Tangi turu ngadek metenteng, ketemu tonggo wong-wongane ketok sumeh.
Esuk-esuk ngombe teh adepane telo goreng, enak benerrrr delok bapak leyeh-leyeh... Jebul nyeleh.
Pantun ini dalam dan kasar, mengingat bagaimana keadaan para petani yang semakin merengek seperti bayi 'Nandor telo umur pitu wulan lagi iso di bedol, bar di dol regane isih kalah karo rego uyah. Lapo sajeke urip arep mangan lawuh uyah!', begitu suara yang tersaring gendang telingaku ketika beberapa petani duduk dibawah pohon usai 'tandur' padi.
[Bagian 2]
"Kamu Hidayatullah?", Tanya seorang pria berambut uban.
"Iya... Anda siapa? Apakah anda...."
"Saya bapak kamu", Nada suara pelan melirih jawabnya.
Bagaimana bisa seusia gue memanggil bapak kandung dengan panggilan Anda? Kami berdua sama-sama saling terdiam, gue tundukkan pandangan gue ke bawah lalu gue tatap sebentar wajah yang mengaku dia adalah 'engkong' gwe untuk memastikan apakah ada kemiripan diantara kami? Lucu sekali rasanya dalam hati dan pikir gwe, 'Kalau bener bapak gwe pasti kita ada miripnya'.
"Maafkan bapak. Dulu kamu masih sangat kecil, masih dalam gendongan... Menangis, sakit, dan dulu kamu bukan disini tapi di rumah kontrakan pak Djanan", Ceritanya pelan sambil menunjukkan sketsa wajahnya kepada langit biru di siang itu.
Gwe hanya diem, belum tau ingin bicara apa. Yang gwe rasain saat itu seperti ada sepatu panser menempel di bibir gwe; kaku dan keras.
"Dayat sengaja datang ke Jakarta lagi sama bulik. Karena cuma bulik dan suaminya yang mau jujur sama Dayat kalau bapak masih ada", Pelan kataku.