Mohon tunggu...
Norpikriadi
Norpikriadi Mohon Tunggu... Guru - Penulis lepas

Hanya seorang yang terus mencari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

24 Tahun Reformasi, Menimbang Nilai Intelektualitas dalam Gerakan Mahasiswa

20 Mei 2022   22:21 Diperbarui: 28 Juni 2022   09:35 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Refleksi 24 Tahun Gerakan Mahasiswa '98)

"... di Orde Lama kita peroleh yang namanya kebebasan tapi kesejahteraan tidak... di Orde Baru kita peroleh kebebasan, kesejahteraan kita punya. Hari ini yang ingin kita tanyakan, apakah kita peroleh kesejahteraan? Apakah kita peroleh kebebasan?"

Pernyataan dan pertanyaan retoris itu diajukan Koordinator BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Seluruh Indonesia, dalam Hotroom, sebuah acara talkshow Metro TV yang dire-upload di kanal youtube tv tersebut pada 14 April 2022.

Narasi itu ia bangun sebagai pijakan argumen untuk menjawab pertanyaan host Hotman Paris, tentang tujuan aksi demo yang digelar mahasiswa pada Senin, 11 April di depan Istana Merdeka yang kemudian bergeser ke depan Gedung DPR/MPR.

Fokus tulisan ini tentang adanya kebebasan pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Menjadi menarik manakala itu dinyatakan koordinator aksi yang notabene adalah tokoh mahasiswa "nomor satu" pada peristiwa terkait. 

Predikat mahasiswa sendiri membawa "beban sejarah" dalam konteks perubahan sosial Indonesia. Sebab, harus diakui kelompok terpelajar ini pada kenyataannya selalu memainkan peran penting dalam setiap perubahan fundamental di negeri ini.

Adalah relevan apabila aksi yang ia koordinasi itu menjadi bahan refleksi, mengingat hari ini, Jum'at 20 Mei 2022, bertepatan dengan puncak gerakan mahasiswa angkatan 1998. 

Pada tanggal yang sama, 24 tahun lalu mahasiswa mampu menyudahi 32 tahun rezim otoriter Orde Baru. Hari itu, dan juga hari ini, bertepatan pula dengan perayaan Hari Kebangkitan Nasional.

Jika diletakkan di ranah sosio-politis, status mahasiswa mencitrakan nilai intelektualitas, setidaknya jika dibandingkan dengan orang yang tidak pernah makan bangku sekolahan. 

Dari sisi idealisme, mereka relatif masih "murni" jika dibandingkan dengan kalangan terpelajar lain yang daya kritisnya terkerangkeng oleh nikmatnya posisi-posisi mapan. 

Sebagai orang sekolahan (tingkat tinggi pula), mahasiswa dianggap makhluk yang punya daya nalar hebat, sikap kritis, kepedulian sosial, keberanian, dan tentu saja wawasan lebih luas. 

Adagium populer bagi aktivis mahasiswa; idealisme adalah kemewahan terakhir. Sebab itulah, suara mahasiswa cenderung selalu "lebih bergema" ketika menyuarakan sebuah aspirasi (yang seringkali mengatasnamakan rakyat).

Untuk memperoleh predikat itu, aktifis mahasiswa biasanya menempa diri dengan berbagai kegiatan, seperti aktif di organisasi-organisasi kampus. Alih-alih hanya menyerap perkuliahan, mereka biasanya juga (bahkan lebih sering?) melahap buku-buku dan lalu membedahnya dengan sesama aktifis atau dengan publik yang lebih luas. 

"Rakus" akan informasi dan pengetahuan baru, rajin menggelar seminar dengan pembicara berbobot, berdiskusi, dan melakukan hal-hal relevan lain. Semua itu kemudian menjadikan mahasiswa dikenal sebagai manusia tercerahkan. 

Hal itu pula yang memampukan mereka secara produktif menulis di media massa untuk menuangkan gagasan-gagasan progresif. Lalu, dalam banyak kesempatan tampillah orang-orang muda ini sebagai orator hebat di mimbar demi mimbar demonstrasi.

Kendati demikian, mahasiswa tetaplah insan muda dengan segala romantismenya. Ini misalnya bisa kita temukan pada narasi yang dibangun aktifis mahasiswa tahun 1960-an tentang tiga hal yang mewarnai hidup mereka, yaitu: buku, pesta, dan cinta.

Hal ini relate dengan trend gaya hidup anak muda dunia era itu yang gandrung kebebasan dan anti kemapanan. Apapun halnya, Mahasiswa Indonesia angkatan '66 dengan modal intelektualitasnya secara riil sukses meruntuhkan rezim Orde Lama yang di mata mereka tak lebih sebagai sebuah kediktatoran.

Bagaimana mungkin sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan sejak Dekrit 5 Juli 1959 bisa dikatakan sebuah demokrasi, jika kebebasan pers sebagai simbol kebebasan berbicara dipasung?

Bagaimana dikatakan demokratis, bila Parlemen (DPR dan Konstituante) hasil pemilu demokratis empat tahun sebelumnya, dibubarkan dan diganti dengan parlemen yang anggotanya ditunjuk penguasa? 

Bagaimana dikatakan demokratis, jika partai yang sebelumnya termasuk partai pemenang pemilu (yang artinya didukung rakyat banyak) dibubarkan secara sepihak seperti yang dialami Masyumi? 

Belum lagi tentang adanya pemenjaraan tokoh, mulai dari aktifis politik, ulama, dan bahkan sampai seniman, tanpa melalui proses pengadilan? Dan, bagaimana dikatakan demokratis jika selama kurun waktu Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tak pernah diselenggarakan pemilu?

Lalu di mana "kebebasan" yang katanya kita peroleh dari Orde Lama seperti yang dikatakan tokoh mahasiswa kekinian pada awal tulisan?

Di sisi lain, dengan bekal intelektualitas yang sama, mahasiswa angkatan '98 juga sukses meruntuhkan panggung Orde Baru yang berdiri kokoh begitu lama. 

Sekalipun didoktrinkan sebagai upaya untuk memurnikan pelaksanaan Pancasila dan UUD '45 secara konsekuen, namun dalam realitasnya Rezim Orba sama (bahkan mungkin lebih) otoriter daripada rezim sebelumnya.

Bagaimana Demokrasi Pancasila ala Orba dikatakan demokratis, jika kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, direduksi melalui kebijakan (yang sama sekali tak bijak) fusi atau penyederhanaan partai politik, di mana hanya boleh ada dua partai dan satu kekuatan politik yang tak mau disebut partai? 

Bagaimana dikatakan demokratis, jika dalam setiap pemilu dan proses-proses politik berikutnya terjadi penganak-emasan salah satu kontestan sementara dua yang lain hanya "boleh hidup" tapi tidak boleh besar?

Belum lagi parlemen, bukan hanya diisi oleh wakil-wakil rakyat dari "pemilu rekayasa", melainkan juga "dijatah" untuk fraksi yang merepresentasikan pula dari kekuatan rezim dengan jumlah kursi siginifikan.

Bagaimana dikatakan demokratis, jika pers hanya boleh memberitakan "nyanyian merdu pembangunan", sementara nada sumbang pasti akan berhadapan dengan pembredelan? Belum lagi adanya penculikan dan pembunuhan aktifis buruh, aktifis pro demokrasi, penghilangan nyawa, berbagai kasus pelanggaran HAM di sana sini, dari waktu ke waktu sepanjang 32 tahun Orba berkuasa.

Kasus DOM Aceh, DOM Papua, Kasus Tanjung Priok terhadap umat Islam, Talang Sari, Petrus, Kasus Marsinah, Wiji Thukul, Wartawan Udin, dan masih akan sangat panjang daftarnya jika anda mau.  Berdasarkan investigasi serius, sebagian bahkan sudah menjadi laporan resmi Komnas HAM kendati tak kunjung ada penyelesaian hukum yang jelas.

Pada praktiknya, Demokrasi Pancasila ala Orde Baru tak lebih sebagai demokrasi semu, setali mata uang dengan penguasa sebelumnya.

Lalu, di mana relevansinya statemen: "di Orde Baru kita peroleh kebebasan," seperti yang dikatakan tokoh mahasiswa pada awal tulisan?

Sepertinya, koordinator gerakan mahasiswa kekinian itu, memang telah memenuhi berbagai kriteria seorang aktifis sebagaimana yang telah diungkapkan yaitu punya kepedulian sosial, kritis, dan pemberani dalam menyuarakan aspirasi. 

Tetapi soal intelektualitas nanti dulu. Penampilannya dalam acara talkshow tersebut membuktikan minimnya pengetahuan tentang perjalanan sejarah bangsanya sendiri. 

Segala argumentasinya, sudah barang tentu bukan hanya membuat geli narasumber lain (pejabat, politisi, dan akademisi) yang rata-rata mantan aktifis mahasiswa '98, akan tetapi bisa membuat prihatin publik Indonesia yang paham sejarah.

Memang belakangan ada selentingan "pembelaan", bahwa ketidaktahuan akan sejarah itu adalah hal wajar, mengingat sang koordinator aksi adalah Mahasiswa Matematika. Lha, apakah untuk jadi seorang aktifis itu harus seorang Mahasiswa Sejarah, atau FISIPOL?

Soekarno itu masa mudanya adalah mahasiswa teknik, tepatnya Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB), namun wawasan sejarah, sosial, dan politiknya di atas rata-rata. 

Budi Utomo yang tanggal pendiriannya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional itu, dirintis dan diprakarsai oleh para pelajar STOVIA (Sekolah Pendidikan dokter pribumi). Mereka contoh tentang betapa spesifikasi jurusan, bukanlah "penjara wawasan". Jadi orang eksak tak otomatis menghentikan gairah pemburuan ilmu untuk meluaskan cakrawala berpikir. 

Pada akhirnya sejarah membuktikan, mereka muncul sebagai kaum terpelajar dan menjadi aktifis menonjol di zamannya dalam memperjuangkan nasib rakyat dan membangkitkan bangsa dari keterpurukan. Fenomena serupa tentu juga jamak terjadi di era-era berikutnya, baik pada aktifis mahasiswa/pelajar angkatan '45, '66, maupun '98.

Pertanyaannya, mengapa hal itu--maaf---kurang terlihat pada tokoh aktifis mahasiswa di kekinian? Ketidaktahuan akan sejarah mengindikasikan tentang minimnya (untuk tidak mengatakan gagalnya) proses literasi bagi pembentukan intelektualitas generasi muda sekarang. 

Apakah fenomena ini sebagai output dari hasil tempaan diri yang tak lagi berupa rasa dahaga akan ilmu, dengan telaah mendalam pada buku-buku dan bacaan-bacaan lain?

Selaras napas zamannya, kaum muda sekarang tentu lebih banyak mengakses produk-produk internet yang serba instan nan menghibur, seperti konten-konten youtube, tiktok, instagram, facebook, twiter, dan media sosial lain. 

Pembentukan intelektualitas mereka sedikit banyaknya tentu juga dipengaruhi serbuan link berita atau artikel ala share-an di grup-grup WA. Rentan hoaks, dan tanpa ampun kerap "mengkorup" kebenaran dan obyektifitas. Ironisnya, informasi sejarah pun kerap tampil dalam format seperti ini.

Jika "kurangnya" aspek intelektualitas, khususnya dalam hal pemahaman sejarah, merepresentasikan kondisi mahasiswa secara umum, sungguh ini sesuatu yang patut kita resahkan. Betapa tidak? Sebab, merekalah pengambil kendali kepemimpinan bangsa kita di masa depan. 

Akankah bab-bab sejarah kita nantinya akan mereka tulis dan kemudian diwariskan ke generasi selanjutnya dalam versi berbeda? Mudah-mudahan jangan seperti itu. Kita tetap percaya, kaum muda kita masih banyak yang serius mempelajari sejarah secara betul. Hanya saja, mereka tak tampil ke permukaan sebagai aktifis.

Ketika dalam talkshow itu, sang aktifis mahasiswa kekinian dikomentari host yang pengacara top itu agar harus banyak belajar dengan senior-seniornya, maka dengan percaya diri ia berucap: "Memang abang-abang aktifis '98 punya sejarah, dan saat ini mahasiswa di tahun ini dia mau mengukir sejarahnya sendiri."

Dek..., sejarah mengajarkan, sukses dan gagalnya sebuah gerakan mahasiswa salah satunya sangat ditentukan oleh mutu intelektualitas para aktifisnya. 

Selama aspek itu tak mampu kalian perlihatkan, maka jangan pernah berpikir akan mampu mengukir sejarah, dalam arti melakukan perubahan fundamental seperti para pendahulumu.

Oleh : Norpikriadi

*Ada Kisah-Kisah Anti Korupsi di sini.
*Ada podcast sejarah juga di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun