Burung-burung gereja menonton kami dari lapangan jaman bahela, mereka menyanyikan melodi-melodi tak ber-irama lalu terbang jauh ketika jaket hitam melayang.
"Bapak mau pulang dulu ya, nanti malam bapak kesini lagi dan kita ngobrol-ngobrol"
Pembicaraan kami tak panjang, masih dikalahkan rasanya sepatu panser menempel di bibir. gwe tersenyum dengan wajah seperti anak kucing meminta kepala ikan.
1 hari kemudian, gwe dan bulik harus segera pamit kembali ke Jogja. Sebenarnya enggan untuk jauh darimu 'engkong', tapi di hati kita masih merasakan kita berbeda.
"Terimakasih (Alm) beliau Yatno, Devi, tetangga-tetangga, dan sahabat-sahabat baru yang sudah ber-pesta besar menyambut kedatangan kami. Ya... semoga kita akan jumpa lagi di lain hari".
"Hati-hati Dayat... Oh iya, surat cinta kemarin sebenarnya dari (...Lupa namanya...) bukan dari gue", Ucap Devi.
Langkah gwe dan bulik Rum mulai jauh dari tempat kemarin ber-pesta.
Namun saat itu bertepatan lagi ketika mikrolet sepepu sang raja jalanan (Kopaja) menghentikan putaran rodanya tepat depan kami jl. Daan Mogot-Kalideres. Abang supir sedikit beruban rambutnya, lagu itu nyaring untuk menyelinap ke memori ini.
'Teng-teng-tong-teng..... teng-teng-tong-teng..... (.........) Tapi tak sepatah kata~yang bisa ter-ucap..... hanya ingatan yang ada di kepala..., hari berganti angin tetap berhembus..., cuaca berubah daun-daun tetap utuh...'
Notes Dayat, http://notesdayat.blogspot.co.id/2016/09/meaku-engkong-motheribu-bagian-2.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H