Pada tanggal 6 Desember 2018, media online TabloidJubi/jubi.co.id dan Tirto.id (tulisan berikutnya J&T) Â secara sah merilis setidaknya 18 media siluman (hoax) di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat).Â
Keberadaan media-media tersebut hendaknya untuk mentandingi beberapa media asli lokal yang selama ini menyuarakan isu-isu HAM, otsus, perampasan tanah dan tentunya perjuangan untuk meluruskan sejarahnya Papua dan keberadaan orang Papua, dimana medianya telah di izin Dewan Pers dan sudah punya hukum perizinan yang jelas.Â
18 media tadi; namun demikian, telah memperlihatkan baik oleh J&T bahwa eksistensi dan motivasinya adalah menggunakan data, informasi manipulatif di Papua - tidak relevan dan tidak kredibel.Â
Kedua media ini dengan berani mengungkapkan kalau sih pembuat 18 media itu, salah satunya adalah pemegang gelar P.hD. Kemudian, pembuat web siluman ini memainkan lewat internet seperti fiksi online - catfising.
Ini adalah 18 nama-nama website kamuflasenya:
kitorangpapuanews.com, papuanews.id, kabarpapuaupdate.online, onwestpapua.com, papuainframe.co.id, papuamaju.com, detikpapua.online, papuatoday.id, kabarpapua.net, freewestpapua-indonesia.com, harianpapua.com, tabloidjubi.online, cendrawasih-pos.com, westpapauterrace.com, freewestpapua.co, freewestpapua.co.nz, westpapuaarchieve.com, kabarpapua.online.
Kenapa tidak kredibel dan siapa dalang di balik media-media siluman ini? Kita mustinya cari tau apakah benar pembuat media-media ini bisa di sebut catfishing? Untuk mengupas pertanyaan ini, saya akan sodorkan satu persatu dalam pembahasannya berdasarkan pada research J&T.Â
Siapa dalang di balik media-media siluman ini?
Mereka yang main website propaganda tentang informasi Papau ini jelas dari orang-orang lulusan sarjana. Mereka adalah termasuk manusia terdidik dan intelektualitas dalam bidangnya masing-masing.
Menurut tirto.id, dengan judul, "Ada Kader PKS plus Tenaga Ahli DPR di Balik Media Siluman Papua" , ada nama pembuatnya yakni Arya Sandhiyudha. Ia adalah tenaga ahli Komisi I DPR. Ia juga mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk daerah pemilihan Bali.Â
Lanjut, Arya juga sering muncul di TV sebagai pakar hubungan internasional atau pakar politik internasional. Komentarnya sering dikutip oleh media-media online.
Website milik tuan Arya memuat segala prestasi dan apa yang telah ia lakukan sebagai salah satu CV. Dalam websitenya, ia menyebut diri sebagai warga Indonesia pertama penerima Doktor Bidang Ilmu Politik dan Hub Internasional dari kampus Turki karena ia pribadi menyebutkan peraih PhD dari Istanbul University pada 2016.Â
Namun, profil LinkedIn dan Instagramnya menyebut Arya meraih gelar Doktor dari Fatih University - kampus di Turki yang sudah tutup pada Juli 2016; sayangnya, pusat data tesis dan disertasi di Turki, nama Arya tidak ada, disertasinya pun tidak tersedia.
Syani juga adalah contoh orang di balik media-media ini. Ia alumnus Universitas Budi Luhur, jurusan Hubungan Internasional; nama lengkapnya Syani Zuraida, salah satu penulis tetap di enam situs berbahasa inggris.Â
Perempuan ini tulis di website berbahasa inggris seperti [freewestpapua.co, freewestpapua.co.nz, westpapuaupdate.com, onwestpapua.com, westpapuaterrace.com, dan westapuaarchive.com]. Syani hanya penulis. Lagi, otak di balik keenam situs ini adalah bekas dosennya, Arya Sandhiyudha.Â
Kenapa diatas  saya di sebutkan permainan ini adalah di mainkan oleh mereka yang terdidik? karena meman orang-orang tersebut harus bisa menerjemahkan bahasa indoensia ke inggris - inggris ke indoensia, mereka yang mampu research mendalam yang akhirnya menkonklusi dengan logika benar  - tapi tidak berdasarkan fakta, master persuasi orang.
Karena gelarnya sudah berderetan, apa lagi sekolah di luar negeri, orang bisa mengakui hasil outputnya, publikasinya, pembicaraanya, tulisan-tulisan dalam website silumannya mereka.Â
Namun, orang tidak mungkin melakukan hal kayak begini kalau orangnya tidak pernah tamat sekolahnya seperti mereka karena mengingat petua Indonesia, "semakin berisi, semakin berunduk". Pastinya, aktor di balik media-media fiktif ini adalah intelektualitas akademika, politikus, dan sarjanawan/i - mengeyam gelar berderatan, tapi buta dalam pembuatan dan penyebaran informasi.
Kenapa tidak kredibelÂ
Di sisi penampilan seseorang, jika satu orang pake baju bersih tanpa mandi, kelihatannya aneh dan unfit atau tidak cocok. Nah, hal yang sama juga dilakukan oleh dunia pers . Mau dan tidak media baru harus mendaftarkan diri ke dewan pers dan menyetujui surat perizinan untuk menjalankan medianya termasuk media online maupun offline.
Untuk itu, di dunia media, mereka menamai dengan tidak kredibel apabila ada kejanggalan dalam pemberitaan berita dan tidak mengidentifikasikan keberadaan medianya.Â
Dalam hal ini, menurut research T&J, Di antara daftar 18 media siluman diatas, ada enam media berbahasa Inggris di klaim bikinan oleh tuan Arya Sandhiyudha.Â
Ia mengaku sengaja membuat enam situs itu untuk "mengharumkan nama baik citra Indonesia di mata Internasional" terkait isu-isu Papua. Jadi, lanjut Arya, kalau mereka [orang-orang di luar Indonesia] ketik kata kunci di google 'West Papua', yang muncul bukan situs-situs mereka [OPM], tapi website bikinannya.
Kredibel dan tidaknya media musti lihat dari About Us atau susunan redaksi dan alamat ofisialnya. Web-web siluman ini tidak menemukan dasar dari media tersebut yakni operasional redaksi.
Ke 18 media itu telah di identifikasi susunan redaksi, alamat ataupun kontak yang bisa dihubungi tak jelas tertulis di situsnya. Pembaca tidak bisa mengetahui siapa yang bekerja di balik media-media ini. Media tersebut tidak memenuhi standar dan etika dasar jurnalisme.Â
Jika apa yang ditulis keliru, pembaca tak bisa menggunakan hak jawab dan tak tahu harus protes ke mana. Kasihan kepada orang yang mau kutip sumber dari web-web siluman ini sementara mereka dalam research. Mereka ambilnya salah alamat dan tidak berdasarkan informasi yang murni.Â
Tentunya, ofisial AJI dan Kominfo Indonesia mengutuk website yang tidak mempunyai badan hukum.
Karya tuan Arya yang mau menulis dan berniat menerbitkan draf buku 146 halaman berjudul Papua: Revealing the Unrevealed - yang isinya menegasi gagasan Papua merdeka seharusnya tidak seperti kata tidak kredibel dalam tulisannya nanti sejak media pembuatannya saja tidak resmi - tidak berdasarkan data yang jelas.Â
Orang akan bingung data-data dan akan dia mewawancarai karena dia manipulasi dan mendatangkan narasumber fiktif seperti T&J mengcover pemberitahannya tadi. Meskipun tuan Arya membenarkan diri sebagai seorang cendekiwan dan mendapatkan gelar Ph.D atau Doctor of Philosophy, orang tidak yakin dengan pemaparannya nanti dalam buku karena manusia jelata sudah tau kelakuannya yang pake topeng di dunia media online.Â
Pleasea jangan buat buku tentang Papua. Sebaiknya menintropeksi diri dengan gelar besar - Ph.D.
Selain itu, hasil analisis dari T&J menyimpulkan keberadaan 18 media siluman tersebut hanya mau membangun opini publik jika di Papua selama ini tidak ada pelanggaran HAM.Â
Kelompok pendukung Papua Merdeka adalah kriminal yang melakukan kejahatan. TNI/Polri telah/sedang/akan melakukan tugasnya dengan baik, dan sebagainya.Â
Kehadiran sederetan situs media siluman tersebut sungguh meresahkan para jurnalis dan media asli yang bekerja sesuai dengan Undang-Undang Pers atau Kode Etik Jurnalistik di Papua selama ini.
Jika Arya bilang TNI/Polisi melakukan keamanannya baik di Papua, Ia seharusnya baca Laporan lengkap Amnesty International. "Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati," Pembunuhan dan Impunitas di Papua.
Amnesty Internasional menyebutkan buruknya penyelesaian kasus pembunuhan di luar hukum. Amnesty mencatat akuntabilitas penyelesaian kasus pembunuhan di luar hukum di Papua amat miris. Dari 69 kasus, 26 kasus diselidiki namun tidak diumumkan ke publik dan 25 kasus tidak diselidiki.
Untuk itu, hasil keberadaan website-website siluman ini adalah hanya memanipulasi dan informasi yang benar-benar tidak kredibel karena Amnesty secara jelas melaporkan hasil ketidak-manusiaan di Papua dan media-media siluman ini hendak membelokkan fakta yang terjadi di tanah Papua.
Apakah benar pembuat media-media ini bisa di sebut catfishing?
Mungkin pembaca tanya-tanya apakah ada kaitannya dengan tulisan ini dengan kata Catfishing. Kata catfising sendiri adalah fenomena aneh yang muncul dari media sosial dan catfish 'lele'. Kini telah memasuki koleksi kata-kata gaul/slang di dunia internetan.
Catfish harafianya dalam kamus Cambridge artinya ikan lele. Di baris berikutnya disebutkan 'catfish' (kata kerja) adalah "jenis kegiatan menipu di mana seseorang menciptakan kehadiran jejaring sosial untuk memanupulasi identitas palsu pada akun jejaring sosial, website, biasanya menargetkan korban tertentu untuk ditipu."
Lebih lanjut, catfishing adalah orang yang ingin menyembunyikan identitas asli mereka, menghindari membuat panggilan telepon dan audio.Â
Orang yang terjerumus dalam catfish ini biasanya juga dapat mencuri foto, video, atau informasi pribadi orang lain untuk membuat profil atau situs web palsu ketika mereka membentuk identitas palsu mereka. Intinya, mereka menciptakan nama atau mendasarkan identitas pada seseorang yang mereka kenal - tapi tidak asli.
Contohnya,  "Pada 1 Desember 2018, menggunakan nama Charles Suebu, di website Papuanews.id mempublikasikan satu artikel di kanal Nasional berjudul "Stop Jadikan 1 Desember Sebagai Hari Sakral di Papua". Catfising membingkai isu dengan hanya mewawancarai satu orang Papua, artikel itu bukanlah karya orisinal.Â
Papuanews.id menyadurnya dari Berita Satu yang juga menyadur dari Suara Pembaruan. Foto yang dipakai milik Joanito De Saojoao dari Suara Pembaruan. Sadur-menyadur tulisan tanpa menyebutkan sumber menjadi pekerjaan rutin orang-orang di balik situs diatas" (Jubi, 2018).
Akhirnya, apakah benar pembuat media-media ini bisa di sebut catfishing? iya, mereka 100% catfising. Dimana pembandingannya? Media telah T&J mengungkap ada empat dalil mendasar mengapa beberapa media online yang selama ini beroperasi di Papua di kategorikan dalam - media siluman.Â
Keempat ciri-cirinya tersebut antara lain: (1) Media yang bersangkutan tidak memiliki susunan redaksi yang jelas. (2) Tidak memiliki kantor dan alamat kontak yang jelas. (3) Selalu mendompleng atau duplikasi pada nama dan berita media arus utama. Terakhir adalah (4) selalu menyertakan narasumber yang fiktif.
Jadi, benar bahwa pembuat media-media ini adalah benar-benar orang intelektual dan terdidik yang pake topeng dan terjerumus kedalam dunia catfising untuk mengutarakan masalah-masalah Papua di kanca internasional maupun nasional.Â
Gelar tidak selalu menentukan untuk mengeliminasi kebenaran karena kebenaran selalu benar. Semoga amsal, Dr. Martin Luther King, Jr ini jadi teguran, "Darkness cannot drive out darkness; only light can do that. Hate cannot drive out hate; only love can do that".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H