Mohon tunggu...
Muhammad Rizki Novianto
Muhammad Rizki Novianto Mohon Tunggu... Desainer - CEO of Nordicalism Designs

I am nothing and I don't know anything...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Betari

12 Mei 2024   00:56 Diperbarui: 12 Mei 2024   01:04 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BETARI

Di mandala yang jauh, seorang pria eksplisit dan malar,

Memulai pelawatan, hatinya semarga kelikir,

Meninggalkan juvenilnya, seorang bumiputri yang masih sangat prematur

Dan puspitanya tercinta, yang memiliki renjananya.

Dengan berat hati dan pikiran yang teguh,

Dia memulai lawatannya, meninggalkan tunasnya,

Untuk honorarium wangsanya,

untuk memastikan mereka berkujarat,

Si kirana dan berantanya, filantropi dalam peluhnya.

Dan suatu hari, ketika dia meretur ke graha peluhnya

Ke lekapan yuana dan tajuk mahkota yang mengelus dada, dia merambah,

Air mata kesemarakan dan kesenggangan di mata mereka begitu cerah,

Dan pada akhirnya, bersatu merusut, di bawah sinar almanak yang sama.

Atas dedikasi yang dia tempuh, yojana yang diselusuri,

Apakah semuanya sadik, berapa pun persentasenya,

Untuk melihat gelak tawa pada sekaran dan gulananya,

Adalah komoditas, sagu hati, margin kecambah yang sesungguhnya.

Melewati alai-belai dan ketertatihan di bentala biru,

Dia menyimpan keprakarsaan, seperti butiran pasir,

Tentang santiran-santiran yang dibagikan, begitu primersif dan konstruktif,

Bersama tepian mata dan puspanya, pumpunannya berdebar kencang lagi.

Seiring berjalannya tangguhan, dan regukan terus bersolek,

Dia tidak pernah meruat, tak pernah sekali pun menggegar diri,

Atas solakan yang begitu dia ngawai untuk tajak kebat ini,

Memberinya keadikaraan, dan keresistansian untuk berseregang.

Calak berganti ranum, ranum berganti sasap,

Saat dia bersubstansial dan berkatalis dengan jalan yang tidak digenapi,

Menggulana akan gelak tawa keriangan betarinya,

Dan kehangatan gelebahnya, yang sangat ia hasrati.

Jadi, ini untuk pria persisten dan konklusif,

Yang beranggara mengujung pangkal hal yang elusif,

demi potret yang dikasihini,

Sang spirit vitalitasnya, sanubari penuntunnya,

Dalam lekapan mereka, lekanya terasa merdu dan hikmat.

Bumiputri, puspita

Kirana, beranta

Betari, gelabah

Yuana, mahkota

Bumiputri, puspita

Kirana, beranta

Betari, gelabah

Yuana, mahkota

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun