Ketiga, regulation. Metaverse bukan berarti soal kesempurnaan teknologi. Namun lebih dari itu, metaverse tentu ke depan akan membawa dampak positif sekaligus negatif. Contoh yang paling gampang adalah ketika hari ini sudah ditemukan 2.556 angka kekerasan berbasis online terjadi, tak hanya verbal namun juga pengaruh psikologis pada user.Â
Belum lagi ini akan terus bertambah, Ketika ‘rasa dan aroma’ juga bisa dirasakan di dunia metaverse pada masa ‘Neur0-SpatioTemporal’ di mana mampu mendigitalisasi imajinasi dan kesadaran, sekaligus menurut Budiman Sudjatmiko (2022), mimpi bisa direkayasa dan divaluasi dalam nyata! Harus ada regulasi yang bisa melindungi masyarakat dan asetnya tentu saja untuk mengantisipasi berbagai pelanggaran hukum yang sangat dimungkinkan terjadi.
Keempat, skill capacity. Ini penting untuk setiap dari diri kita, karena aka nada banyak sekali pekerjaa yang hilang, tergusur dan tergantikan dengan teknologi dan bukan tidak mungkin sudah terjadi.Â
Jika dulu kita temukan percetakan berbagai buku dan koran yang mampu menghidupi banyak pekerja, kini berganti dengan soft-file data dan layout media. Pekerjaan sebagai seniman, content creator, ekonom akan beralih di dunia metaverse.
Kelima, self-confidence. Percaya pada diri kita, bahwa kita adalah manusia yang menjadi karya Tuhan YME, dengan technology yang paling canggih. Hati, tentu tak dapat digantikan dengan metaverse. Bagaimana berempati tentu tak bisa diperankan oleh Avatar kita.Â
Kepercayaan diri adalah kunci bahwa kita memiliki kemampuan, mengembangkan diri, mempertahankan diri dan modalitas untuk menjadi human being dalam dunia nyata yang masih merasakan haus dan lapar, dimana tentu saja hingga hari ini kebutuhan pangan ‘food and beverage’ belum bisa tergantikan oleh metaverse technology.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H