Pandemi Covid 19 membawa kehidupan baru. Tak terbatas hanya pada pekerjaan, namun juga banyak sekali perubahan secara dimensi sosial yang mengantarkan kita, cara bergaul yang bisa bertemu secara langsung, pelan tapi pasti berubah menuju digital life.Â
Bekerja, sekolah, dan aktivitas lain semua dilakukan secara online. Bahkan game cloud sendiri sebagai salah satu hal yang dilihat sebagai amazing experience juga dimulai di tahun yang sama, pada 2019.Â
Tak hanya itu, connecting socially, deep feeling dituangkan melalui virtual yang hidup dalam dunia dan bersifat ‘metafisik’.
Mungkin kita masih ingat Ketika pertama kali diluncurkan games Pokemon. John Hanke CEO of Niantic yang mempopulerkan Pokemon Go Mobile melalui Augmented Reality (AR).Â
Niamic menyebutkan dirinya sebagai platform yang isa mempertemukan manusia dengan melalui avatar ‘Pokemon’ menghubungkan dunia digital dan dunia real dalam kehidupan. Tak tanggung-tanggung, perusahaan ini berhasil meraih keuntungan U$$ 300 juta pada 2021.Â
Namun game ini kini telah tergantikan oleh Roblox yang menuntun pemainnya untuk memiliki planet kehidupan berbeda, memiliki rumah, mobil, tanah bahkan dunia Roblox juga bisa menciptakan system keuangan sendiri.Â
Menghabiskan waktu bermain Roblox menjadi dunia baru masuk melalui karakter Avatar masing-masing, tak terbatas usia, bergabung dalam dunia Roblox dari berbagai negara.
Permainan lain berbasis metaverse, adalah Decentraland, Axie Infinity, Sandbox, Yield Guide Game, Mines of Dalamia, Chromia dan Gala yang berbasis Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) dengan mata uang Cryptocurrency, di mana menghasilkan pendapatan ketika beraktivitas di dalamnya dan yang dapat direalisasikan dalam dunia nyata. Bahkan sekelas Paris Hilton dan Justin Bieber pernah mangadakan konser yang ditonton oleh masyarakat Decentraland. Â
Mark Zuckerberg adalah berikutnya. Sebagai pelopor Facebook, WhatsApp, dan Instagram yang jelas mengganti platformnya dengan sebutan ‘Meta’ dan bersiap menggelontorkan investasi US$ 150 juta atau sekitar Rp 2,1 triliun.Â
Mark meyakini ini menjadi investasi jangka panjang yang telah ia mulai dari 2021 dan akan ditempuh dalam jangka waktu 3 tahun mendatang. Mark percaya metaverse akan menjadi generasi selanjutnya bagi perkembangan internet cellular.Â
Tentunya social connection in activity antar manusia, hewan, dan kehidupan akan dijangkau oleh seluruh dunia, 1 milliar orang akan berada di dunia yang sama dalam beberapa decade mendatang.
Booming metaverse, tak hanya soal dimensi sosial dan ekonomi. Pada dunia perbankan, dilansir oleh www.cnnindonesia.com (2022), hari ini Bank of America, BNP Paribas, Bank of Kuwait, Mecrobank Swedia, KB Kookmin Bank, Industrial Bank of Korea, NH Nonghyup, Hana Bank masuk ke metaverse guna peningkatan pelayanan nasabah.Â
Hal ini justru mampu mendorong 25% peningkatan masuknya nasabah baru dan layanan metaverse lebih disukai dibandingkan di dunia nyata. Sehingga teknologi yang besifat imersif ini dianggap lebih menjamin keberhasilan dati sisi digital services.
Metaverse, Bagaimana Mempersiapkan Diri?
Pertama kali mendengar metaverse, merupakan sebuah kata yang mungkin begitu asing. Ketika membuka Facebook, muncul dengan kata dan lambang Meta. Lambang ini mirip dengan sebuah kacamata tiga dimensi (3D) seperti tali yang tak putus dan terkoneksi.Â
Perkenalan dengan meta, sudah dimulai dalam berbagai kegiatan masyarakat yang pada dasarnya justru berkembang di saat Pandemi 2019. Jutaan masyarakat menghabiskan waktu di rumah dan semua aktivitas berganti pada dunia digital.
Istilah metaverse merujuk pada lingkungan virtual bersama yang dapat diakses oleh orang-orang yang menggunakan perangkat yang berbeda.Â
Metaverse sendiri gabungan dari dua kata yakni meta yang berarti di luar dan universe yang artinya alam semesta.Â
Dengan demikian, metaverse merupakan realitas digital alternatif dimana orang dapat bekerja, bermain dan bersosialisasi.Â
USA Today menyebut metaverse adalah kombinasi dari beberapa elemen teknologi, termasuk virtual reality, augmented reality dan video yang penggunanya "hidup" dalam dunia digital.
Intinya metaverse dapat difahami sebagai dunia baru manusia dalam beraktivitas di planet yang baru selain di bumi, namun dalam bentuk virtual.Â
Di planet baru ini semua orang bebas melakukan aktivitas, memiliki properti tak terbatas sebagai asset, yang kemudian akan disertifikasi oleh berbagai perusahaan pencipta metaverse di berbagai negara dan tentu saja sebagai hak kepemilikan yang sah dan akan terjadi transaksi di dalamnya dalam bentuk Criptocurrency yang bersifat Non-Fungible Tokens (NFT) yang bisa diperjualbelikan seperti aset fisik. Semesta ini bergabung dengan menggunakan Avatar serta produk layanan lainnya yang taka da batas antara dunia nyata dan dunia digital.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang termasuk menggunakan metaverse dalam mendesign ibu kota yang baru, di mana menggunakan teknologi VR dan hologram untuk dapat mengakses gedung ini.Â
Metaverse Indonesia digadang-gadang akan disiapkan perangkatnya hingga tahun 2024. WIR Group sebagai salah satu perusahaan perangkat lunak Indonesia menyebut akan memperkenalkan diri prototype metaverse Indonesia pada G-20 di tahun ini (2022) dengan tema ‘Recover Together, Recover Stronger’.Â
Tak hanya itu, WIR Group dikabarkan dalam mediaindonesia.com (2022), akan menggandeng pengembang Meta (Facebook) dan Microsoft dalam mengembangkan Kacamata Augmented dan Virtual Reality (VR).Â
Tentunya Indonesia tidak bisa hanya menduplikasi metaverse yang berasal dari belahan negara lain di Eropa, harus ada daya ungkit eksponensial dan memiliki nilai kearifan budaya local.
Pertanyaannya adalah ketika kolaborasi ini dimulai antar pemerintah, sektor swasta dalam menggarap metaverse, apakah kita sudah siap dengan kehidupan digital yang nantinya akan menggantikan kehidupan realita kita? Apa yang musti dipersiapkan? Tentunya berbagai pertanyaan ini penting untuk dijawab.
Jika bicara Indonesia sebagai negara besar dengan penduduk lebih dari 250 juta saat ini, dan berbagai kebutuhan pembangunan yang menjangkau keselarasan pada 17 ribu pulau, tentu sudah saatnya mengejar pemerataan pembangunan.Â
Apalagi Indonesia masih dalam peringkat 101 di atas Myanmar dan Kamboja dari 166 negara di dunia dalam pencapaian Sustainability Development Goals (SDGs)Â yang sebentar lagi akan berakhir di 2030.Â
Ini artinya untuk melakukan akselerasi pembangunan, Indonesia hanya punya waktu 8 tahun mendatang dengan policy (Perpres 59/2017), RPJMN 2020-2024 dan juga akselerasi lainnya yang dilakukan oleh Bappenas untuk mencapai 17 indikator SDGs.
Metaverse dianggap sebagai salah satu upaya optimal dan cepat dalam memindahkan capaian ini. Digitalisasi mulai dari dunia pendidikan, layanan kesehatan, layanan pekerjaan, layanan rekreasi, akses berbagai kebutuhan merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga transformasi ini diharapkan diikuti oleh masyarakat.Â
Jika ditilik dari proporsi jumlah penduduk pada 2020, Indonesia didominasi oleh Gen Z dan Millennial. Gen Z ditengarai mencapai 75,49 juta jiwa (27,94%) dari total populasi masyarakat Indonesia. Sedangkan Millennial mencapai 69,38 juta jiwa atau sebesar 25,87% dari total populasi. Generasi X mencapai 58,65 juta jiwa atau 21,88%.Â
Ini artinya, gerakan pembangunan di Indonesia melalui akselerasi metaverse dapat dimulai dari kalangan Gen Z dan Millennial bahkan itu sudah terjadi, meskipun masih dalam situasi yang terbatas dan dalam ruang pemaknaan yang sempit akan dunia metaverse.
Bagi generasi ini, metaverse dimaknai sebagai dunia individualistic, mendapatkan pengakuan, jati diri hingga memperoleh property dari ruang permainan dan pergaulan. Dunia menjadi sangat terbatas pada virtual yang mereka tidak temukan dalam realitas.
Apa yang terjadi dengan dunia Gen Z dan Millennial dalam dunia metaverse tentu akan membuka gap atau kesenjangan yang cukup besar.Â
Jika dibandingkan dengan Baby Boomers atau Gen X dan Y, maka perlu disiapkan dalam hal human development yang lebih baik oleh pemerintah dalam kerangka memasuki dunia metaverse.Â
Bagaimana tidak, masih banyak masyarakat generasi ini yang tinggal di sekitar hutan, pedesaan yang tentu saja tidak ada signal, tidak bisa akses informasi, bahkan mungkin pendidikan. Bahkan masih banyak masyarakat adat sebagai vulnerable groups masih membutuhkan dukungan dalam pembangunan infrastruktur khususnya di dunia metaverse.
Penting kemudian bagi kita semua menyikapi booming metaverse dengan bijak dan tentu harus sesuai dengan budaya Indonesia dalam creating-nya. Beberapa hal yang harus disiapkan dalam memasuki dunia metaverse adalah:
Pertama, human development. Ini merupakan fondasi utama, metaverse akan bisa dibangun dengan didahului pembangunan sumber daya manusia (SDM).Â
Mengejar ketertinggalan dan mengakselerasi dari berbagai sisi pendidikan, kesehatan, livelihood yang menyasar pada masyarakat diberbagai belahan pulau terdalam, hutan dan pedesaan.
Kedua, infrastructure. Tak dipungkiri, memasuki dunia metaverse membutuhkan infrastuktur yang high cost. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah Indonesia terutama soal anggaran yang akan digunakan dan bagaimana mulai membangun perangkatnya yang harus segera disiapkan.Â
Tak hanya infrastruktur metaverse technology, namun juga infsaructure impact di mana akan banyak terjadi ‘manusia mungkin bisa tidak mampu membedakan mana dunia nyata dan mana dunia digital’ karena tidak ada batasnya.Â
Kesehatan psikologis akan sangat mahal pada level ini dan mental health akan menjadi sangat peting bagi manusia. Dan mungkin bisa saja menjadi profesi yang sangat diburu banyak orang.
Ketiga, regulation. Metaverse bukan berarti soal kesempurnaan teknologi. Namun lebih dari itu, metaverse tentu ke depan akan membawa dampak positif sekaligus negatif. Contoh yang paling gampang adalah ketika hari ini sudah ditemukan 2.556 angka kekerasan berbasis online terjadi, tak hanya verbal namun juga pengaruh psikologis pada user.Â
Belum lagi ini akan terus bertambah, Ketika ‘rasa dan aroma’ juga bisa dirasakan di dunia metaverse pada masa ‘Neur0-SpatioTemporal’ di mana mampu mendigitalisasi imajinasi dan kesadaran, sekaligus menurut Budiman Sudjatmiko (2022), mimpi bisa direkayasa dan divaluasi dalam nyata! Harus ada regulasi yang bisa melindungi masyarakat dan asetnya tentu saja untuk mengantisipasi berbagai pelanggaran hukum yang sangat dimungkinkan terjadi.
Keempat, skill capacity. Ini penting untuk setiap dari diri kita, karena aka nada banyak sekali pekerjaa yang hilang, tergusur dan tergantikan dengan teknologi dan bukan tidak mungkin sudah terjadi.Â
Jika dulu kita temukan percetakan berbagai buku dan koran yang mampu menghidupi banyak pekerja, kini berganti dengan soft-file data dan layout media. Pekerjaan sebagai seniman, content creator, ekonom akan beralih di dunia metaverse.
Kelima, self-confidence. Percaya pada diri kita, bahwa kita adalah manusia yang menjadi karya Tuhan YME, dengan technology yang paling canggih. Hati, tentu tak dapat digantikan dengan metaverse. Bagaimana berempati tentu tak bisa diperankan oleh Avatar kita.Â
Kepercayaan diri adalah kunci bahwa kita memiliki kemampuan, mengembangkan diri, mempertahankan diri dan modalitas untuk menjadi human being dalam dunia nyata yang masih merasakan haus dan lapar, dimana tentu saja hingga hari ini kebutuhan pangan ‘food and beverage’ belum bisa tergantikan oleh metaverse technology.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H