PENDAHULUAN
      Uqdah al-Kubro merupakan salah satu tema sentral dalam kajian teologi Islam yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai kehidupan, eksistensi, dan takdir. Dalam konteks ini, pemahaman yang mendalam tentang malaikat, takdir, qadha, dan qadar menjadi sangat penting untuk membentuk akidah yang benar dan kokoh.
Malaikat sebagai makhluk yang tidak terlihat dan memiliki peran penting dalam menjalankan perintah Allah sering kali menjadi sumber kebingungan bagi banyak orang. Beberapa anggapan yang keliru mengenai sifat dan fungsi malaikat dapat menyebabkan penyimpangan dalam pemahaman agama. Oleh karena itu, penting untuk menjelaskan secara tepat mengenai hakikat malaikat dalam Islam.
Uqdah al-Kubro yang berkaitan dengan malaikat menyoroti kesalahpahaman yang sering muncul, seperti anggapan bahwa malaikat memiliki sifat-sifat Tuhan atau merupakan anak-anak Allah. Pemecahan ini menekankan bahwa malaikat adalah makhluk ciptaan Allah yang patuh dan tidak memiliki sifat ketuhanan. Pemahaman yang benar tentang malaikat akan memperkuat iman dan ibadah seseorang kepada Allah serta menjaga keimanan dari kesesatan (Wartani, 2023).
Di sisi lain, konsep takdir, qadha, dan qadar juga sering diperdebatkan dalam masyarakat. Banyak individu berjuang untuk memahami bagaimana takdir ditentukan oleh Allah dan bagaimana hal ini berinteraksi dengan usaha dan ikhtiar manusia. Pemahaman yang benar tentang konsep-konsep ini tidak hanya akan memperkuat iman seseorang tetapi juga memberikan ketenangan jiwa di tengah berbagai tantangan hidup.
Konsep takdir Qadha dan Qadar adalah salah satu pilar penting dalam teologi islam yang telah menjadi subjek penelitian mendalam sejak zaman dahulu. Qadha dan Qadar yang termasuk ke dalam rukun iman yang ke-enam merupakan salah satu bentuk kepercayaan atau keyakinan atas takdir yang telah Allah tetapkan atas makhluknya. Manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh alam semesta telah memiliki takdirnya masing-masing yang telah Allah tetapkan sejak pertama kali diciptakan.
      Di Al-Qur'an, Allah subhannahu wa ta'ala telah menerangkan dalam surah Al-Fussilat ayat 9-10 bahwa Allah subhannahu wa ta'ala menciptakan alam semesta ke dalam enam masa, yang mana kemudian penciptaan tersebut dilanjutkan dengan menciptakan tujuh langit ke dalam dua masa pada surah Al-Fussilat ayat 12. Dengan adanya ayat-ayat tersebut membuktikan bahwa Allah subhannahu wa ta'ala memiliki kekuasaan sangat besar sehingga mampu menciptakan sesuatu yang jauh lebih besar dibandingkan apa yang bisa diciptakan manusia. Selain itu dengan adanya ayat ini juga menegaskan bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu yang ada di alam semesta dan tidak ada satupun makhluk yang mampu menyamai kekuasaan-Nya tersebut.
      Qadha dan Qadar adalah dua perkara yang saling beriringan. Keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya sehingga manusia perlu memahami keterkaitan keduanya sebagai satu kesatuan yang disebut sebagai takdir. Qadha secara bahasa berarti hukum, ciptaan, kepastian atau penjelasan. Sedangkan secara istilah, Qadha adalah kekuasaan Allah subhannahu wa ta'ala dalam memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkan, menjalankan, dan menyelesaikan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.
      Sementara arti Qadar menurut bahasa berasal dari kata qadara-yaqdaru-qadaran yang memiliki arti akhir atau puncak dari segala sesuatu. Kemudian pengertian Qadar menurut istilah adalah ketentuan Allah subhannahu wa ta'ala yang berlaku bagi semua makhluk ciptaan-Nya, sesuai dengan ilmu Allah terdahulu dan di kehendaki oleh hikmah-Nya (Al-Hamd, n.d.). Dengan pengertian tersebut manusia seharusnya bisa lebih memahami bahwa segala kejadian yang terjadi di alam semesta tentunya berada di dalam luar kendali manusia, dan umat Islam meyakini semua kejadian tersebut berada dibawah kendali dan kekuasaan Allah subhannahu wa ta'ala. Maka dari itu, pengetahuan Allah subhannahu wa ta'ala telah menjadi dasar akan terjadinya kejadian-kejadian di alam semesta ini, para alim ulama menyebut kalimat ini dengan kata sunnatullah yang terkadang para awam menyebut dengan kata kata hukum alam atau takdir.
      Penerapan konsep takdir pada diri manusia sendiri terkadang masih disalahartikan. Kesalahan ini bermula dari pemikiran manusia yang selalu menisbatkan segala sesuatunya kepada Allah subhannahu wa ta'ala. Manusia seringkali menganggap segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah tanpa campur tangan manusia sedikitpun, termasuk saat mereka berperilaku tidak sesuai dengan anjuran Allah dan Rosul-Nya yang telah di tetapkan di dalam Al-Qur'an serta Al-Hadits. Manusia cenderung akan selalu berkata 'sudah takdir' atau 'saya begini karena takdir Allah' saat mereka berbuat keburukan atau mendapatkan segala sesuatu yang tidak diinginkan. Padahal sejatinya Allah subhannahu wa ta'ala sendiri memberikan manusia kewenangan dalam menentukan takdirnya sendiri dengan menetapkan beberapa takdir yang dapat dirubah melalui tangan-tangan mereka. Contohnya adalah rezeki berupa uang, jodoh, jabatan, dan lain sebagainya.
      Hal ini selaras dengan penjelasan yang ada di dalam Al-Qur'an surah Al-Rad ayat 11 yang berarti: 'Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia'. Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah subhannahu wa ta'ala memberikan manusia kuasa atas takdirnya sendiri selain apa yang telah ditetapkan Allah.