INDONESIA dan Kemurahan Hati
Setiap kali ditanya kesan tentang Indonesia, WN asing sering menyebut orang Indonesia ramah. Biasanya mereka menyebut, orang Indonesia senang menyapa dan mengobrol, banyak tersenyum dan senang membantu.
Senang membantu! Hal itu saya lihat secara nyata di bekas camp pengungsi Vietnam di Pulau Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Sejak lama saya memang sudah penasaran ingin melihat peninggalan camp pengungsian Vietnam, namun baru Minggu kemarin (27/9) kesampaikan.
Bekas camp itu berjarak sekitar 30 menit perjalanan menggunakan mobil, dari pusat Kota Batam. Tak sulit menemukan lokasinya, cukup berjalan pelan setelah jembatan 5, maka kita akan menemukan papan petunjuk di sisi kiri jalan.
Beberapa orang yang saya baca tulisannya tentang Bekas Camp Pengungsi Vietnam ini, menyebut tempat itu asri, sejuk, indah dan tenang. Kawanan monyet liar yang berada di jalan-jalan, menambah unik tempat itu.
Tapi bukan hal itu yang saya lihat dari bekas camp pengungsi Vietnam itu. Saya melihat, sungguh bangsa ini ringan tangan dalam membantu sesama. Bayangkan saja, 80 hektar lahan disediakan bagi pengungsi Vietnam yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari jumlah penduduk Kepulauan Riau yang saat itu masih berstatus kabupaten.
Tercatat 250 ribu jiwa pengungsi Vietnam datang ke Indonesia pada tahun 1970-an, menggunakan kapal-kapal kayu. Drama mencari suaka itu diabadikan dalam foto dan lukisan yang dipajang di museum sederhana di camp.
Mata saya berkaca-kaca melihat pemandangan manusia yang tak sanggup melalui perjalanan berat mencari kehidupan yang lebih baik itu. Sebagian dari mereka tiba di Indonesia dalam keadaan tak lagi bernyawa. Saya membayangkan pemandangan itu mirip dengan yang dialami pengungsi Suriah hari-hari ini.
Sebanyak 250 ribu pengungsi yang melarikan diri dari perang itu, diberi identitas sementara. Identitas itu tak hanya berisi nama dan tempat serta tanggal lahir, juga berisi identitas kapal yang mereka tumpangi dari Vietnam.
Mereka kemudian ditempat di barak-barak pengungsi. Hingga kini, identitas sementara serta data-data pengungsi sesuai barak yang mereka tinggali masih tersimpan di museum. Tak hanya berisi barak sebagai tempat berteduh, pengungsian itu dilengkapi juga dengan pusat kesehatan, tempat-tempat ibadah, sekolah, bahkan pusat kebugaran hingga pemakaman.
Camp pengungsian itu dibangun atas kerjasama Pemerintah Indonesia dengan UNHCR. Â Secara berkala, mereka dikirimi kebutuhan pokok sehari-hari oleh UNHCR. Lembaga pengungsi PBB itu juga menyediakan tenaga-tenaga guru, baik dari Indonesia maupun dari warga asing.
Selama 20 tahun menetap di camp pengungsian, pada 1995 mereka dikembalikan secara berkala ke tanah leluhur mereka. Namun sebagian besar tak ingin kembali, mereka ingin menetap di Indonesia atau menuju ke negara ketiga seperti Canada, Australia atau Amerika.
Aksi protes pun terjadi. Para pengungsi membakar dan menenggelamkan kapal-kapal yang akan digunakan untuk memulangkan mereka ke Vietnam. Namun pada akhirnya, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Pada 2005 lalu, sebagian dari pengungsi kembali ke camp, untuk melakukan reuni.
Sayangnya, kini hanya tersisa sedikit sekali yang bisa dilihat dari bekas camp pengusian itu. Padahal akan sangat indah, bila direka ulang seperti sedia kala. Bukan keindahan yang dinikmati oleh mata yang saya maksud. Tapi lebih keindahan yang dinikmati oleh hati.
Kemurahan hati Bangsa Indonesia memang sungguh luar biasa. Saat ini Indonesia mengelola 13 Rumah Detensi Imigrasi yang tersebar di Tanjungpinang (Kepulauan Riau), Balikpapan, Denpasar, Jakarta, Kupang, Makasar, Manado, Medan, Pekanbaru, Semarang, Jayapura, Surabaya dan Pontianak.
Saat ini Indonesia juga menampung pengungsi Rohingya dan Bangladesh di Aceh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H