Â
Dikibas-kibaskannya sampul plastik dari buku itu. Wanginya ia suka. Seperti menjadi dewasa, seperti menjadi cerdas, ungkap hatinya.
Sedangkan bapaknya sedang minum kopi sambil baca koran, ia menenggelamkan kepalanya pada sebuah buku.
Judulnya ‘Bangkitlah Gerakan Mahasiswa’ yang pada intinya mengatakan bahwa mahasiswa sekarang sedang sakit. Sakit globalisasi. Sakit industri. Semua jadi pekerja, semua ingin cepat kaya.
Mahasiswa kehilangan idealisme, padahal menurut jargon-jargon ternama, idealisme adalah harta terakhir yang mahasiswa punya.
Buku itu membuatnya bingung. Ia tidak setuju.
Â
*
Kurang lebih 30 puluh menit yang lalu seorang teman datang ke rumahnya. Mengubrak-abrik rak bukunya demi melacak satu buah. "Tidak ada," ujar temannya itu.
"Tentu saja, aku sudah bilang bahwa aku tidak punya. Kau saja yang tak percaya."
Akhirnya temannya itu menyerah dan pulang. Ia tahu betul temannya tidak punya uang untuk beli buku. Apalagi buku semacam ini. Kalimat-kalimat doktrin untuk mahasiswa-mahasiswa yang haus pada ilmu perjuangan. Mahasiswa-mahasiswa yang inginnya turun ke jalan. Memberontak, mengamuk, dan ribut. Tapi Amir tak ingin temannya itu membaca buku yang dimilikinya itu. Walau ia tahu membaca adalah jendela dunia, tapi menurut Amir, temannya itu tidak boleh baca buku ini. Sekali itu, Amir berubah menjadi Orde Baru.