Mohon tunggu...
Dayat H.D Author/Asisten Author (MUSASHI SAMURAI)
Dayat H.D Author/Asisten Author (MUSASHI SAMURAI) Mohon Tunggu... Hair stylist -

Hair stylist, Vidio maker, Blogger author [notesdayat.blogspot.com], Asisten author #Wijasasmaya #Misssusanhansen

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Me adalah Aku, Father (?), Mother adalah Ibu

20 September 2016   15:43 Diperbarui: 20 September 2016   15:57 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[Bagian 1]

Di sudut jendela itu (jendela kamarku) sering sekali mata ini memperhatikan isi dalam bingkai kecil (itu) dari tempatku tidur, berdiri, menulis, dan seterusnya.

Dari sini aku mulai kembali sebuah awal cerita siapa diriku...

Tak lelah jarang ku balingkan wajahku dari depan ke belakang, ada apa di sana, dan urat-urat leher ini terasa kaku, dada sesak. Bibir bersenyum-lah dengan hati yang tegar.

 Kampoeng Padangan, Daerah Istimewa Yogyakarta, 2007.

Gak kerasa waktu cepat berlalu ya? Tetapi aku masih bisa berjalan-jalan di masa lalu.

Desa Padangan, disini simbok (Almarhumah Sosro) dilahirkan, memulai sebuah kehidupan bersama dinginnya angin dari sebuah alam pegunungan. Dan aku dibesarkan dengannya disini, dikenalkan dengan ayam-ayam, sapi, hutan, padi, bebatuan, dan banyak lagi.

 "Le... sangune neng gon mejo. Mengko nak wes muleh sekolah sapine di kombor nganggo dedak" (Le... uang sakunya di meja. Nanti kalau udah pulang sekolah sapinya dikasih minum pakai dedak: gilingan kulit padi yang dilembutkan)

 Dia (Simbok) adalah wanita yang lama menjanda di tinggalkan suaminya menikahi perempuan lain di Sumatera. Merumput, menanam padi, menyawah, pergi ke pasar, adalah rutinitasnya. Dia sering tersenyum dan mudah berbagi sesuatu pada orang lain. Dia selalu sayang dengan saudara-saudara dan tetangganya.

Dia tak hanya seperti ibu bagiku tetapi juga malaikatku. Tak jarang dia marah padaku karena ulahku yang sering membuatnya kesal, suka bermain dengan saudara atau teman-temanku sampai lupa waktu, malas bersih-bersih kalau gak di teriakin, setiap hari aku ganti pakaian tak cukup 3 kali, bahkan aku pernah dimarahi nya sampai kakiku dipecut menggunakan ranting kayu yang lurus dan sangat kecil. Rasanya sangat sakit dan memar, tapi tak sampai membekas ke hatiku.

"Wes sore dolan teros! Mbangane dolan mending seniau opo ngiwangi ngaret (Udah sore main terus! Dari pada main lebih baik belajar atau bantuin ngerumput", Greget simbok padaku dengan membawa pecutan itu.

"Opo to mbokde... Jenenge yo isih bocah urung ngerti wayahe sing mbok karepke. Sing sabar to... (Apaan si budhe, Namanya juga masih anak-anak belum tau waktunya apa yang diharapkan. Yang sabar dong...)", Kata embah Kinem (Embah atau Mbok kinem, saudara simbok yang rumahnya 15 langkah dari gubuk kami. Embah kinem hampir selalu ada tiba-tiba setiap aku dimarahi simbok dan kadang dia yang menenangkan histeris tangisku).

Beberapa tahun kemudian.

Kelas 2 SMP, aku mulai berfikir siapa ayahku dan dimana sekarang. Pemikiran itu muncul sebab semenjak aku masuk sekolah SMP, teman-temanku sering berbicara tentang ayahnya yang berprofesi sebagai pengusaha, petani, bandar judi, dan banyak lagi, dan beberapa teman baruku sering tanya ayahmu dimana?

Usai pulang sekolah aku bertanya-tanya dengan beberapa tetanggaku siapa nama ayahku, dan seperti apa orangnya, ada yang bilang ayahku sudah meninggal, ada pula yang bilang ayahku pergi meninggalkan aku untuk menikahi perempuan lain di Jakarta tempat kelahiran ku.

"Mbok... Bapak tau rene ngindangi aku Ra? (Mbok... Bapak pernah kesini njenguk aku gak?)", Tanyaku pada simbok sambil meminum teh hangat kesukaan simbok.

"Bapakmu ki ra tau ngurusi kowe. Seko bayi abang kowe wes ditinggal (Bapakmu tuh gak pernah ngurusin kamu. Dari kamu masih bayi merah kamu di tinggalkan)", Jawab simbok yang memegang gelas berisi teh sambil meniup bambu berlubang untuk menyalakan api di dapur cerita itu.

Beberapa hari setelah itu.

Aku mulai sering menyendiri di kamar, meskipun banyak teman-teman menungguku di teras depan rumah sambil bermain 'umbul' gambar (Permainan gambar yang di taruh di telapak tangan lalu di adu dan lalu gambar jatuh, dan gambar yang jatuh kebawah dengan menunjukkan bagian gambar kosong dia yang kalah yang masih menunjukkan gambar asli dia yang menang. Kalau sama-sama artinya seri).

Hari itu hari sabtu malam minggu dan artinya aku dibolehkan bermain untuk istirahat belajar sehari oleh simbok-ku.

 Satu minggu kemudian, aku dan bulik Rum (Ade kandung mama) datang ke Jakarta seingatku tanggal 4 Maret karena kami menginap dirumah saudara Utan Jati (Daan Mogot) selama kurang lebih 5 hari dan gak sangka kalau ulang tahunku datang di 6 maret. Saudaraku perempuan Devi dan sahabat-sahabatnya (wanita semua) datang bertemu aku, mereka sangat ramai, cantik-cantik, putih, dan feminim. Ucapan selamat ulangtahun berdatangan, juga perkataan kamu mirip banget sama bapak kamu, hidungnya, matanya, pipinya. Gayanya juga. Tetangga-tetangga juga berdatangan untuk menemui ku.

 "Wadoooh.... kog tamune soyo akeh. Aku isin tenan neng arep ndelik nyandi" Kata itu terus bermunculan dalam benak ku.

"Eh bang dulloh! Ngapain lu didalam mulu... Keluar sini nape", Sahut seorang perempuan setengah tua.

"Hahahaha...."
Suara-suara ketawa itu bermunculan dari teras depan.

 Malu banget nih muka sampai ku tutupi dengan topi sambil tiduran depan tv ruang tamu yang berukuran sangat kecil (layaknya sebuah kontrakan).

Aku bangun dan berjalan keluar menemui mereka.

Masih sangat terngiang di telingaku lagu ini ketika itu 'Aku mentari... tapi tak menghangatkanmu... Aku pelangi, tak memberi warna di hidupmu....' ya lagu itu... Sampai detik ini masih aku rasakan sebagai soundtrack-nya langkah kakiku menuju teras depan menemui mereka dan bercanda tertawa bersama.

*** Sekarang aku merasakan lagu itu, lagu yang mengiringi kisah mamaku tentang cintanya, dan aku menyesakkan dada ini. I love you together mom***

 

[Bersambung]

http://notesdayat.blogspot.co.id/2016/09/me-aku-father-mother-ibu.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun