terukur, terkontrol, kontekstual, dan tidak bombastis.
Misalnya kita pakai teori-teori sosiologis Ibn Khaldun dalam kitab abadinya, Al-Muqaddimah.Seperti asy-syakk wa at-tamhîsh, at-tasyakhkhush al-mâddîy, tahkîm al-ushûl al-'âdah wa thabî'ah al-'umrân, al-qiyâs bi-asy-syâhid wa bi-al-ghâib, as-sabr wa at-taqsîm, at-ta'mîm al-hadzr.[4]
Dengan pandangan sosiologis Ibn Khaldun di atas, sesorang akan lebih rasional, dan kritis dalam memandang fenomena sosial. Ia akan lebih dulu menverifikasi kebenaran suatu berita dan fenomena, yang terkait dengan tempat, kemiliteran, geografis, nasab (asy-syakk wa at-tamhîsh). Ia juga akan menyaratkan kebenaran suatu berita dengan syarat-syarat sosial yang mengharuskan bersifat materi (at-tasyakhkhush al-mâddîy). Ia juga akan mempertimbangkan adat-istiadat dan peradaban tempat berlangsungnya suatu berita (tahkîm al-ushûl al-'âdah wa thabî'ah al-'umrân). Ia akan mempertimbangkan perubahan sosial masa kini dan masa lalu (al-qiyâs bi-asy-syâhid wa bi-al-ghâib). Ia juga akan menganalisis berita dengan teliti, satu per satu (as-sabr wa at-taqsîm). Ia juga akan menghindari generalisasi yang fatal yang berujung pada kesalahan persepsi (at-ta'mîm al-hadzr).
Penutup