Gaya blusukan Presiden Jokowi kembali muncul. Usai bagi-bagi bantuan sosial (bansos) bagi warga di Sunter Jakarta Utara dan sejumlah wilayah lainnya pada malam hari, sang presiden pada 23 Juli2021 lalu mendatangi Apotek Villa Duta di daerah Bogor, Jawa Barat hanya untuk menanyakan ketersediaan obat anti virus di apotek tersebut.
Dari video yang beredar, Jokowi terlihat memakai masker hitam dan mengenakan baju putih lengan panjang. Dia tampak membawa secarik kertas dan menanyakan ketersediaan obat kepada penjaga apotek perempuan.
Kepala Negara disebut mampir ke apotek tersebut secara mendadak. Â Di apotek tersebut, Jokowi berdialog dengan penjaga apotek. Ia menanyakan ketersediaan Oseltamivir, salah satu obat anti virus yang dibutuhkan pasien Covid-19.
"Saya mau ini, mau cari obat anti virus yang Oseltamivir," tanya Jokowi.
"Oseltamivir sudah kosong pak," jawab penjaga apotek.
"Enggak ada?" tanya Jokowi lagi.
"Enggak ada," timpal penjaga apotek.
"Terus saya cari ke mana kalau mau cari?" ujar Jokowi.
"Nah itu kita juga sudah tidak dapat barang dari ininya," ungkap penjaga apotek.
"Udah berapa hari enggak ada?" tanya Jokowi lagi.
"Kalau Oseltamivir yang generik itu sudah lama pak, kemarin itu masih ada merek Fluvir, tapi sekarang juga sudah kosong," jawab penjaga apotek.
"Kalau yang ini, Favipiravir?" tanya Jokowi.
"Enggak ada juga," kata penjaga apotek.
Setelah menanyakan ketersediaan obat tersebut Jokowi membeli multivitamin di apoteknya.
Gaya blusukan sang presiden menjadi ciri khas yang sulit dilupakan. Berbeda dengan presiden sebelumnya yang suka curhat di media sosial bahkan terakhir berdoa agar bangsa ini keluar dari pandemi Covid-19.
Agaknya dengan blusukan dengan datang langsung ke lapangan ditambah menyelesaikan masalah dengan dialog menjadi gaya komunikasi Presiden Jokowi. Mungkin langkah itu benar karena pada hakikatnya demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan jauh lebih penting adalah mewujudkan. Bukan sekadar pencitraan atau lips service semata. Mata dilihat tetapi pahit di hati! Â
Gaya komunikasi tersebut mengingatkan saya ketika Pak Jokowi memunculkan istilah "Aku Rapopo". Lalu ada pula "blusukan". Ketika itu sedang hangat-hangatnya Pilkada DKI Jakarta. Dan Pak Jokowi ikut berlaga dalam pesta politik warga Jakarta tersebut.
Pak Jokowi menang di Jakarta. Gaya blusukannya tetap dilakukan sang gubernur. Ia terjun langsung melihat keadaan anak buahnya dan masyarakat. Simpati pun mengalir deras. Ya Pak Jokowi memperkenalkan konsep "blusukan" dengan terjun langsung ke masyarakat: merekam keluh-kesah warganya. Sesuatu yang juga dulu pernah dilakukan ketika menjabat Wali Kota Solo selama dua periode.
Pak Jokowi berkeliling Jakarta ketika itu. Mengunjungi berbagai tempat, bertatap muka dan berdialog dengan warganya dengan harapan mendapatkan gambaran nyata akan akar masalah sosial di masyarakat. Bahkan ketika rel kereta sekitar Stasiun Sudirman kebanjiran Pak Jokowi datang ke lokasi dan ikut mengangkut karung berisi krikil untuk meninggikan rel kereta di sana.
Sosok Pak Jokowi tersebut membawa suasana baru pada ranah politik di tengah para aktor politik yang kerap mengideologikan "jaim" sebagai syarat wajib seorang aktor politik di negeri ini. Kerap kita melihat personifikasi kekuasaan yang dilakukan seorang pejabat. Sehingga komunikasi yang terjadi pun hanya bersifat satu arah alias monolog. Pak Jokowi menabrak itu. Ia ingin memperlihatkan kesederhanaanya dan merebut simpati rakyat.
Sasa Djuarsa Sendjaja dkk dalam Teori Komunikasi membagi gaya komunikasi menjadi enam jenis yakni
Pertama, controlling style bersifat mengendalikan.
Kedua, equalitarian style adanya landasan kesamaan dan ditandai dengan penyebaran pesan verbal secara lisan maupun tertulis yang bersifat dua arah.
Ketiga, structuring style gaya komunikasi terstruktur yang memanfaatkan pesan verbal secara tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah yang harus dilaksanakan.
Keempat, dynamic style memiliki kecenderungan yang agresif yang bertujuan untuk menstimulasi atau merangsang pekerja atau karyawan untuk bekerja dengan lebih cepat dan baik.
Kelima, relinguishing style mencerminkan gaya komunikasi yang lebih menerima saran, pendapat atau gagasan orang lain daripada keinginan untuk memberi perintah.
Keenam, withdrawal style.
Maka ketika beredar tayangan Pak Jokowi naik pitam dan bernada keras terhadap para pembantunya, publik kaget. Wajar karena gambaran itu berbeda dengan gaya komunikasi politik sang presiden yang selama ini dikenal suka blusukan dan ketika Pilkada Jakarta dulu tampil dengan istilah "Aku Rapopo".
Dalam sebuah sidang kabinet di Istana Kepresiden Bogor, Jokowi dibuat karena karena penanganan Covid-19 yang belum dianggap serius oleh anak buahnya.
Terakhir, Presiden Joko Widodo geram dengan banyaknya stok vaksin yang masih menumpuk dan tak kunjung disuntikkan ke masyarakat. Mengingat jumlah vaksin yang telah masih ke RI masih sangat timpang dengan jumlah vaksin yang telah dipergunakan. Hal ini disampaikan Jokowi dalam Ratas Evaluasi PPKM Darurat di Istana Merdeka pada 16 Juli  dikutip dari akun Youtube Sekretariat Presiden.
"Tolong dilihat betul angka-angkanya karena yang saya melihat data yang masuk, baik itu berupa vaksin jadi maupun bulk yang sudah masuk ke negara kita sudah 137 juta. Padahal yang sudah disuntikkan dalam vaksinasi itu kurang lebih 54 juta," kata Jokowi.
"Artinya stok yang ada baik mungkin di Bio Farma maupun di Kementerian kesehatan atau mungkin di provinsi, di kabupaten, di kota, di rumah sakit, di Puskesmas-Puskesmas terlalu besar," ia menambahkan.
Bisa jadi ada persoalan yang sangat serius dan itu terkait pandemi virus corona (Covid-19) yang memang perlu penanganan serius; bukan sekadar cuap-cuap semata tetapi perlu ekstra kerja keras untuk menghadapinya. Gaya menunggu komando mungkin tak tepat dalam kondisi rada serius ini. Bisa jadi inilah karakter intellectual stimulation yakni mendorong anak buah untuk menyelesaikan persoalan dengan cepat, cermat dan rasional. Sesuatu yang agaknya tak ditangkap oleh para menteri dan kepala lembaga tinggi negara.
So, jadi untuk sementara "Aku Rapopo" ditanggalkan sejenak. Karena memang pandemi virus corona (Covid-19) bukan persoalan seperti membalikkan telapak tangan. Ini masalah global dan menyangkut nyawa manusia.
Untuk sementara gaya komunikasi yang apa adanya, spontanitas, lemah, tidak melawan, mengaku kekurangan ditinggalkan sementara. Kali ini harus dengan gaya komunikasi yang sedikit galak dan publik harus tahu itu? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H