Sebagai orang sekolahan (tingkat tinggi pula), mahasiswa dianggap makhluk yang punya daya nalar hebat, sikap kritis, kepedulian sosial, keberanian, dan tentu saja wawasan lebih luas.Â
Adagium populer bagi aktivis mahasiswa; idealisme adalah kemewahan terakhir. Sebab itulah, suara mahasiswa cenderung selalu "lebih bergema" ketika menyuarakan sebuah aspirasi (yang seringkali mengatasnamakan rakyat).
Untuk memperoleh predikat itu, aktifis mahasiswa biasanya menempa diri dengan berbagai kegiatan, seperti aktif di organisasi-organisasi kampus. Alih-alih hanya menyerap perkuliahan, mereka biasanya juga (bahkan lebih sering?) melahap buku-buku dan lalu membedahnya dengan sesama aktifis atau dengan publik yang lebih luas.Â
"Rakus" akan informasi dan pengetahuan baru, rajin menggelar seminar dengan pembicara berbobot, berdiskusi, dan melakukan hal-hal relevan lain. Semua itu kemudian menjadikan mahasiswa dikenal sebagai manusia tercerahkan.Â
Hal itu pula yang memampukan mereka secara produktif menulis di media massa untuk menuangkan gagasan-gagasan progresif. Lalu, dalam banyak kesempatan tampillah orang-orang muda ini sebagai orator hebat di mimbar demi mimbar demonstrasi.
Kendati demikian, mahasiswa tetaplah insan muda dengan segala romantismenya. Ini misalnya bisa kita temukan pada narasi yang dibangun aktifis mahasiswa tahun 1960-an tentang tiga hal yang mewarnai hidup mereka, yaitu: buku, pesta, dan cinta.
Hal ini relate dengan trend gaya hidup anak muda dunia era itu yang gandrung kebebasan dan anti kemapanan. Apapun halnya, Mahasiswa Indonesia angkatan '66 dengan modal intelektualitasnya secara riil sukses meruntuhkan rezim Orde Lama yang di mata mereka tak lebih sebagai sebuah kediktatoran.
Bagaimana mungkin sistem Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan sejak Dekrit 5 Juli 1959 bisa dikatakan sebuah demokrasi, jika kebebasan pers sebagai simbol kebebasan berbicara dipasung?
Bagaimana dikatakan demokratis, bila Parlemen (DPR dan Konstituante) hasil pemilu demokratis empat tahun sebelumnya, dibubarkan dan diganti dengan parlemen yang anggotanya ditunjuk penguasa?Â
Bagaimana dikatakan demokratis, jika partai yang sebelumnya termasuk partai pemenang pemilu (yang artinya didukung rakyat banyak) dibubarkan secara sepihak seperti yang dialami Masyumi?Â
Belum lagi tentang adanya pemenjaraan tokoh, mulai dari aktifis politik, ulama, dan bahkan sampai seniman, tanpa melalui proses pengadilan? Dan, bagaimana dikatakan demokratis jika selama kurun waktu Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tak pernah diselenggarakan pemilu?